“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Hati yang Tidak Tahu Diri
“Sungguh? Jadi … mereka benar-benar berc!uman?!” Suara Amanda mengguncang seluruh isi kafe, membuat semua orang menarik perhatian ke mereka.
Refleks Eve mencubit tangan Manda. “Kecilkan suaramu, Manda! Kau pikir ini hutan? Lihat, semua orang memandang kita sekarang.”
Manik Amanda menoleh ke sekeliling. Dia tersenyum canggung. “Maaf, aku kelepasan.”
Dia mendekat, berkata lebih pelan, “Jadi … Direktur benar-benar berc!uman dengan Miranda?”
“Untuk apa aku berbohong padamu?”
“Astaga … setelah Cristina, siapa lagi sekarang? Kenapa banyak sekali wanita di sekitar Direktur?” Manda menggeleng, napasnya berat. “Tapi … tadi aku memang sempat mendengar gosip di perusahaan. Beberapa orang mengatakan kalau Miranda itu pernah menjalin hubungan dengan Direktur di masa lalu. Tapi hanya sedikit yang membicarakannya, jadi rumor ini tidak terlalu heboh. Mereka tidak yakin itu benar. Selain itu, mereka takut berakhir seperti Silvia.”
Eve kembali diam. Sorot matanya hanya fokus ke gelas minumannya, sementara jemarinya memainkan sedotan dengan malas.
“Ayolah Eve … kenapa kau sudah lesu? Miranda hanya kembali, tapi sekarang kau yang jadi istri Dirketur, kan? Semua bisa berubah ….”
“Tapi … sepertinya Alex sangat mencintainya di masa lalu. Jika tidak, tidak mungkin dia diam saat semua orang menyebutnya imp0ten. Dia membiarkan rumor itu menyebar, hanya karena … dia sedang menunggu Miranda.”
Eve mengangkat kepala, pandangannya rumit. “Dia tidak imp0ten, Manda. Dia juga memberiku pernikahan kontrak, hanya karena alasan yang sama. Apa kau bisa membayangkan sebesar apa perasaan Alex pada wanita itu?”
Untuk sesaat, Amanda merasa isi kepalanya kosong. Sejak rumor mengenai Miranda dan Alex menyebar, dia sama sekali tidak memikirkan hal itu. Dan sekarang, ucapan Eve seperti menghantam dadanya.
“Direktur … tidak imp0ten?” tanyanya sekali lagi. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
“Wanita seperti Miranda yang memiliki dunia di kakinya, lusinan pria seperti Alex pun akan berbaris. Tidak ada alasan untuk memilih pria yang tidak akan bisa memberinya kepuasan.”
Jika dipikirkan, itu masuk akal. Tidak mungkin Miranda rela kembali, jauh-jauh dari luar negeri hanya untuk pria imp0ten seperti Alex. Lagipula … semua yang melekat di tubuh Alex begitu sempurna. Bagaimana sosok seperti itu bisa memiliki hal yang memalukan?
Bahkan jika benar, dia masih memiliki seribu cara untuk mengembalikan keperkasaannya dengan uang yang ia miliki.
Dan sekarang, Manda tidak tahu apakah harus ikut merasa senang atau bersedih setelah mengetahuinya.
Dia hanya menarik napas panjang, berkata hati-hati, “Itu … bagus, kan, kalau Direktur tidak imp0ten?”
“Ya, setidaknya dia bisa menyenangkan Miranda, dan Miranda pun bisa memberikannya keturunan. Tidak sepertiku. Selain itu … mereka berdua berasal dari kalangan atas. Miranda wanita luar biasa, sedangkan aku, setiap hari aku menghabiskan waktuku di depan oven. Bagus sekali, kan?”
Mulut Amanda mengerucut. Dia menarik lengan Eve, menggenggamnya. “Jika kontrak pernikahanmu sudah selesai dengan Direktur dan kau berencana pergi dari kota ini, ajak aku juga, ya? Aku akan pergi bersamamu, ke mana pun kau akan pergi.”
Eve diam sesaat. Matanya menelisik. “Tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa … pria itu menemukanmu?”
Manda menggeleng. “Belum. Tapi … itu tidak butuh waktu lama sampai dia tahu aku di kota ini.”
Lalu ekspresi Eve kembali bersemangat. Dia mengangguk mantap. “Kita pasti akan pergi bersama dari kota ini.”
Melihat Eve yang kembali bersemangat, Manda pun ikut tersenyum. “Baiklah. Tidak perlu memperdulikan pernikahan. Ikatan itu hanya membuat rumit. Tidak memiliki pasangan tidak akan membuat kita mati!”
“Jadi, ke mana dessert yang akan kau berikan pada Direktur tadi? Kemari, biar aku yang menghabiskannya. Pria seperti dia, tidak pantas mendapat perhatian dari wanita sepertimu.” Manda mengulurkan tangan.
“Sudah kubuang.”
“Apa?!” Mata Amanda selebar piring saat mendengarnya.
Sedangkan Eve, dia hanya nyengir. Kata tidak berdosa tertulis di keningnya.
“Kau- kau membuangnya?”
“Ya … aku tidak sengaja. Aku sangat kesal tadi, jadi semua yang kubawa untuknya kulempar begitu saja ke tong sampah.”
“Astaga Eve ….” Amanda menatapnya kesal, bahunya merosot kecewa.
“Jangan khawatir … aku akan membuatkanmu gratis di toko. Ayo ikut aku ke sana, oke?”
Siapa yang menolak kue gratis? Tentu saja Manda segera menarik tasnya, lalu bergegas ikut. Wajahnya kembali bersemangat.
Beberapa hari berlalu.
Suhu udara masih hangat—nyaman bagi sebagian orang.
Namun bagi Eve, hari ini terasa seperti panas yang membakar hingga ke tulang.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Miranda Management kembali menggelar Runway Week. Tapi kali ini, skalanya jauh lebih besar. Sebuah pertunjukan megah yang menyedot perhatian media nasional, dihadiri selebritas papan atas, brand fashion kelas dunia, dan para sponsor paling berpengaruh.
Termasuk satu nama yang paling banyak dibicarakan: Alexander Ace.
Suaminya.
Sponsor utama.
Pemilik setengah saham agensi Miranda.
Dan semua orang tampak terlalu bersemangat membicarakan tentang Alex dan Miranda—menyebut keduanya sebagai pasangan ideal, seolah mereka sepasang kekasih yang turun dari surga.
Mereka lupa bahwa Alex sudah menikah.
Atau mungkin ... sengaja melupakan.
Acara paling prestisius dalam industri mode itu akan dimulai kurang dari satu jam lagi.
Dan Eve ada di sana.
Bukan sebagai tamu undangan.
Bukan pula di kursi VIP.
Dia datang sebagai pemasok dessert resmi.
Sebuah kontrak eksklusif dari manajemen Miranda—lengkap dengan honor fantastis dan janji eksposur besar-besaran bagi tokonya.
Tawaran yang membuat Eve berpikir lama sebelum akhirnya menyetujui.
Dia tahu siapa yang berdiri di balik semua ini.
Dan kini, di balik meja panjang bernuansa putih dan emas, Eve berdiri, mengawasi stafnya menyusun dessert box berdesain mewah, seindah tema panggung malam ini.
Di sekelilingnya, aula dipenuhi hiruk-pikuk—model yang lalu-lalang, kru backstage yang berteriak sambil membawa gaun dan aksesori, serta fotografer yang sibuk menyesuaikan pencahayaan.
Gaun-gaun indah berdesir di sepanjang panggung catwalk, namun bagi Eve, malam ini terasa seperti pertunjukan bayangan. Musik mengalun, lampu berkilau, dan tamu-tamu berdatangan dalam busana terbaik mereka. Aroma parfum mahal bercampur dengan gelas-gelas sampanye yang beradu ringan di udara.
Dari sudut ruangan, Eve berdiri mengenakan dress hitam berpotongan sederhana namun anggun. Matanya menangkap sosok yang terlalu dikenalnya — Alex. Ia datang bersama Rayyan, dan keduanya segera menjadi pusat perhatian kecil di antara para tamu VIP. Eve menegakkan bahunya, berusaha tidak terlihat goyah.
Sejak kejadian di pinggir jalan malam itu — saat Alex menurunkannya di tengah jalan — mereka tidak lagi berbicara. Tidak satu pesan pun. Tidak satu panggilan pun. Bahkan tadi, ketika mata mereka bertemu di antara kerumunan, Alex hanya menatapnya sekilas. Dingin. Hambar. Seolah dirinya hanyalah ... orang asing.
Eve menunduk sesaat, menelan perih itu sendiri. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia tidak menyangka jarak di antara mereka bisa sejauh ini hanya dalam waktu sependek itu.
Acara dimulai.
Beberapa desainer ternama memberikan sambutan. Sorakan, tepuk tangan, dan decak kagum mengisi ruangan. Hingga akhirnya, MC mempersilakan CEO Miranda Management naik ke atas panggung.
"Please welcome ... Miranda Kingsley."
Lampu sorot mengarah padanya. Miranda melangkah anggun dengan gaun putih keperakan yang berkilau di bawah lampu. Rambut pirangnya disanggul tinggi, senyumnya tajam dan percaya diri. Ia berdiri di tengah panggung dengan mikrofon di tangan.
"Terima kasih kepada semua pihak yang telah membuat malam ini menjadi luar biasa," ucapnya, suaranya tegas namun lembut, "Dan terutama, untuk seseorang yang telah memberikan dukungan besar sejak awal. Sponsor utama kita—Alexander Ace."
Eve menegang. Ia bisa merasakan detak jantungnya berpacu tidak teratur.
Semua mata mengikuti pandangan Miranda. Alex yang berdiri tidak jauh dari Rayyan, tampak tenang saat seorang panitia mendekatinya dan mempersilakannya naik ke panggung.
Langkah kaki Alex di atas panggung terdengar berat di telinga Eve, walau seluruh ruangan dipenuhi musik. Ia tampak gagah, tenang, dan seperti biasa … sulit ditebak.
"Alex," ujar Miranda sambil tersenyum padanya, "Tanpa kamu, malam ini mungkin tidak akan pernah terjadi."
Dan sebelum ada reaksi lebih jauh, Miranda mencondongkan tubuhnya dan mencium pipi Alex. Di depan semua orang.
Kilatan kamera memenuhi ruangan.
Termasuk tatapan Eve.Matanya menyaksikan semuanya — tanpa berkedip.
Ia tidak menangis. Tidak juga menoleh. Tapi ada sesuatu yang menggumpal di dadanya, sesak dan pahit.
Tidak, kenapa dadanya harus terasa sakit?
Dia tahu dan sadar Alex hanya menyewanya sebagai istri untuk lima bulan. Alex tidak pernah mencintainya, dan seharusnya dia pun tidak boleh merasakan itu.
Tapi kenapa rasa sakit itu terasa sangat menyesakkan di dadanya?
Ini semua karena hatinya yang tidak tahu diri!
***