Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6 Remake: Perasaan Yang Aneh
Sudah lima tahun berlalu sejak malam yang mengubah hidup Sho selamanya.
Musim semi kembali menyapa Rivera dengan embusan angin yang harum dan lembut, membawa aroma bunga yang merekah di seluruh penjuru desa. Burung-burung kembali bernyanyi di pepohonan, dan sinar mentari menari di sela-sela dedaunan yang berkilauan.
Toko bunga keluarga Noerant yang dulu sunyi dan terbengkalai kini kembali hidup. Jendela-jendelanya bersih, pot-pot bunga berjajar rapi di ambang dan di pelataran, menampilkan warna-warni yang menyala dalam harmoni alami. Dan di balik meja kayu tua di dalam toko itu, berdirilah Sho—seorang remaja lelaki berusia lima belas tahun yang telah tumbuh dengan cepat dari bocah pendiam menjadi sosok yang dewasa sebelum waktunya.
Rambut cokelatnya tetap pendek dan acak-acakan, matanya yang berwarna merah rubi kini tidak lagi sering dipenuhi air mata, melainkan memancarkan ketenangan dan kedalaman yang sulit dimengerti oleh orang lain seusianya. Ia mengenakan celemek lusuh di atas pakaian sederhana, tangan-tangannya terampil menata bunga demi bunga ke dalam rangkaian yang sempurna.
Meski luka lama tak sepenuhnya sembuh, Sho telah belajar hidup dengan kehilangannya. Ia tidak pernah benar-benar mengingat sosok wanita misterius yang datang saat masa-masa tergelap hidupnya, hanya samar-samar mengingat perasaan hangat yang entah mengapa membuatnya kuat kembali—tanpa tahu bahwa sosok itu pernah menyelamatkan jiwanya dari kehancuran.
Setiap pagi Sho akan membuka toko, menyiram bunga, menata pesanan pelanggan, lalu menutup toko saat matahari tenggelam. Hidupnya tenang, walau terkadang terasa sunyi... Kecuali pada hari-hari tertentu.
Sebab Aria Pixis masih sering datang.
Gadis itu kini berusia enam belas tahun. Ia telah bertumbuh menjadi sosok yang tak kalah mencolok dari bunga liar di pegunungan—kuat, bebas, dan perlahan-lahan menampakkan sisi lembut yang tersembunyi.
Rambutnya tetap pendek, berwarna biru malam seperti langit yang belum dijamah fajar. Tatapannya tajam namun tulus, dan meski ia masih membawa busur kecil di punggungnya ke mana pun ia pergi, kini ada kelembutan dalam gerak tubuh dan caranya berbicara. Ia belum sepenuhnya berubah menjadi gadis feminin, dan mungkin takkan pernah. Tapi ada yang tumbuh—cara dia menata rambutnya sedikit lebih rapi, cara dia duduk lebih tenang saat menunggu Sho selesai menata bunga.
Mereka sudah tak lagi bermain seperti dulu, tak lagi bertemu setiap hari di hutan. Namun setiap kali Aria datang ke toko, Sho selalu menyambutnya dengan senyum tenang, dan waktu terasa melambat seperti musim semi yang enggan berlalu.
“Sho, apa kau tahu? Aku mendengar gadis-gadis didesa berbicara tentang mu, bahkan aku mendengar kalau salah satu dari mereka menyukai mu,” komentar Aria suatu hari sambil bersandar di ambang pintu toko, tangan bersilang di dada.
“Benarkah?” jawab Sho dengan senyum tipis, tanpa menoleh. Tangannya tetap sibuk menyusun bunga lavender ke dalam keranjang rotan. “Lagipula aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan.”
Aria mengangguk pelan, lalu diam sesaat sebelum akhirnya berkata, “Kau sudah banyak berubah, bahkan menjadi semakin tampan hingga populer.”
Sho menoleh, menatapnya sebentar. “Bukankah kau juga?”
Aria membalas tatapan itu. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka setelah itu, hanya keheningan yang anehnya tak membuat canggung.
Seiring waktu, Aria juga belajar memahami sesuatu yang dulu sulit ia terima—tentang perasaan, tentang perhatian, tentang kekuatan yang bukan hanya soal otot atau ketepatan anak panah. Ia mulai menikmati aroma bunga meskipun tak mengakuinya. Ia kadang diam-diam mencuri satu tangkai bunga liar di meja Sho untuk diselipkan ke tali rambutnya.
Dan Sho... Sho mulai berbicara lebih banyak. Tentang bunga, tentang cuaca, bahkan tentang rasa rindu. Tapi hanya pada Aria. Hanya padanya.
Namun di balik semua ketenangan itu, dunia belum selesai menguji mereka.
Mungkin karena keduanya tahu: kedewasaan mereka dibentuk oleh luka yang berbeda, tapi saling mengisi.
Di suatu sore, saat toko hampir tutup dan Aria bersiap pulang, angin bertiup sedikit lebih dingin dari biasanya. Dedaunan di pohon bergemerisik pelan, dan mata Sho tiba-tiba menatap langit seperti sedang mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Jantungnya berdebar—pelan, tapi aneh. Seakan sesuatu... Sedang bergerak dalam diam.
Dan musim semi yang datang kali ini, terasa berbeda.
---
Malam menurunkan tirainya perlahan, menutupi Rivera dengan selimut langit bertabur bintang. Udara menjadi lebih sejuk, embusan angin membawa aroma tanah dan bunga basah. Cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk menerangi jalanan batu kecil, menciptakan bayangan panjang yang bergoyang tertiup angin.
Sho menutup pintu tokonya dengan lembut, lalu mengaitkan pengunci kayu seperti biasa. Ia menggeliat sejenak, melemaskan bahunya yang lelah setelah seharian merangkai bunga dan menerima pelanggan. Tak ada keluhan. Tak ada gumaman. Hanya keheningan dan satu sosok di dalam pikirannya—Aria, seperti biasa.
Dia masih bisa mengingat ekspresi gadis itu saat hendak pulang. Rambut pendeknya tertiup angin, mata kuning keemasan itu sempat menatap Sho lebih lama dari biasanya. Tidak ada yang dikatakan. Tapi ada sesuatu dalam keheningan mereka, sesuatu yang membuat dada Sho terasa aneh.
Namun bukan itu yang membuat malam ini berbeda.
Sho berjalan masuk ke ruang belakang rumah yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Dinding-dinding kayu berderit lembut, dan aroma bunga segar dari toko masih terasa sampai ke dalam. Ia duduk di tepi ranjangnya, membuka celemek dan menggantungnya di belakang pintu. Setelah memadamkan lentera utama, hanya cahaya kecil dari lampu minyak yang tersisa, menggoyang lembut dengan api kekuningan yang tenang.
Lalu sesuatu terjadi.
Samar...
Sebuah cahaya hijau redup mulai memancar dari bawah kerah bajunya.
Sho menunduk, perlahan menarik keluar sebuah kalung kristal hijau yang tergantung di lehernya dengan rantai perak yang tipis. Kristalnya kecil, bentuknya seperti tetesan air yang memanjang. Ia sudah memakainya selama bertahun-tahun, bahkan tanpa tahu mengapa.
Dan malam ini... Kalung itu bercahaya.
Sho memandangi cahaya itu dalam diam. Mata merahnya memantulkan sorotan hijau tersebut, tampak bingung dan sedikit... Gelisah.
"Aneh..." gumamnya pelan. "Mengapa kalung ini bercahaya?"
Ia mengangkat kalung itu lebih dekat ke wajahnya. Tidak panas, tidak berdenyut, tidak juga bersuara. Hanya bersinar—pelan, lembut, seolah memberi peringatan diam-diam. Tapi peringatan untuk apa? Sho tidak tahu. Bahkan saat ia mencoba mengingat, pikirannya seperti terbentur kabut yang menebal.
Ia tidak tahu dari mana kalung itu berasal.
Ia tidak tahu siapa yang memberikannya.
Tidak tahu kenapa ia tak pernah melepaskannya.
Seolah... Benda itu adalah bagian dari dirinya.
Ia tidak tahu kenapa kalung ini begitu akrab, seperti perasaan yang pernah dicuri darinya.
Dan malam ini, untuk pertama kalinya, kristal itu bersinar.
Tak lama setelah itu, angin bertiup masuk dari jendela yang belum sepenuhnya tertutup. Tirai bergoyang pelan.
Sho menoleh, merasa udara di ruangan berubah. Lebih dingin. Lebih berat.
Dia berdiri perlahan, berjalan ke jendela dan menatap keluar.
Tidak ada apa-apa di luar.
Hanya kegelapan.
Tapi jauh di balik hutan yang membingkai desa—di tempat pandangan tidak bisa menjangkau—sesuatu sedang bangkit. Sesuatu yang telah lama tertidur, namun kini mulai bergerak.
Dan kilatan samar—hijau dan gelap—terpantul di balik pohon-pohon, terlalu cepat untuk dilihat, terlalu nyata untuk diabaikan.
Sho menutup jendela. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu bahwa kalung itu bukan hanya kenangan. Tapi pelindung.
Ia tidak tahu bahwa malam ini adalah malam ketika takdir mulai memberi peringatan.
Tapi sayangnya... Ia belum bisa membaca tanda-tanda itu.
---
Sho akhirnya menarik selimut hingga ke dadanya, membiarkan cahaya hijau dari kalung itu terus bersinar pelan di tengah ruangan gelap. Ia sudah mencoba memahami artinya, tapi pada akhirnya... Ia hanya bisa menghela napas dan bergumam:
“Mungkin hanya kebetulan.”
Dengan satu gerakan malas, ia membalikkan badan, membiarkan kalung itu tetap tergantung di lehernya, menyentuh kulit dingin dadanya. Ia memejamkan mata, perlahan hanyut dalam kantuk.
Tak satu pun dari mimpinya malam itu yang ia ingat keesokan harinya.
---
Pagi menyambut Rivera dengan sinar hangat dan langit cerah seperti biasa. Angin pagi membawa aroma embun dan dedaunan muda. Burung-burung berkicau seperti tak tahu bahwa dunia sedang menyimpan sesuatu yang mengintai.
Sho membuka pintu toko bunganya dengan senyum tenang. Ia mengangkat dua pot bunga ke depan rak pajangan, menyusun ulang bunga lili dan ranunculus agar lebih mencolok dari jendela. Jemarinya bekerja cekatan, wajahnya teduh.
Sesekali, ia menyapu pandangannya ke arah jalan, berharap melihat sosok Aria lewat sambil mengangkat alis seperti biasanya, atau mungkin menyindirnya karena terlalu suka bunga.
Namun pagi ini berbeda. Tak ada tanda Aria. Tak ada anak-anak berlarian. Terlalu... sunyi.
Sho mengernyit. Ada rasa aneh mengendap di dadanya, namun ia menepisnya. Ia kembali masuk ke dalam toko, ingin menyusun rangkaian baru. Belum sempat ia meraih gunting bunga, getaran hebat mengguncang tanah.
Bunga-bunga dari rak atas berjatuhan.
Rak-rak kayu bergoyang.
Getaran itu bukan gempa biasa.
BOOM!
Sebuah ledakan terdengar dari arah gerbang desa.
Sho membeku.
BOOM!
Ledakan lain, lebih dekat. Jeritan mulai terdengar. Lalu suara yang tak pernah ia dengar sebelumnya—
Dengungan rendah. Seperti derak tulang dan suara baja beradu. Diikuti suara-suara berat, seperti langkah kaki makhluk yang tak seharusnya ada di bumi ini.
Darah Sho mendadak membeku. Ia melangkah menuju jendela, mencoba melihat keluar.
Dan di situlah ia melihatnya.
Makhluk hitam humanoid berkulit baja, berjumlah puluhan, berjalan dengan kaki menyerupai serangga dan tubuh menjulang seperti menara berduri. Mata merah menyala di kepala mereka. Mereka—Invader.
Makhluk yang seharusnya hanya ada di kisah-kisah perang kuno, atau laporan darurat dari negeri jauh. Tapi kini—mereka berada di Rivera.
Dan mereka mulai menghancurkan segalanya.
“Ini... Bukan mimpi, kan?” Sho bergumam, badannya tidak bisa digerakkan.
Jeritan. Asap. Api.
Ledakan lainnya melemparkan satu rumah ke udara. Pot bunga Sho jatuh dan pecah di lantai, tapi ia tak memperhatikannya. Saat ia mencoba lari menuju pintu belakang—
Dinding depan toko meledak.
Serpihan kayu, kaca, dan debu beterbangan.
Satu proyektil hitam menabrak toko bunga milik Sho langsung, menghancurkan separuh bangunannya dalam satu hentakan.
Sho tidak sempat menghindar.
Pandangannya terguncang. Suara dunia mendadak menghilang. Semuanya seperti melambat. Suara terakhir yang ia dengar hanyalah retakan kayu, lalu—gelap.
Tubuh Sho tertimpa balok dan reruntuhan, terkapar tak sadarkan diri di antara pecahan bunga dan tanah yang berceceran.
Di tengah puing-puing itu, hanya satu hal yang tetap menyala.
Sinar hijau dari kalung di lehernya—bergetar, seperti menolak kenyataan, dan kalung tersebut bersinar terang, lebih terang dari malam tadi.
Dan jauh di langit yang mulai menghitam oleh asap dan api,
Sesuatu sedang turun.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/