NovelToon NovelToon
Miracle Of Love

Miracle Of Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi
Popularitas:467
Nilai: 5
Nama Author: Yulynn

Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18

Carissa menghempaskan tubuh lelahnya di kasur kamar kontrakannya yang sederhana. Kaki letihnya berdenyut-denyut nyeri, dan ia memejamkan mata, membiarkan rasa sakit, pegal, dan ngilu menjalar di seluruh tubuhnya. Namun, di tengah rasa sakit itu, hatinya terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Ia merasa telah menjadi orang yang sangat berguna dan bangga pada diri sendiri. Senyum bangga terukir di bibirnya, dan ia mengelus kepalanya. “Kamu hebat, Carissa,” bisiknya pada diri sendiri.

Nada dering soundtrack Sailormoon yang ceria tiba-tiba memecah keheningan kamarnya. Acara mengagumi diri sendiri pun selesai. Dengan enggan, ia meraih ponsel dari atas nakas dan bertanya-tanya siapa gerangan yang menghubunginya tengah malam begini. Sarah pasti sudah tidur, jadi siapa lagi? Jangan-jangan Brandon menyebalkan itu? Memikirkan kemunculan tiba-tiba Brandon saat makan malam tadi saja sudah membuatnya kesal.

Namun, nama Henry yang tertera di layar ponselnya membuat jantungnya berdebar tak karuan. Dengan cepat, ia mengubah posisinya menjadi duduk tegak dan merapikan rambutnya yang berantakan, seolah Henry bisa melihatnya.

“Halo, Pak,” sapanya sopan, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

“Aku tadi lihat statusmu online lima belas menit lalu. Aku tebak kamu belum tidur. Tapi kalau aku mengganggu dan kamu terpaksa mengangkat telepon, nggak apa-apa kok kalau mau langsung tidur lagi,” ujar suara berat, lembut, dan memabukkan di seberang sana.

“Enggak kok, Pak. Aku baru selesai mandi,” jawabnya cepat, berusaha meyakinkan. “Hmm, ada apa ya, Pak?”

Henry terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada ragu, “Ada sesuatu yang menggangguku sejak pertandingan tadi. Aku ingin bertanya sesuatu padamu, boleh?”

“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Carissa mantap, meski keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

“Apa perbedaan angin pertama dan angin kedua tadi? Dan kenapa kamu bisa yakin kalau angin kedua itu bisa membawa bola masuk ke celah yang kamu maksud?”

Jantung Carissa seolah berhenti berdetak mendengar pertanyaan lugas dari Henry. Ia tahu, inilah saatnya. Kebenaran akan segera terungkap.

Carissa menyusun kalimat dengan cepat di dalam otaknya, berusaha terdengar meyakinkan. “Eh, angin pertama itu datang dari sebelah kanan dan kiri secara bersamaan, lalu bertabrakan di tengah lapangan. Kalau bola dipukul saat angin pertama, bola hanya akan meluncur lurus ke depan, tapi akan melambat karena menabrak angin yang berlawanan arah. Akibatnya, bola pasti akan langsung jatuh ke bunker. Nah, angin kedua itu adalah susulan dari sisa angin kiri yang masih tersisa. Lalu, angin ketiga akan berhembus sempurna dari arah kanan tanpa hambatan, jadi ketika bola dipukul saat angin kedua, bola akan melambat, lalu di saat bersamaan akan terdorong oleh hembusan angin ketiga dan membawa bola ke arah celah di hutan sebelah kiri, dan langsung sampai ke green,” jelas Carissa panjang lebar, mengulang apa yang dikicaukan burung gereja padanya. “Ta.. Tapi tentu saja, itu juga tergantung dengan timing dan kekuatan pukulan Bapak. Kalau nggak pas, ya nggak mungkin bisa mulus sampai ke hole.”

“Mengapa kamu bisa seakurat itu membaca arah angin?” tanya Henry lagi, nadanya masih menyelidik. Ia masih sulit percaya dengan penjelasan Carissa, meskipun terdengar sangat logis dan detail.

“Aku juga tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Sebenarnya… seekor burung gereja yang kuberi roti yang memberitahuku semua itu,” jawab Carissa, berharap Henry tidak menganggapnya gila. Namun, kalimat itu justru terdengar seperti lelucon yang menggelikan bagi Henry.

Henry tertawa ringan, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Baiklah, kalau kamu memang tidak mau memberitahuku rahasiamu, aku tidak akan memaksa. Tapi, tetap saja, terima kasih banyak atas petunjuknya. Meskipun sebenarnya sulit untuk dilakukan, aku tetap memilih untuk percaya padamu. Dan karena kepercayaan itu juga, aku berhasil memenangkan turnamen ini,” ujar Henry tulus, membuat hati Carissa menghangat.

“Sama-sama,” suara Carissa terdengar canggung, sedikit bersyukur kalau Henry tidak percaya dengan kejujurannya.

Lalu, hening menyelimuti percakapan mereka selama beberapa detik.

“Satu lagi,” ujar Henry tiba-tiba, memecah keheningan.

Untuk kedua kalinya, jantung Carissa berdebar kencang. Ia merasa tidak siap menghadapi pertanyaan apapun lagi dari Henry.

“Iya?” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

“Brandon… ehm… Punya hubungan khusus kah dengan kamu?” tanya Henry hati-hati, membuat Carissa terkejut bukan main.

“Brandon? Oh… enggak kok,” jawab Carissa dengan nada gugup, jantungnya berdebar semakin kencang. Ia berusaha tersenyum, namun bibirnya terasa kaku. “Dia itu… cuma orang asing yang nggak sengaja ketemu beberapa kali. Waktu itu pernah ketemu di Bukit Cinta, terus pas liburan di Bali. Cuma dua kali kok. Aku juga nggak pernah ngebales pesannya. Tadi malam juga… aku juga bingung kenapa bisa ketemu dia lagi,” jelas Carissa panjang lebar, berusaha meyakinkan Henry. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu banyak bicara. Ya Tuhan, kenapa aku jadi menjelaskan sedetail ini? Pasti Henry mikir yang aneh-aneh sekarang!"

"Syukurlah kalau begitu," ucap Henry, tampak sedikit lega. "Ngomong-ngomong... Bukit Cinta? Itu tempatnya di mana?" tanyanya dengan nada penasaran.

"Oh, itu tempat wisata di sebuah pulau kecil. Aku sering gantiin Sarah buat jadi pemandu wisata di sana," jawab Carissa singkat.

"Lain kali, ajak aku ke sana? Boleh?" Permintaan Henry yang tiba-tiba itu membuat jantung Carissa berdegup semakin kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya.

"Boleh aja," jawab Carissa ragu. "Maksudnya... ajak dia ke sana sebagai teman atau sebagai... sesuatu yang lebih?" pikirnya dalam hati.

Keheningan kembali menyelimuti mereka selama beberapa saat.

"Carissa," panggil Henry dengan suara lembut.

"Iya, Pak," jawab Carissa refleks.

"Boleh nggak usah panggil 'Bapak'?" Lagi-lagi, permintaan Henry yang tak terduga itu membuat jantung Carissa berdebar semakin kencang, hampir tidak sanggup lagi menerima kejutan-kejutan ini.

"Terus... aku harus panggil apa, dong?" tanya Carissa dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Henry, atau Richard. Pilih salah satu. Asal jangan 'Bapak'," jawabnya.

"Hmm... Henry?" Carissa mencoba menyebut nama itu dengan ragu, namun lidahnya terasa kelu dan berat.

"Coba sekali lagi. Yang lebih natural," pinta Henry.

"Henry," ucap Carissa dengan lebih percaya diri, meskipun pipinya terasa panas.

"Sesuai dugaan. Enak didengar," puji Henry dengan senyum menawan. Pujian itu langsung membuat Carissa menahan napas, jantungnya berdegup kencang hingga terasa ingin melompat keluar dari dadanya. Ia tersenyum-senyum sendiri tanpa suara, salah tingkahnya sudah di level brutal.

"Oh iya! Kayaknya hari ini aku lupa bilang terima kasih sama kamu. Atas transferan dan traktirannya," ucap Carissa dengan nada sopan, berusaha menutupi kegugupannya.

"That's okay. Aku juga senang hari ini," jawab Henry dengan tulus. "Berkat kamu."

Setelah menutup panggilan dengan Henry, Carissa merasa jantungnya masih berdebar kencang. Ia berusaha menenangkan diri, tapi suara dan setiap ucapan Henry terus menghantuinya. Di satu sisi, ia merasa bahagia dan tersanjung karena perhatian Henry. Di sisi lain, ia merasa cemas dan takut jika semua ini hanya mimpi belaka.

Carissa sudah berbaring lagi di tempat tidur. Semua otot-otot pegalnya hilang, tapi pikirannya terus melayang pada Henry. Ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Henry inginkan darinya? Apakah ia benar-benar tertarik padanya? Atau apakah ada alasan lain di balik semua ini?

Lelah dengan semua pertanyaan yang tak terjawab, Carissa akhirnya memejamkan mata. Ia mencoba untuk tidak memikirkan apa pun dan fokus pada pernapasan dan tertidur dengan sangat pulas.

1
suhardi wu
ceritanya menarik, gaya bahasanya mudah dimengerti. mantap lah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!