Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Lo aman sama gue!
Di bangku panjang depan supermarket, Tessa memeluk tubuhnya sendiri. Matanya nanar menatap jalan yang semakin sepi. Lampu-lampu toko satu per satu padam. Udara malam menusuk hingga ke tulang.
"Maaf, Mbak."
Tessa mendongak kaget. Seorang satpam mendekat dengan wajah ramah tapi rautnya sedikit khawatir.
"Supermarketnya mau tutup. Mbak lagi nunggu siapa ya? Udah dari tadi saya lihat Mbak duduk di sini."
Tessa mendongak dengan senyum kaku. "Oh... udah mau tutup ya, Pak?"
"Iya, Mbak. Mbaknya lagi nunggu jemputan?" tanyanya lagi.
"Iya, Pak..." jawab Tessa pelan, berusaha tetap tenang meski hatinya sesak.
"Kalau gitu, maaf Mbak, kami harus menutup area ini sekarang."
Tessa mengangguk kecil. "Baik, Pak. Saya tunggu di tempat lain aja. Terima kasih ya."
Dengan langkah gontai, ia meraih kantong-kantong belanjaan yang penuh dan cukup berat, lalu berjalan keluar dari area supermarket. Jalanan di depannya tampak asing—tidak ada satu pun yang ia kenali.
"Ini daerah mana, sih..." gumamnya lemah. Perutnya mulai keroncongan, tenaganya terkuras, dan rasa asing yang menyelimuti membuatnya semakin ingin menangis.
Tak lama, terdengar suara gemuruh petir di langit. Angin mulai bertiup kencang, membuat daun-daun kering beterbangan di jalanan. Butiran air kecil mulai jatuh satu per satu.
"Ya ampun... pake hujan lagi," desisnya kesal, menengadah ke langit yang semakin gelap.
Hujan turun semakin deras. Tessa bergegas mencari tempat berteduh, tetapi toko-toko di sepanjang jalan sudah tutup. Ia akhirnya melihat kanopi kecil di depan sebuah ruko dan duduk di sana. Kedua lengannya memeluk erat lututnya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.
"Papa... Mama... Tessa kangen..." bisiknya lirih, air mata menetes bersamaan dengan rintik hujan yang ikut membasahi wajahnya.
Sesaat, sebuah pikiran melintas di benaknya— berharap Rajata tiba-tiba datang menolong nya.
Tessa buru-buru menggeleng.
Ah, mana mungkin... batinnya pahit.
Laki-laki itu bahkan mungkin tidak menyadari kalau istrinya sedang terlantar di tempat asing seperti ini. Baginya, pernikahan ini cuma beban... dan Tessa sadar betul, ia mungkin tidak berarti apa-apa di mata Rajata.
Ia menarik napas panjang, mencoba menepis rasa nyeri di dadanya. Tapi tubuhnya sudah sangat lelah, perutnya kosong, dan hawa dingin membuatnya semakin lunglai. Dalam diam, ia hanya bisa menunggu hujan reda sambil berharap ada keajaiban.
Sementara itu, di sisi lain...
Deru mesin Jeep Wrangler Rubicon hitam meraung di jalanan basah. Mobil itu melaju cepat, menembus hujan deras yang mengguyur dari langit gelap. Rajata menggenggam erat setir, rahangnya mengeras, tatapannya lurus ke depan dengan sorot mata gelisah.
"Semoga dia nggak kenapa-kenapa..." gumamnya dengan suara serak.
Ban besar Rubicon menghantam genangan air, memercik ke kiri-kanan. Wiper bergerak cepat membersihkan kaca depan, namun hujan yang semakin lebat membuat pandangan Rajata sedikit buram. Ia tak peduli—kakinya semakin dalam menginjak pedal gas.
Peta digital di dashboard menampilkan Supermarket Kebayoran – 37 menit lagi. Tapi bagi Rajata, waktu itu terasa terlalu lama. Setiap detik yang terbuang membuat dadanya semakin sesak.
Sesampainya di area supermarket, Rajata mendapati kondisi tempat itu sudah gelap dan tertutup rapat. Gerbangnya terkunci, papan bertuliskan "CLOSED" tergantung di pintu masuk. Ia melirik jam di pergelangan tangan—pukul 22.15.
"Gila... udah jam segini." desisnya pelan, rasa panik makin menusuk dadanya.
Rajata mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan, tak jelas mana yang tetesan hujan, mana yang keringat dingin. Ia turun dari Jeep Rubicon hitamnya, memandang sekeliling jalan yang sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas cepat, meninggalkan cipratan air.
"Tess... lo di mana..." gumamnya, suara itu nyaris tak terdengar karena teredam deru hujan yang semakin deras.
Tanpa membuang waktu, Rajata mulai menyusuri jalanan sekitar supermarket. Hatinya semakin gelisah. Sudah hampir setengah jam, tapi bayangan istrinya sama sekali belum terlihat.
Sampai akhirnya—
Dari ujung matanya, ia menangkap sosok samar seorang perempuan yang duduk meringkuk di bawah kanopi toko yang sudah tutup. Rambutnya basah tergerai, tubuhnya bergetar kedinginan, dan di sekelilingnya ada beberapa kantong belanjaan yang dibiarkan tergeletak begitu saja.
Itu Tessa.
Hatinya mencelos seketika. Seperti ada pisau yang menusuk dadanya saat melihat kondisi istrinya. Pucat, kuyup, dan begitu rapuh.
"Ya Tuhan..." Rajata menahan napas.
Tanpa pikir panjang, ia buru-buru menepikan mobil nya ke sisi jalan. Rem diinjak mendadak, ban besar Jeep itu mengerang di aspal basah. Ia hampir melompat keluar dari mobil, berlari menerjang hujan yang kini turun seperti dicurahkan dari langit.
Di dalam kepalanya, rasa bersalah membuncah hebat. Ini semua bukan keinginannya—bukan pilihannya untuk terjebak dalam pernikahan yang rumit ini. Tapi kenapa sekarang ia yang justru merasa paling bersalah? Kenapa Tessa harus menanggung semua ini seolah ini salah nya??
"Tessa..." panggil Rajata dengan suara serak, setengah berteriak menembus derasnya hujan.
Tessa yang tengah meringkuk di bawah kanopi sontak merasa suara itu begitu familiar. Ia mendongak perlahan, matanya membulat saat melihat sosok Rajata berdiri di depannya, kuyup dengan rambut yang meneteskan air hujan.
"Dia... datang?" batinnya tercekat. "Dia benar-benar datang...?"
Tessa mengucek matanya cepat-cepat, seolah takut apa yang ia lihat hanyalah halusinasi karena terlalu lelah dan putus asa.
Rajata melangkah mendekat, menatapnya dengan pandangan penuh penyesalan.
"Ini gue, Tess... Rajata. Suami lo." ucapnya lirih, nada suaranya berat dan terdengar penuh beban.
"Sorry... gue telat dateng," tambahnya pelan sambil melepas jaket yang ia kenakan. Ia dengan sigap menyelimuti tubuh Tessa yang menggigil hebat.
Begitu jaket itu melingkupi tubuhnya, pertahanan Tessa runtuh. Seketika itu juga, isak tangisnya pecah. Air matanya jatuh deras, bercampur dengan tetesan hujan yang masih membasahi wajahnya.
Rajata menatapnya lama. Hatinya seperti diremas. Perlahan ia berjongkok di hadapan Tessa, meraih kedua tangan gadis itu yang dingin seperti es.
"Udah... lo aman! Gue di sini sekarang," bisiknya lirih, mencoba menenangkan.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa