Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Rapat Para Dewa
Tina menarik napas, lalu menatap para dewa dengan tatapan yang mencoba percaya diri, meski sedikit gemetar.
"Aku... Kamaratih, akan berdiri di sisi Kamanjaya. Aku percaya pada kekuatan cinta. Walau aku belum sepenuhnya paham...tapi aku tahu—cinta adalah hal yang layak diperjuangkan."
"Tapi gue gak nyuruh Lo bilang gitu." gumam Romeo yang meliriknya sambil menahan tawa, sedangkan Tina menahan untuk tetap anggun.
Sejenak hening. Lalu terdengar tepukan lembut dari dewa angin, disusul oleh anggukan dari dewa-dewi lainnya.
"Baiklah," ujar pemimpin rapat.
"Pasukan asmara akan bersiap. Dunia bergantung pada keseimbangan ini."
Begitu rapat selesai, Tina langsung menarik Romeo ke sudut aula.
"Rom! Lo ngasal aja jawabnya tadi!"
"Ya iyalah, lo kira gue hafal protokol rapat dewa?" jawab Romeo cepat. Tina mengeluh sambil memegang kepalanya.
"Gue mau pulang. Atau minimal...dapet buku panduan jadi Kamaratih." Romeo tertawa kecil.
"Sabar, Na. Kita cari tahu kenapa kita bisa ke sini dulu. Baru mikir pulang."
Tina mendesah. "Fix. Liburan kali ini... out of syllabus banget."
...****************...
Malam itu, setelah semua keramaian dan penyambutan aneh dari para penghuni Asmaraloka mereda, Romeo dan Tina dipersilakan beristirahat. Kamar-kamar di tempat itu berarsitektur megah, dindingnya bersinar lembut seolah terbuat dari cahaya, dan angin malam berembus membawa aroma bunga langit yang tidak mereka kenal.
Mereka berdua berdiri di depan salah satu kamar yang ditunjukkan penjaga.
Tina mengernyitkan dahi. "Apa gak ada kamar lagi ya? Masa kita satu kamar?" tanyanya, nada suaranya separuh bingung, separuh risih.
Romeo menatapnya sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam. "Lo di sini aja. Kalau lo hilang... gimana?"
Tina terdiam. Kata-kata Romeo terasa seperti gemuruh kecil di dadanya. Ia melirik ke arah lorong yang sepi dan gelap, entah kenapa terasa seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
"Iya juga ya," gumamnya pelan. Ia menunduk. Benar juga, kalau ia terpisah dari Romeo di tempat asing seperti ini... siapa yang akan mencarinya? Apa ia akan bisa kembali?
"Romeo, ih gue seriusan deh," katanya lagi sambil duduk di tepi tempat tidur yang terlalu empuk untuk ukuran tempat asing.
"Apalagi, Tina?" Romeo sudah melepas jubah luar yang aneh itu, duduk bersandar di dinding.
Tina menunjuk dirinya sendiri.
"Kita kan masih kecil. Terus lihat deh... bentukan gue. Masih anak gadis gitu loh. Belum ada lima belas tahun juga! Terus tiba-tiba kita... diklaim pasangan? Dianggap kayak udah ditakdirin bareng?"
Romeo menatap langit-langit, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi juga tidak nyaman dengan semua ini. Ia mengusap wajahnya, lalu bergumam, "Gue juga mikir gitu... Ini semua kayak mimpi aneh. Tapi semua orang di sini kayak percaya kita ini... ya, pasangan dari dunia mereka."
"Kita bahkan belum ngerti sepenuhnya kita siapa di sini," bisik Tina.
"Mereka panggil gue... Kamaratih. Lo, Kamanjaya. Terus mereka hormat sama kita." Keheningan memenuhi kamar beberapa detik. Lampu-lampu gantung dari cahaya putih berpendar lembut, seakan memberi ruang pada kebingungan mereka.
Romeo akhirnya bersuara, suaranya dalam dan pelan, "Kalau memang ini takdir yang mereka bilang... gue gak bakal biarin lo jalan sendirian di sini, Tin."
Tina menatapnya. Ada sesuatu yang asing di wajah Romeo—bukan hanya karena jubah atau tempat ini, tapi sorot matanya yang seolah berubah... lebih dewasa, lebih tegas, seperti ada kenangan yang tidak ia sadari mulai bangkit.
"Lo janji ya?" tanya Tina lirih.
Romeo mengangguk sekali. "Gue janji."
"Kita harus cari tahu, Rom. Siapapun itu, kita harus panggil pelayan." Tina melangkah cepat menuju pintu kayu besar yang tadi terbuka ketika mereka masuk.
Tangannya menggenggam pegangan emas di daun pintu, lalu menariknya dengan tenaga penuh. Tapi pintu itu tak bergeming.
"Eh?!" gumamnya panik. Ia coba lagi, kali ini mendorong, mengetuk, bahkan menghentakkan tangan ke permukaan kayu yang hangat itu. Tetap tak ada reaksi.
"Romeo, pintunya... nggak bisa dibuka!" serunya sambil menoleh ke belakang.
Romeo segera berdiri, menghampiri Tina. Ia ikut mencoba menarik gagangnya. Tetap tak bergerak. Tidak terkunci—pintu itu seolah hidup dan menolak dibuka. Seolah sedang menjaga mereka… atau mengurung mereka?
"Aneh," gumam Romeo. "Kayak... dikunci dari luar. Tapi gak pakai kunci."
Tina menelan ludah. "Apa ini ujian? Atau... semacam ritual aneh Asmaraloka?"
Romeo menoleh padanya. "Kalau ini dunia para dewa seperti yang mereka bilang, mungkin aturan di sini juga bukan kayak dunia kita."
Tina mulai panik. "Terus, kita gak bisa keluar dong? Gimana kalau."
"Tina," potong Romeo pelan sambil memegang bahunya. "Tenang dulu. Kita gak sendiri. Kita bakal cari tahu apa maksud semua ini."
Tiba-tiba, cahaya redup dari sudut langit-langit kamar berkedip-kedip, lalu muncul suara lembut yang tak berwujud, seperti nyanyian dari udara. Suara itu berkata:
"Pintu akan terbuka saat hati kalian seirama. Saat kenangan lama kembali menyala."
Mereka saling menatap—mata Tina membulat, dan Romeo terlihat tegang.
"Kenangan lama?" bisik Tina.
Romeo perlahan menarik tangannya dari gagang pintu, matanya kini tak lagi melihat benda-benda di sekitarnya, tapi seolah mencari sesuatu jauh di dalam pikirannya.
"Lo... inget sesuatu, Rom?" tanya Tina lirih.
Romeo menggeleng pelan. "Nggak. Tapi... ada sesuatu di hati gue yang mulai terasa aneh. Kayak... deja vu."
Tina memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan degup jantungnya. “Kalau ini bukan mimpi... berarti kita harus temuin kenangan itu."
Romeo menatapnya. "Dan pintu ini... mungkin baru akan terbuka kalau kita inget siapa kita sebenarnya.”
Tina menunduk, menatap lantai marmer putih yang berkilau seperti cahaya bulan. Udara di dalam kamar terasa berbeda sekarang—bukan hanya dingin, tapi seolah dipenuhi bisikan-bisikan yang tak terdengar jelas.
Romeo masih berdiri di depan pintu, namun matanya perlahan mulai berkabut. Pandangannya kosong, dan dalam sekejap, tubuhnya terhuyung.
"Romeo!" seru Tina, cepat menangkap lengan Romeo dan menuntunnya duduk ketepi ranjang.
"Aku... aku lihat sesuatu..." ucap Romeo pelan, matanya tak fokus.
Tina duduk di sampingnya, menggenggam tangan Romeo yang dingin. "Apa yang lo liat?"
"Ada perempuan... pakai kain panjang... wajahnya nggak asing. Tapi dia nangis... terus ada kobaran api... dan aku... aku terbakar... Tina, aku terbakar hidup-hidup."
Tina terdiam, tubuhnya ikut gemetar. Ia pun mulai merasa aneh di dalam dadanya. Sesuatu yang bukan miliknya, namun sangat familiar. Seperti emosi orang lain yang ikut merasuk dalam tubuhnya.
"Aku juga... aku lihat abu. Terbang, lalu jatuh jadi bunga... bunga kamboja putih. Dan... aku nangis, tapi rasanya bukan karena sedih. Lebih kayak... kehilangan yang udah terlalu lama."
Romeo perlahan menatap Tina, matanya mulai jernih kembali. "Kita... udah pernah ketemu sebelum ini, kan?"
Tina mengangguk pelan. "Tapi bukan di dunia ini..."
Tiba-tiba, ukiran di pintu kayu berkilau keemasan. Mereka berdua menoleh bersamaan, dan dari sela-sela pahatan itu, cahaya hangat mulai mengalir perlahan, membentuk pola bunga dan panah.
"Panah asmara..." bisik Romeo.
"Kamaratih..." Tina juga berbisik, nama itu keluar begitu saja dari bibirnya tanpa sadar.
Lalu—klik—pintu perlahan terbuka dengan sendirinya, menghela angin hangat ke dalam ruangan.
Mereka berdiri, saling berpandangan.
"Kita harus cari tahu siapa kita... dan kenapa semua ini terasa seperti takdir yang berulang," ucap Romeo.
Tina menelan ludah dan mengangguk. "Asmaraloka... mungkin semua jawaban ada di sana."
Dan mereka pun melangkah keluar dari kamar, menyusuri lorong istana yang kini berubah, seolah mengantar mereka pada kebenaran yang telah terkubur berabad-abad lalu.
Merekapun keluar dari kamarnya dan menelusuri lorong istana tersebut, "Yang mulia, apa yang kalian lakukan di tengah malam begini?"