Maheswara merasakan sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuhnya ketika bersentuhan dengan wanita berhijab itu. Setelah delapan tahun dia tidak merasakan sensasi kelaki-laki-annya itu bangun. Maheswara pun mencari tahu sosok wanita berhijab pemilik senyum meneduhkan itu. Dan kenyataan yang Maheswara temukan ternyata di luar dugaannya. Membongkar sebuah masa lalu yang kalem. Menyembuhkan sekaligus membangkitkan luka baru yang lebih menganga.
Sebuah sajadah akan menjadi saksi pergulatan batin seorang dengan masa lalu kelam, melawan suara-suara dari kepalanya sendiri, melawan penghakiman sesama, dan memenangkan pertandingan batin itu dengan mendengar suara merdu dari Bali sajadahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Balas Budi
Maheswara hampir menghentikan langkahnya ketika melihat sosok yang tidak begitu dia sukai sedang bercengkrama dengan ibunya di ruang tamu.
"Akhirnya kamu pulang, sayang," Nyonya Salimar langsung berdiri menyambut Maheswara. Dia mencium pipi anaknya.
Anggita menoleh dan tersenyum pada Maheswara.
"Welcome home, Mahes," Anggita berdiri dari tempat duduknya.
Maheswara mendengus,
"Aku capek, Ma. Aku ke atas dulu,"
"Mahes, sapa Anggi dulu. Kasihan dia sudah dari sore di sini menunggumu,"
"Siapa yang menyuruhnya menunggu?,"
"Jangan begitu, Mahes. Jangan buat malu, Mama,"
Dengan langkah malas, Maheswara menuju sofa besar bergaya Romawi itu. Maheswara duduk di dekat sofa yang diduduki Anggita. Dengan sengaja dia meletakan hp di atas meja agar layarnya bisa dilihat Anggita.
Anggita melirik hp yang menyala itu. Matanya terbuka lebar melihat wallpaper hp Maheswara.
Wanita berhijab? Jadi calon istrinya wanita berhijab. (Anggita).
"Ada yang mau kamu sampaikan Anggi? Sampai harus rela menunggu ku berjam-jam,"
Anggita mengalihkan matanya pada Maheswara yang duduk dengan wajah tidak senangnya.
"Kita sudah lama tidak bertemu. Jadi aku putuskan untuk ke sini, bersilahturahmi denganmu,"
Maheswara tersenyum sinis,
"Silahturahmi? Artinya, tidak ada yang penting untuk dibahas kan," Maheswara bangkit dari tempat duduknya, "Aku ke atas dulu. Aku ingin beristirahat. Perjalananku sangat melelahkan,"
Maheswara mengambil kembali hp nya dari atas meja. Anggita hanya bisa mengikuti setiap gerakan Maheswara dengan matanya. Tanpa mampu berkata-kata.
Maheswara menaiki tangga tanpa rasa bersalah. Anggita memang sudah dihapus dari hatinya.
Nyonya Salimar menghampiri Anggita yang terduduk dengan wajah pias,
"Kamu harus berusaha lebih keras lagi, Anggi. Aku yakin dia masih mencintai mu. Kalian sudah pacaran bertahun-tahun,"
"Tapi dia sudah punya pacar, Tante. Tadi mu lihat wallpaper nya foto selfie nya dengan wanita berhijab di dalam mobil,"
Nyonya Salimar terkejut,
"Wanita berhijab?,"
"Iya. Maheswara menyebutnya calon istri saat berbicara padaku,"
"Calon istri?,"
"Dia belum bilang sama Tante?,"
"Belum,"
Nyonya Salimar sedikit syok dengan fakta yang baru saja dia ketahui.
Aku harus segera menanyai Mahes. Apa sebenarnya yang terjadi di kota sebelah. (Nyonya Salimar).
**
Dokter Farid belum bisa memejamkan matanya. Fisiknya lelah tapi otaknya menolak untuk istirahat.
Dia baru selesai mendengar cerita istrinya tentang kunjungan ke pesantren hari ini. Mau tidak mau, dr. Farid harus mengingat kembali masa kelam itu. Masa di mana hatinya sebagai ayah sangat tercabik-cabik.
FLASHBACK ON
Dokter Farid berjalan keluar ruang rapat. Rapat kali ini begitu padat. Rasa-rasanya empat jam tidak cukup. Padahal mereka sudah mulai rapat dari pagi. Rumah sakit sedang di masa krisis karena persaingan dengan beberapa rumah sakit yang sudah lebih canggih peralatannya.
Dokter Farid merogoh saku jas dokternya untuk mengambil hp untuk menghidupkannya. Kebiasaannya mematikan hp saat menghadiri rapat.
Dokter Farid mengernyitkan kening melihat banyak panggilan dari Hana. Dia menghentikan langkahnya dan menelpon balik.
"Hana, ada apa sayang?," dr. Farid langsung bertanya, "Hana, sayang?,"
"Ayaaahhh," Hana terisak.
"Hana kenapa?," dr. Farid panik.
"Hana mau pulang, Ayah. Sekarang," Hana menangis tertahan.
"Hana sekarang di mana?,"
"Kamar Pesantren,"
"Tunggu ayah di situ. Ayah ke sana sekarang,"
Dokter Farid tidak menunggu lama, dia segera menuju tempat parkir, menghidupkan mobilnya dan melaju.
Firasat seorang ayah mengatakan putrinya sedang dalam masalah besar kalau menelpon sementara menangis seperti tadi.
Mobil itu membelah jalan raya. Dokter Farid kembali seperti dia masih 20-an tahun saat mengemudi waktu itu. Dia menyalip beberapa mobil, menginjak gas saat jalan depannya kosong, belok dengan kecepatan tinggi di jalan berkelok, menaklukan tikungan-tikungan tajam, bahkan dia tidak mengurangi kecepatan saat melewati perkampungan penduduk.
Dan setelah perjalanan hampir tiga jam, dr. Farid tiba di depan gedung bertuliskan "Pondok Pesantren Sulaiman", seperti nama pendirinya Kyai Sulaiman Demak.
Dokter Farid menelpon Hana dan Hana menjelaskan posisi kamarnya.
"Eh, Dokter Farid, Assalamualaikum," sapa penjaga.
"Waalaikumsalam. Saya mau lihat Hana," ujar dr. Farid.
"Ohh neng Hana, ada di kamarnya. Dia menolak keluar untuk sarapan dan makan siang. Mungkin dia sedang berpuasa Senin Kamis,"
"Oh ya, mungkin. Saya langsung masuk bisa?,"
"Silakan, dokter. Lewat sini,"
Hana membuka kamarnya dengan mata yang bengkak. Penampilannya awut-awutan.
"Hana, kenapa sayang?," dr. Farid masuk ke kamar langsung memeluk anaknya. Tangis Hana pecah. Dia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan ayahnya.
Dokter Farid mengusap kepala anaknya Dia memberi Hana waktu untuk menangis.
Dokter Farid melepaskan pelukannya,
"Hana kenapa? Apa yang terjadi?," dr. Farid menatap wajah Hana lamat-lamat.
Hana menuju ke tempat tidurnya dan menunjuk ke sprei kamarnya. Dokter Farid mengikuti arah yang ditunjuk Hana.
Bercak merah.
"Hana haid dan tembus?,"
Hana menggeleng. Tangisannya pecah. Dokter Farid mulai memahami yang terjadi.
Dokter Farid terperanjat. Dia terdiam menatap bercak merah itu. Hana menangis dengan suara tertahan sampai terjongkok. Dokter Farid terpukul.
"Siapa pelakunya, sayang?," dr. Farid berjongkok di depan Hana.
Hana menggeleng sambil terus menangis.
"Itu kenapa Hana menelpon ayah berkali-kali?,"
Hana mengangguk dalam tangisnya.
"Maafkan ayah nak, ayah lama merespon. Ayah salah," dr. Farid memeluk Hana. Keduanya menangis.
Sebagai seorang ayah yang sangat kecewa, dr. Farid ingin mengamuk dan mengobrak-abrik pesantren. Bahkan kalau perlu dia ingin memukul semua penghuninya satu per satu. Tapi sebagai orang berilmu dan beragama, sekecewa-kecewanya dr. Farid, dia masih bisa mengendalikan amarahnya.
"Kita ke mobil ya nak, kita pulang," dr. Farid menuntun Hana. Sebelumnya dia memperbaiki hijab Hana yang sudah berantakan. Dia mencari tas kresek untuk mengisi sprei. Dia akan membawanya untuk menjadi barang bukti saat melapor.
"Hana sakit?," tanya penjaga yang melihat Hana dituntun dr. Farid.
"Iya," jawab dr. Farid singkat, dingin, dan tidak menoleh.
Sebagai menantu pemilik pesantren, penjaga itu tidak lagi berkata-kata banyak pada dr. Farid.
Dokter Farid menelpon istrinya berulang kali. Nanti panggilan kesekian baru dia mendengar suara Ratna Dewi. Tapi jawaban Ratna begitu mengecewakannya. Ratna menolak untuk melapor polisi setempat,
"Bukan begitu, Ayah. Tapi bagaimana keadaan Mbah kalau tahu. Ayah dokter, ayah pasti tahu efeknya bagi Mbah. Lagipula, pesantren bisa-bisa ditutup kalau orang-orang tahu peristiwa itu. Mumpung belum ada yang tahu, ayah bawa Hana kembali ke rumah. Kita selesaikan di sini,"
Pengendalian diri dr. Farid benar-benar diuji dari dalam tadi hingga saat menelpon Ratna Dewi.
Kalau bukan karena mengingat jasa ayah mertuanya yang menyekolahkan dia sehingga dia bisa sekolah dokter dan menjadi dokter seperti sekarang ini, dia memilih tidak mengindahkan perkataan Ratna. Dia akan pergi ke kantor polisi setempat, melaporkan apa yang anaknya alami, menemukan pelakunya, menyewa pengacara mahal agar bisa membuat pelakunya membusuk di penjara.
Tapi apa boleh buat, dr. Farid berhadapan dengan yang namanya balas Budi. Jika dia nekat, kesehatan ayah mertuanya taruhannya.
Dengan hati hancur, dr. Farid melajukan mobilnya menuju ke rumah.
psikologi mix religi💪