Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Hari berikutnya, Wei Lian menerima undangan mendadak dari Istana Dalam. Topik resmi: rapat pembentukan Panitia Festival Musim Gugur.
Namun ia tahu, ini hanya kedok. Pihak dalam istana mulai mencium gelagat dari manuver-manuver halus yang ia lakukan. Beberapa surat tanpa nama, gosip terselubung, dan petunjuk palsu memang sengaja ia sebarkan. Tapi seperti pisau bermata dua, semua itu bisa kembali padanya.
“Kita harus hati-hati,” ucapnya pada Yan’er sebelum berangkat.
“Haruskah saya ikut mengawal sampai ruang pertemuan?”
Wei Lian menggeleng. “Kau tunggu di luar. Jika aku terlambat lebih dari satu jam, sampaikan sandi ke Ayah. Katakan: ‘tali busur telah retak.’ Ayah akan tahu maksudnya.”
Yan’er mengangguk dalam diam. Ia tahu, permainan ini tidak lagi permainan bocah.
Ruang pertemuan Istana Dalam tampak tenang. Tapi begitu Wei Lian masuk, ia langsung sadar bahwa dirinya satu-satunya wanita yang dipanggil dari luar keluarga kekaisaran. Di sana ada beberapa menteri wanita, seorang kasim agung, dan... Putra Mahkota.
Putra Mahkota tersenyum ramah. “Selamat datang, Nona Wei. Kudengar engkau sangat terampil mengatur perjamuan dan seni panggung. Sumbangsihmu sangat diharapkan dalam Festival Musim Gugur.”
Wei Lian membungkuk dengan sopan. “Hamba akan memberikan usaha terbaik.”
Senyuman sang Putra Mahkota tampak manis, tapi Wei Lian tahu itu adalah senyuman yang sama seperti dulu, senyuman sebelum kematian seluruh keluarganya.
Tapi belum. Belum saatnya.
Sore hari, saat kembali ke kediaman, Wei Lian disambut oleh suara gaduh dari dapur. Ternyata Ah Rui dan Yan’er sedang berdebat soal bahan untuk minuman hangat.
“Kalau pakai jahe, nanti Nona kepanasan! Tapi kalau pakai bunga krisan, dia bisa masuk angin!”
“Lalu kenapa tidak kita campur? Sekalian tambahkan madu, biar manis seperti senyumnya!”
Wei Lian memandang mereka dari ambang pintu, lalu berkata datar, “Kalau kalian benar-benar ingin membuatku sehat, tolong jangan buat aku pusing duluan.”
Ah Rui dan Yan’er langsung berdiri tegak. Tapi wajah Wei Lian melunak. “Tapi aku hargai niat kalian.”
Sore itu, untuk sesaat, dunia tampak tenang. Tapi dalam hatinya, Wei Lian tahu badai besar akan datang. Dan dia harus siap sebelum semua itu menelan sekali lagi orang-orang yang ia cintai.
Belum waktunya mengungkap siapa dirinya sebenarnya.
Tapi waktunya… segera tiba.
...----------------...
Langit malam menggantung pekat di atas paviliun belakang kediaman Jenderal Wei. Wei Lian duduk seorang diri, dikelilingi aroma teh melati yang menenangkan, namun pikirannya jauh dari tenang.
Surat undangan dari Putra Mahkota untuk menjadi bagian panitia Festival Musim Gugur sudah diterimanya tadi siang. Ia tahu, itu bukan bentuk penghormatan, melainkan bentuk pengawasan. Ia sedang diuji atau lebih tepatnya, dipancing.
Langkah lembut menyela lamunannya. Ah Rui datang membawa nampan berisi semangkuk kecil susu almond hangat dan dua potong kue wijen.
"Nona, anda belum makan malam," ucapnya pelan. “Yan’er bilang anda hanya menatap langit sejak senja.”
Wei Lian tersenyum kecil. “Langit lebih jujur daripada para bangsawan istana.”
“Kalau begitu, biar aku temani anda melihat langit,” ujar Ah Rui riang sambil duduk di ujung lantai kayu.
Wei Lian tertawa kecil, lalu menunjuk bintang paling terang di langit malam. “Itu... dulu Ibu bilang, bintang itu akan muncul kalau ada yang sedang berdoa dengan tulus.”
Ah Rui ikut menatap, lalu menyenggol pelan bahu Wei Lian. “Kau sedang berdoa apa?”
Wei Lian hanya tersenyum, tak menjawab. Tapi dalam hatinya ia tahu, doanya malam ini bukan untuk dendam… tapi untuk kebebasan. Dan sedikit saja sedikit harapan akan cinta yang benar-benar tulus.
---
Keesokan harinya, di tengah kesibukan dapur utama, seorang utusan asing datang membawa sebuah kotak kecil berlapis sutra biru keemasan.
“Untuk Nona Wei, dari seseorang di Utara,” katanya sambil menunduk sopan.
Wei Lian menerima kotak itu dengan alis terangkat. Ia membukanya perlahan dan menemukan surat bertinta hitam:
Temui aku malam ini di Taman Seribu Bambu. Jangan membawa siapa pun.
Tidak ada nama. Tidak ada lambang resmi. Tapi kertasnya bukan buatan Luoyang. Gulungan halus itu hanya bisa didapat di wilayah barat laut… wilayah Kekaisaran Hanbei.
Tulisan tangan itu juga tak asing. Sederhana, rapi, namun mengandung kekuatan.
Mo Yichen.
---
Malam itu, Wei Lian menyusup keluar mengenakan jubah gelap tanpa lambang. Ia tak berkata apa pun pada Yan’er maupun Ah Rui. Di antara suara tonggeret dan aroma bambu yang samar, ia melangkah ke tengah Taman Seribu Bambu, tempat meditasi kekaisaran yang sekarang sepi dan terlupakan.
Suara suling terdengar di kejauhan. Alunan lembut, lirih dan mengiris, seperti menari di antara luka dan pengharapan. Wei Lian mengikuti suara itu.
Di bawah cahaya bulan, berdirilah seorang pria dengan pakaian sederhana. Mo Yichen. Ia sedang memejamkan mata sambil memainkan suling, tenggelam dalam irama yang seperti doa.
Wei Lian berdiri beberapa langkah darinya, menunggu hingga nada terakhir berhenti.
“Kau datang,” ucap Mo Yichen tanpa menoleh.
“Aku datang, meski tahu ini bisa jadi jebakan.” jawab Wei Lian
“Kalau jebakan, kau takkan berdiri di sini sekarang.” ujar Mo Yichen
Wei Lian menyilangkan tangan. “Lalu apa maksudmu memanggilku ke sini, Kaisar Hanbei?”
Mo Yichen menoleh dengan lambat, mata hitamnya menatap lekat. “Kau tahu?”
“Tidak ada pedagang teh biasa yang menulis sefasih ini dan memakai kertas dari Hanbei. Kau menyamar, tapi tidak cukup lihai.” jawab Wei Lian tenang
Mo Yichen tertawa kecil. “Lalu mengapa kau tetap datang?”
Wei Lian menatap balik, dingin namun tenang. “Karena aku ingin tahu... apakah semua lelaki berkuasa hanya tahu menipu?”
Mereka berdiri berhadapan dalam diam. Tak ada suara selain gemerisik daun.
“Aku bukan ke sini untuk menipu,” kata Mo Yichen akhirnya. “Aku ke sini karena aku mencari sesuatu yang tak bisa dibeli dengan gelar, takhta, atau perang.”
“Dan itu apa?” tanya Wei Lian
“Seorang wanita yang akan memandangku bukan karena aku seorang Kaisar.” jawab Mo Yichen mantap
Wei Lian terdiam. Ia bisa saja tersenyum atau menganggapnya gombal, tapi ada ketulusan di nada suara pria itu.
Tiba-tiba, suara langkah terdengar di ujung taman. Mo Yichen langsung menarik lengan Wei Lian dan menyeretnya ke balik batang bambu besar.
“Jalur pengawal Luoyang. Jangan bicara.” jelas Mo Yichen
Mereka bersembunyi, tubuh mereka nyaris bersentuhan. Napas mereka teratur, tapi jantung Wei Lian berdetak kencang.
Setelah langkah menjauh, Mo Yichen perlahan melepaskan genggaman tangannya.
“Kau seharusnya tidak keluar sendirian. Luoyang bukan tempat yang aman.” ujar Mo Yichen
“Kau juga menyusup ke Luoyang. Harusnya aku yang bilang begitu.” jawab Wei Lian
Mo Yichen menatapnya dengan sorot kagum dan geli. “Kau selalu punya kalimat penutup yang tajam.”
Wei Lian hanya mengangkat alis. “Dan kau selalu muncul dengan pertanyaan yang berbahaya.”
Mereka bertukar pandang sekali lagi. Tapi sebelum sempat berkata lebih, Mo Yichen menyentuh dada sebelah kirinya.
“Jika suatu hari nanti kau tahu siapa aku sebenarnya, dan tetap tidak lari dariku... maka aku akan mengajakmu pergi dari semua ini.”
Wei Lian tak menjawab. Tapi dalam hatinya, untuk pertama kalinya sejak hidupnya diulang, sebuah harapan kecil tumbuh… yang tak ada hubungannya dengan dendam.
Bersambung