NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Minta Izin

Sandi memang tidak memberikan kepastian akan kedatangannya pada orang tua dan seluruh keluarga besarnya. Walau tak bisa dipungkiri, dirinya adalah donatur untuk hari bahagia Sindi.

Sandi tau, ibunya memintanya untuk datang. Hanya untuk sekedar basa-basi, ketika dirinya mengirimkan nominal uang yang diminta. Memang sebenarnya dia malas datang, tapi apa mau dikata. Kekasih barunya yang tak lain adalah Ari, setengah memaksanya untuk datang.

Keduanya menyusuri jalan perkampungan lumayan padat, layaknya ibu kota. Hanya saja di sini lebih bersih dan tak seberisik ibu kota.

Ari masih menggendong carrier di punggungnya, namun ditambah dengan ransel milik Sandi di depan dadanya. Mana bisa dia membiarkan gadisnya membawanya.

Dari jalan utama, Sandi mengatakan jaraknya sekitar dua ratus meter dan hanya bisa dilalui satu mobil. Itupun sulit untuk parkir.

Sandi menghentikan langkahnya, dan melihat hiasan daun kelapa muda melengkung yang diikat di tiang besi bertuliskan Sindi dan Ali. Melihat hal tersebut, Sandi tersenyum kecut. Seharusnya nama yang tersemat adalah dirinya. Tapi kini justru dia yang menjadi tamu.

"Kenapa berhenti?" Tanya Ari heran.

Sandi menggeleng, "nggak apa-apa. Aku cuma lagi lihat tulisan itu. Huh ..." Dia membuang napasnya kasar. "Miris ya mas! Seharusnya itu namaku, eh malah adikku."

"Justru bagus lah!"

Sandi menoleh cepat, "kenapa bagus? Aku ini patah hati loh! Bisa-bisanya kamu bilang bagus."

"Ya bagus lah, coba kamu bayangin seandainya kamu masih sama dia. Itu artinya kamu nggak pindah ke Jakarta dan nggak ketemu aku lagi. Lalu kita nggak bisa sama-sama seperti sekarang." Sahut Ari. "Apa dia lebih baik dari aku?" Ari sedikit khawatir dengan jawaban yang akan terlontar dari mulut gadisnya.

Sandi menggeleng kencang, "mana ada." Bantahnya. "Gantengan kamu kemana-mana, termasuk juga masalah fulus." Dulu saat masih berpacaran dengan Ali, jika mereka bertemu di luar. Sandi yang mengeluarkan uang untuk mereka berkencan. Atau sesekali split bill. Sementara Ari? Sepanjang mereka dekat, Ari membayar sarapan, makan malam. Atau jika sedang keluar kota, Sandi sama sekali tak mengeluarkan uang sedikitpun. Termasuk tiket kereta, pesawat, tarif taksi online. Jangan lupa sewa kamar semalam dan juga makanan yang mereka konsumsi. Semuanya Ari yang menanggung, tanpa diminta. Sesuai kata Mia, Ari adalah sosok laki-laki loyal.

"Sebentar lagi kamu ketemu mantan kamu, apa mungkin kamu akan goyah?" Ari jadi merasa khawatir, mendadak rasa percaya dirinya turun drastis.

"Goyah apa, lah wong aku juga nggak beneran suka sama dia. Karena dia rajin deketin aku, makanya dikit-dikit aku mulai ada rasa."

Wajah yang semula menunjukkan kecemasan, kini terlihat sumringah. Ada kelegaan pada benak Ari.

Mereka kembali berjalan, posisinya masih sama. Sandi berjalan di depan, diikuti Ari dibelakangnya.

"Terus entar aku harus gimana di depan orang tua kamu? Maksudnya aku harus bersikap kalem atau banyak bicara." Tutur Ari. Ini kali pertama dia bertemu dengan orang tua pujaan hatinya saat ini. Ari sama sekali tidak tau karakter dari orang tua Sandi. Berbeda dengan orang tua Rumi, yang memang sudah dikenalnya semenjak kecil. Maklum saja, Ari dan Rumi adalah tetangga satu RW beda RT.

"Biasa saja sikapnya, kamu jadi diri sendiri." Sahut Sandi.

"Jadi diri sendiri?" Ari bergumam.

"Udah nggak usah diambil pusing. Yang jelas orang tua ku itu seperti umumnya orang tua Jawa, kamu paham maksud aku kan?"

Ari berusaha mencerna. Dia dan Sandi memang sama-sama terlahir dari suku Jawa, hanya saja beda wilayah dan bahasa. Karakternya jelas beda, meskipun keduanya memiliki bahasa Jawa kasar bukan halus.

Suara khas musik kondangan sudah terdengar, pun tenda terlihat dari kejauhan. "Ibu minta aku buat bantu Sindi bayar tenda sama dekor serta rias pengantin." Katanya sambil terus berjalan perlahan. "Padahal aku baru pindah, gaji aja masih dari pabrik. Aku sempat bingung banget."

"Kenapa nggak bilang ke aku?" Ari menahan tangan kekasihnya. Alhasil langkah terhenti dan Sandi menoleh. "Lalu kamu dapat uang itu dari mana?" Tanyanya.

"Pinjam ke kantor tapi atas nama Mbak Indah." Sandi menjawab. "Aku belum bisa ajuin pinjaman, soalnya aku masih baru banget dan belum gajian yang nominalnya standar kantor pusat. Baru akhir Minggu kemarin gajian." Jelasnya.

"Berapa kamu pinjam?"

"Tiga puluh."

"Senin besok kembalikan."

"Hah ..." Sandi melongo. "Maksudnya?" Tanyanya.

"Kembalikan uang itu."

"Kamu ngelawak atau lagi ngejek aku?" Mendadak Sandi merasa kesal.

"Aku bukan ngelawak dan nggak lagi ejek kamu. Karena aku nggak mau, calon istriku punya utang dan kekurangan uang."

"Kamu mau putusin aku?" Sandi meninggikan suaranya.

Ari menarik pelan tangan gadisnya, ada orang mau lewat. "Punya pikiran negatif nih kamu. Mana ada aku mau putusin kamu, kamu ini calon istri aku." Dia tak habis pikir, kenapa bisa Sandi berpikir seperti itu. "Sayang ... Besok Senin aku kasih kamu uang cash 30, bayar lunas hutang kamu."

"Hah ..." Sandi menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu kasih uang ke aku?"

"Karena kamu calon istri aku."

"Kan baru calon."

"Aku mau kasih, emang salah ya? Bukannya wajar calon suami kasih uang ke calon istrinya?"

"Tapi aku kan belum iyain mau nikah sekarang."

Sulit sekali membuat pujaan hatinya mengerti. "Sandi sayang, aku nggak mau kamu pusing mikirin utang. Kamu cukup pikirin aku dan pekerjaan aja. Yang lain nggak usah. Kamu ngerti sekarang?"

"Nggak, aku nggak ngerti dan nggak mau. Baru pacar udah dikasih duit, aku bisa kok bayar nyicil pakai gaji."

Satu hal yang Ari Sadari, gadisnya sepertinya terbiasa mandiri. Sehingga cukup aneh apabila ada yang memberikan bantuan. Sandi tak terbiasa ditopang oleh orang lain.

"Gini deh, dari pada kamu punya utang sama kantor. Kamu utang ke aku aja, kamu bisa bayar tiap bulan setelah gajian. Kamu juga bisa bayar semampunya, misal bulan ini lagi banyak pengeluaran. Kamu bisa kembalikan lebih besar. Aku tidak akan membatasi tempo dan tidak ada bunga. Gimana?" Menghadapi perempuan independen, jangan sampai menyinggung ego-nya. Jadi Ari menawarkan solusi yang menurutnya tak akan melukai ego pacarnya.

"Emang boleh?" Tanya Sandi ragu.

"Bolehlah, aku yang tawarin. Jadi kamu mau, kan?"

"Aku tanya Mbak Indah dulu."

"Oke kalau begitu."

Keduanya kembali berjalan, jarak tak sampai sepuluh meter lagi. Terlihat kesibukan di sana. Beberapa kali Sandi disapa, dan dia menyahut dengan ramah.

"Mbak Sandi ..." Seorang anak remaja laki-laki menghampiri dan menyalami serta mencium punggung tangan. "Tyo pikir Mbak, Ndak pulang."

"Ibu mana, Yo?" Tanya Sandi. Kakak beradik itu berjalan beriringan masuk ke dalam tempat resepsi. Terlihat beberapa saudara dan tetangga sedang sibuk mempersiapkan tempat. Sebagian terlihat terkejut dengan kedatangan Sandi, sebagian hanya sekedar menyapa.

"Ibu lagi dirias, Bapak lagi ngobrol sama Pak lek dan Pak RT." Sahut remaja yang mengenakan batik. "Mbak naik apa pulang kesini?"

"Tadi kesini naik mobil." Maksudnya adalah mobil taksi online. Sandi tidak mau memancing kehebohan, andai dia mengaku naik pesawat. Bisa-bisa akan ada omongan tidak enak didengar. Misal menyangka dirinya telah jadi orang kaya sehingga tanpa malu meminjam uang padanya. Karena sebagian saudara menganggap, perantau ke ibu kota pasti sukses. Masalahnya, Sandi baru datang mengadu nasib. Gajinya pun masih mengikuti standar pabrik, mungkin bulan depan gajinya sudah bisa disesuaikan dengan standar kantor pusat.

"Entar cerita ke Tyo ya mbak! mbak udah main kemana aja di Jakarta." Salah satu saudara memanggil Tyo, sehingga remaja itu menyudahi obrolan dengan kakak tertuanya.

"Iyyaa ... Sekarang mbak mau cari ibu dan bapak dulu."

Sandi sempat menghentikan langkahnya beberapa meter dari pelaminan, dia tersenyum kecut. Tapi setelahnya ada yang menyentuh tangannya dan dirinya menoleh. Sandi mendapati pacarnya menatapnya, "apa mas?"

"Aku boleh numpang ke toilet, nggak?"

"Ya udah Ayuk!" Sandi melangkah memasuki teras rumahnya sambil berucap salam.

Di ruang tamu rumah orang tuanya dijadikan sebagai tempat prasmanan, ada saudara dari pihak ibunya sedang menata makanan. Sandi sempat menyalami dan basa-basi sejenak, lalu setelahnya masuk ke ruang tengah. Di sana ada bapak dan dua orang laki-laki berpakaian batik lengan panjang. Seragam sama seperti Tyo.

"Loh nduk! Pulang Ndak bilang bapak. Kan Bapak bisa jemput di stasiun." Bapak menyambut uluran tangan putri sulungnya.

"Sandi naik mobil, pak!" dia juga menyalami pak lek dan pak RT. "Sandi kebelakang dulu." Katanya. "Tasnya taruh situ aja." Sandi menunjuk pojok ruangan, dekat bufet.

Ari menaruh carrier dan ransel milik Sandi. "Ayuk ke toilet dulu."

Sandi sempat menyapa saudaranya yang lain, di ruang makan. Tempat kue-kue dan tentengan untuk tamu. Lalu keduanya memasuki dapur, ada yang sedang memasak sajian untuk prasmanan. Sandi kembali menyapa, setelah sebelumnya mempersilahkan Ari untuk ke toilet yang letaknya di pojok dapur.

Salah satu tetangganya, menjelaskan beberapa masakan yang dibuat karena sebelumnya Sandi sempat bertanya. Lalu saat dirinya ditanya soal lelaki yang datang bersamanya. Ari sudah selesai berurusan dengan toilet.

"Kamu nggak ke toilet dulu?" Tanya Ari.

Sandi memberikan Sling bag miliknya. "Tolong pengang dulu." Katanya sambil berlalu masuk ke pintu berwarna biru muda.

Sepeninggal Sandi, Ari langsung menjadi pusat perhatian. Selain karena dia laki-laki yang datang bersama putri sulung tuan rumah. Penampilan Ari tentunya.

Postur tubuh yang hampir mendekati seratus delapan puluh, wajah rupawan jelas membuat sebagian saudara dan tetangga Sandi saling pandang seolah sedang berkomunikasi lewat tatapan.

Ari mendadak grogi, menjadi pusat perhatian di antara ibu-ibu. Padahal pekerjaannya dulu, sudah terbiasa menghadapi orang-orang dari berbagai kalangan. Apa mungkin karena ini di tempat asing atau keluarga pujaan hatinya? Sepertinya yang terakhir alasannya.

"Ayuk mas, ketemu ibu dulu." Ajak Sandi begitu keluar dari toilet. "Kulo bade teng mbajeng riin bulek." Ujarnya pada mereka yang ada di dapur.

"Aku baru denger kamu ngomong pakai bahasa kromo Inggil." Ari mengikuti Sandi masuk ke dalam ruang makan.

"Aneh ya?"

"Nggak sih, rasanya nyes aja dengernya." Ari senyum-senyum.

Sandi memanyunkan bibirnya, meski tak dipungkiri wajahnya terasa panas. "Mau teh atau kopi?" Tawarnya.

"Pagi ini aku kan udah ngopi, aku mau air kosong aja." Tadi pagi begitu bangun, mereka sempat memesan layanan kamar sebelum berangkat.

Sandi mengangguk, "bude, aku mau kuenya dong!" pintanya. Pada saudaranya yang sedang menata kue.

Ada beberapa kue tradisional, Sandi menawarkan pada Ari dan Ari menyebutkan beberapa yang diinginkannya.

Lalu Sandi membawanya menuju ruang tengah, karena di sana masih ada space untuk sekedar selonjoran.

Di Sana tertinggal bapak dan pak lek nya, sedang berdiskusi soal acara yang akan berlangsung dua jam lagi.

"Ini siapa, nduk?" Tanya Pak Lek menunjuk ke arah lelaki yang duduk bersila di samping keponakannya.

Belum sempat Sandi menjawab, Ari terlebih dahulu menyodorkan tangannya. "Perkenalkan pak lek, saya Ari." Tak lupa mencium tangan sebagai tanda kesopanan. Begitu juga pada calon mertuanya.

"Teman kerja di Pabrik atau di kantor Jakarta, Mas Ari ini?" Tanya Bapak.

Sandi bingung menjelaskan, tak mungkin dirinya langsung mengatakan jika Ari adalah bapak kos tempat di mana dirinya tinggal.

"Bukan dua-duanya, Pak!"

"Loh terus apa?" Tanya Pak Lek.

Ari melirik sekilas pada gadisnya, Sandi sempat menggeleng. Dari tatapan mata, melarang Ari untuk mengatakan soal hubungan mereka. "Saya pacarnya Sandi, pak!" Ari yang sudah ngebet, mana bisa tetap menutupi.

"Mas ..." Sandi hendak melontarkan protes.

"Saya sudah mengenal putri bapak sejak tiga tahun lalu, dan baru bertemu lagi sejak Sandi pindah ke Jakarta. Kebetulan tempat tinggal saya berdekatan dengan kosan Sandi." Itu benar adanya, Ari jujur. "Begitu bertemu lagi, saya tertarik pada Sandi dan ingin segera mengikatnya."

"Mas ..." Sandi mendelik. "Bapak, Sandi bisa jelaskan."

Larangan sama dengan perintah, itu berlaku untuk Ari. Dia justru semakin bersemangat. "Kalau bapak izinkan, saya ingin segera mengajak keluarga untuk melamar Sandi. Bukankah niat baik tidak boleh ditunda?"

Belum sempat bapak menanggapi, ibu keluar dari kamar. Perempuan yang melahirkan Sandi terkejut dengan perkataan lelaki asing. Suaranya sedikit meninggi, bertanya soal apa yang didengarnya.

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!