Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - TAMU TAK DIUNDANG
Semakin hari, mental semakin tidak baik-baik saja,
Mau seberapapun aku kuat, akan ada waktunya lelah juga~
***
Malam semakin dingin, Satria sudah terlelap bersama mimpi, sementara Elen kesusahan tidur. Ia hanya bisa menatap nanar langit-langit kamar. Hening, merasa sepi karena hanya ada suara gemericik hujan yang tak terlalu deras.
Andai ia punya sandaran, andai apa yang ada di angan sesuai dengan realita, ia pernah membayangkan bagaimana hangatnya percakapan malam bersama suami. Obrolan ringan bersama teh hangat yang sederhana, saling melempar senyum dan membicarakan masa depan anak-anak, misalnya.
Namun, semua itu hanyalah angan yang tak terwujud bagi Elen. Kehidupannya keras sedari dulu, tak ada uang maka tak ada kasih sayang.
Ingatannya menerawang ke masa lalu. Sejak kecil, Elen tak pernah merasakan apa itu hangatnya keluarga, selalu merasa dingin di tengah-tengah keluarga yang utuh. Ayahnya hanya sedikit perduli dengannya, sedang Ibu selalu acuh tak acuh. Sekeping cerita yang ia ingat dari saudara sang Ayah, Ibunya dulu anak orang kaya. Namun, menjadi kaya tentu ada aturan-aturan di dalamnya termasuk hak waris keluarga akan jatuh pada cucu laki-laki. Sementara sang Ibu, karena dirinyalah sang Ibu tak mendapat apapun hingga sekarang, terbuang dan hidup pas-pasan.
Kejam sekali keluarganya, padahal mau laki-laki atau perempuan sama saja.
"Satria, baik-baik sekolah, Sayang! Apa yang terjadi pada Momy, tak akan Momy biarkan terjadi juga padamu. Kamu berhak bahagia," gumam Elen sebelum memejamkan matanya, menyusul Satria yang terlelap.
Pagi hari, Elen terbangun. Segera bangkit setelah menciumi wajah sang anak yang masih pulas. Elen bergegas ke kamar mandi mencuci muka kemudian masak untuk sarapan.
"Baik banget Bu Idha, bahkan perlengkapan disini boleh digunakan," gumam Elen.
"Mom?" panggil Satria, bocah itu keluar kamar dengan wajah khas bangun tidur. Mengucek matanya dan menghampiri sang Momy yang berjibaku di dapur.
"Hai sayang, sudah bangun?" sambut Elen dengan senyuman.
"Iya, Mom. Mau mandi!" ujar Satria.
"Oke, Momy siapin air dan bajunya dulu. Kamu tunggu disini.
Satria mengangguk.
Letak kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur mempermudah dirinya menyiapkan segala keperluan Satria dengan mudah dari air untuk mandi dan sarapan.
"Seneng banget Momy, Satria udah pinter sekarang. Kamu pake seragamnya yah terus sarapan, bisa kan?"
"Bisa Momy."
"God, anak hebat! Momy mandi baru kita sarapan bersama," ujar Elen.
***
Jam masih menunjukkan pukul enam pagi, Satria sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Sementara Elen keluar kamar mandi dengan daster dan handuk yang masih melilit di kepala. Namun, hal seperti itu tak membuat kecantikannya memudar, secara alami dia sudah cantik, hanya keterbatasan ekonomi membuat Elen sulit merawat diri.
Tok tok tok...
Ketukan pintu mengganggu aktivitas mereka. Satria dan Elen saling pandang karena heran siapa yang bertamu ke rumah pagi-pagi seperti ini. Melangkah ragu, Elen berjalan ke arah pintu dan membukanya. Barangkali memang ada tetangga ugren berkunjung.
Ceklek,
"Pak Divine?" Elen terkejut setengah tak percaya jika bossnya sepagi ini datang ke rumah dengan setelan jass mahal dan rapi. Wajahnya yang masih muda dan tampan membuat siapapun pasti akan terpesona melihatnya. Begitu juga dengan Elen yang mematung di tempat.
"Kamu tidak membiarkan saya masuk? Minimal nawarin sarapan?" ucap Divine datar.
Elen yang dalam keadaan masih mengenakan daster pun terkejut sekaligus malu.
"Ah iya, tapi masalahnya..." Elen menjeda ucapannya. Masih tak percaya karena ini terlalu pagi untuk bertamu dan Divine? Laki-laki itu dengan santainya menyelonong masuk menghampiri Satria.
"Hallo jagoan, pagi." sapa Divine.
"Om baik, Om baik kesini lagi?"
"Wo iya dong, kan mau nganter kamu ke sekolah." Divine tersenyum memperhatikan Satria yang tengah menghabiskan sarapan sederhananya.
"Om mau?" tawar Satria.
Elen mengabaikan Divine, ia malu dan segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Memoles tipis wajahnya dengan bedak bayi, dan lipstik seharga tiga puluh ribu agar wajahnya terlihat lebih baik.
"Pak Divine tak perlu repot-repot kesini untuk Satria, aku akan mengantarnya sendiri." Elen berujar hati-hati, takut menyinggung boss dingin itu dengan kalimatnya.
"Kamu tidak menawariku sarapan?" bukan menjawab Divine malah menatapnya sambil menaik turunkan alis. Wajahnya yang masih tanpa ekspresi membuat Elen sekali mengumpatinya.
"Tapi..." Elen melirik meja, ia memang masak banyak biar Satria bisa membawa bekal, akan tetapi Elen tak percaya diri dengan masakannya yang sederhana.
Seorang Divine, CEO grup Wijaya harus sarapan pagi bersama Elen dan putranya dengan sayur bayam, sambel tomat, bergedel dan juga tempe. Apa kata dunia?
Spontan Elen menggeleng, akan tetapi yang dilakukan Divine justru diluar dugaannya. Laki-laki itu dengan santai mengambil nasi, sayur dan lauk tanpa menunggu si tuan rumah mempersilahkan.
Tin tin..
Suara klakson mobil di depan, Elen segera menyusul Divine dan Satria yang sudah keluar rumah lebih dulu.
"Ck! Bisa-bisanya CEO Wijaya Group punya banyak waktu luang menjemput sekertaris baru," cibir Rafael yang baru datang. Awalnya ia terkejut adanya Divine di kontrakan Elen. Namun, sepertinya omongan sahabatnya kemarin sangat serius.
"Kau sendiri, ngapain kesini?" tanya Divine sinis.
"Aku? Tentu saja menjemput Elen."
"Kan aku sudah bilang akan berangkat sendiri," gumam Elen yang mampu didengar oleh Divine dan Rafael.
"Ck! Aku tidak menjemputmu! Kau berangkat saja dengan Rafael, aku hanya akan mengantar Satria!" tegas Divine.
Rafael tersenyum senang, terlebih melihat Divine yang membiarkan Elen berangkat ke kantor bersamanya bukankah itu hal yang bagus?
"Ayo Satria, kita berangkat!" ajak Divine.
"Boleh Mom?" tanya Satria.
Elen menatap Divine sebentar lalu mengangguk. Melihat Satria tampak sumringah sepertinya ia tak tega mematahkan hati sang putra dengan melarangnya. Toh Elen mengenal Divine sebagai bossnya, jadi tak akan mungkin laki-laki itu berniat jahat pada Satria.
Mereka berpisah di depan rumah. Elen ikut bersama Rafael sementara Divine mengantar Satria ke Sekolah.
Mobil mewah itu memasuki pelataran TK dimana Satria bersekolah. Tampak sang bunda pagi-pagi juga sudah berada disana. Namun, Divine buru-buru ia tak sempat menemui bundanya di kantor. Setelah memastikan Satria masuk ke dalam kelas ia segera pergi dari sana dan berangkat ke perusahaan.
"Wah Satria siapa tadi?" tanya kawan sebangkunya.
"Om baik!" jawab Satria.
"Benarkah, wah keren sekali kamu berangkat sekolah diantar pakai mobil seperti di film-film," puji teman belakangnya.
Satria hanya mengangguk, sebab ia sendiri baru mengenal Om baik itu kemarin. Dalam pikiran Satria, ayah sungguhannya saja tidak sayang apalagi orang lain. Kadang, ia berfikir keras kenapa ayahnya seperti itu.
"Kau sungguh membiarkan Divine mengantar Satria?" tanya Rafael.
"Hm, itu permintaan Satria sebelum tidur kemarin. Dia menanyakan apa boleh bertemu lagi dengan Pak Divine, aku takut jika melarangnya Satria akan merasa sedih."
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....