‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Terjatuh
...•••Selamat Membaca•••...
Malam itu sangat hening, tak ada suara bising selain binatang malam dan dengkuran halus dari mereka di dalam pondok kecil. Ada yang tidur sambil duduk, ada yang tidur rebahan.
Cyntia bangun, ia merasa sangat ingin buang air besar. Perutnya terasa amat sakit, karena takut sendirian, dia membangunkan Silly, Aneetha, Lika.
“Temani aku buang air, perutku sangat sakit.” Mereka bertiga saling pandang dan mengangguk, tanpa membangunkan semua temannya.
Mereka berempat keluar dari pondok tanpa penerangan sama sekali, malam itu cukup gelap.
“Jangan jauh-jauh, dekat sini saja, nanti kalau ada apa-apa kita bisa teriak,” ujar Aneetha pada Cintya.
“Oke.”
Mereka berempat pergi lumayan jauh dari pondok dan berjaga, menunggu Cintya selesai buang air besar. Cukup lama, akhirnya Lika memanggil tapi tak ada jawaban dari Cintya sama sekali.
“Cintya, are you oke?” seru Silly tapi tetap tak ada jawaban sama sekali.
“Cintyaa.”
Tetap tak ada jawaban, mereka mulai memeriksa keadaan cintya tapi...
BLUSSHH!!
Satu ayunan kapak tepat mengenai kepala Aneetha, dan jelas Silly serta Lika berteriak dengan kencang. Semua yang ada di pondok langsung terbangun dengan waspada.
Mereka kaget karena Cintya, Silly, Lika, dan Aneetha sudah tidak ada.
“Jangan-jangan penduduk itu udah di sekitar sini,” kata Reba dengan nada bergetar, Sofia dengan cepat langsung memeluk Maula.
“Kita harus pergi dari sini, kita sudah tidak aman lagi,” ujar Mavros.
“Bagaimana dengan mereka?” tanya Maula.
“Nyawa kita dulu, di hutan ini, yang kita butuhkan hanyalah bertahan hidup, bukan menyelamatkan nyawa orang lain. Nyawa kita sendiri belum bisa kita selamatkan,” sahut Nicholle dengan ketus pada Maula.
“Nicholle benar, kita lari sebelum mereka mengejar kita semua,” timpal Lika yang juga sudah panik.
Teriakan di luar sana semakin menggema, membuat yang ada di dalam pondok ikut gemetar.
“Kita datang ke sini bersama dan akan kembali bersama, mereka masih hidup, kita masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkannya,” tukas Maula.
“Kau sudah gila ya, kalau kita selamatkan mereka, yang ada kita semua akan mati. Jangan egois Maula.” Nicholle membentak dengan nada kuat.
“Sana lari, aku akan tetap membantu mereka, teriakan mereka jelas meminta kita datang. Sana selamatkan dirimu,” balas Maula tak kalah ketus.
“Yah, memang seharusnya kau yang ada di sini, bukan kami,” sambut Nicholle yang langsung mendapat tatapan aneh dari Maula dan yang lain. Maula mendekat saat Nicholle seolah sadar dengan ucapannya barusan.
“Apa maksudmu?” tanya Maula dengan tatapan tajam sekaligus mengintimidasi.
“Bukan apa-apa,” jawab Nicholle mencoba lepas dari pandangan Maula.
“Kau tahu sesuatu, katakan padaku, apa maksud ucapanmu barusan sebelum scalpel ini memutus urat nadimu.” Maula mengacungkan scalpel di tangannya pada Nicholle, karena suara heboh di luar sana mulai mendekat, mereka semua jadi panik dan memilih untuk melarikan diri.
“Kita tidak punya banyak waktu, ayo pergi,” kata Mavros sambil menarik tangan Maula, mereka semua lari dari pintu depan dan menjauh dari pondok itu.
“Lika bagaimana? Aku harus menyelamatkan dia,” seru Dorry karena kekasihnya ada di antara kanibal itu.
“Kalau kau menyusul mereka, kau cari mati.” Corvin terus menarik lengan Dorry yang ingin menyelamatkan kekasihnya.
“Kau pergi saja, aku akan menyelamatkan Lika.” Dorry berlari ke arah teriakan Lika dan Silly.
“Fuck... DORRYY!!” teriak Corvin.
“Mereka masih hidup, kita harus bantu,” kata Maula lalu menyusul Dorry untuk menemui Lika dan yang lain. Semua makin panik.
Hujan turun makin lebat, Dorry memegang tangan Maula sambil terus berteriak memanggil keempat teman mereka yang lain.
Sofia dan Mavros datang menyusul, mereka tidak mau meninggalkan Maula begitu saja. Sedangkan Corvin diminta untuk membawa rombongan lain ke atas bukit yang tak jauh dari lokasi pondok, setidaknya di sana lebih aman.
“Likaa.” Dorry terus berteriak memanggil nama kekasihnya dan akhirnya mereka bertemu, Lika dan Silly berhasil kabur sedangkan Cintya menghilang dan Aneetha di bawa oleh Pexir dan kawanannya.
Lika memeluk Dorry dengan erat, sedangkan Maula memeluk Silly.
“Kita cari tempat yang aman ya, yang lain ke atas bukit untuk berlindung,” kata Maula sambil memeluk Silly.
Mereka semua kembali berkumpul ke atas bukit dengan yang lain. Kondisi jalanan semakin buruk dan licin, beberapa kali Maula hampir jatuh dan untungnya Mavros memegang dengan kuat, menjaga Maula agar tidak kenapa-napa.
“Naik ke punggungku, bukitnya cukup jauh,” tawar Mavros sambil berjongkok di depan Maula.
“Tidak apa-apa, kita jalan saja.”
“Naik saja, nanti kalau kamu jatuh atau terpeleset, kamu bisa keguguran.” Maula mengangguk dan naik ke atas punggung Mavros.
Perlahan sambil berpegangan, mereka menaiki bukit dengan kondisi jalan yang cukup licin dan becek. Sampai di atas, pandangan Nicholle langsung tertuju pada Maula yang digendong oleh Mavros, hatinya sangat sakit.
Semua berlindung di atas bukit dan kini mereka hanya tinggal 13 orang. Anggota perempuan terdiri dari: Maula, Sofia, Nicholle, Reba, Ivory, Anna, Lika, Silly. Sementara anggota laki-laki ada: Mavros, Dorry, Corvin, Miller, dan Rachell.
Dorry dan Lika adalah pasangan, Miller dan Silly juga pasangan. Selebihnya hanya masing-masing saja.
“Thank’s Mavros, pasti berat menggendongku dari bawah sana.” Mavros tersenyum.
“Lumayan. Tapi menyenangkan juga, kamu baik-baik saja kan?” Maula mengangguk sambil tersenyum.
Mereka semua membiarkan air hujan membasahi tubuh, karena tidak ada tempat berteduh sama sekali di sana.
Tak lama, beberapa obor terlihat mendekat di tengah derasnya hujan. Suara sorakan serta kehebohan terdengar menaiki bukit itu.
“Mereka datang, kita harus ke mana lagi?” tanya Lika dengan panik.
Satu per satu obor itu padam, kegelapan kembali menyergap bukit tersebut namun langkah kaki cukup jelas terdengar oleh mereka. Makin lama semakin mendekat, bunyi batang pohon ditebas juga semakin kuat, yang menandakan bahwa mereka hampir sampai di puncak bukit.
“Ini tidak mungkin, kita akan lari ke mana lagi?” keluh Ivory yang tampak panik di sebelah Nicholle.
“Kita harus alihkan mereka, membuat suara atau benda jauh dari atas sini. Mereka akan mengira bahwa kita kembali turun dan pastinya mereka akan memburu ke bawah lagi,” ungkap Maula mengemukakan pendapatnya.
“Iya, Maula benar, tapi... apa yang akan kita lempar ke bawah?” pikir Mavros sambil melihat sekeliling.
Nicholle perlahan mendekat ke arah Maula, semua orang tengah sibuk mencari benda atau batang kayu untuk dilemparkan. Nicholle justru mendorong Maula hingga terpeleset jatuh ke bawah, di tengah teriakan Maula, Nicholle kembali ke tempatnya tadi lalu tersenyum jahat.
“Kau yang punya ide, harusnya kau yang bertindak, Maula.” Nicholle berkata dalam hati sambil tersenyum samar.
“MAULAAA!!!” Semua berteriak histeris dan hal itu justru memicu sebagian dari kaum kanibal naik dan sebagian turun.
Maula terus berguling ke bawah hingga jatuh tepat di ujung kaki seorang pria yang tengah memegang kapak besar. Maula tak bergeming ketika merasakan ada kaki seseorang menahan tubuhnya, pikirannya kacau, perutnya juga sakit, hatinya terluka karena tadi jelas bahwa seseorang telah mendorong punggungnya.
Pria itu menarik kuat rambut Maula untuk berdiri lalu menyeretnya ke bawah, dengan tergopoh-gopoh, Maula mengikuti langkah pria itu. Obor kembali menyala dan sudah ada sekitar lima orang di sekitaran dia.
Maula tak bisa berbuat apa pun lagi saat kail besar menancap kuat di betisnya.
Pekikan Maula menyatu dengan suara air hujan menghantam daun dan pepohonan.
Yang di atas bukit kalang kabut karena ternyata cukup banyak kanibal yang datang, Sofia memberanikan diri untuk ikut terjun ke bawah menyusul Maula, nasib yang sama akhirnya Sofia dapatkan, kakinya juga ditancapkan kail besar dan diseret untuk kembali ke desa terkutuk itu.
“Sofia,” lirih Maula ketika Sofia dihantam palu tepat di kepalanya, hingga Sofia pingsan.
...•••Bersambung•••...