Dilarang Boom Like !!!
Zulaikha Al-Maira. Wanita yang sudah berstatus seorang istri itu harus terpaksa menelan pil pahit kebohongan dan pengkhianatan.
Awalnya, Zulaikha mengira kalau pernikahannya baik-baik saja, tapi semua berubah saat dia mendapati kebenaran tentang pernikahan pertama suaminya.
Zulaikha merasa hancur, dia tidak terima dan memilih untuk pergi dari sisi suaminya.
Zulaikha pergi dan memilih untuk melupakan semua hal tentang suaminya, tapi saat dia ingin memulai. Tiba-tiba, sang suami datang dan kembali mengejar cintanya.
Bagaimanakah kisah Zulaikha selanjutnya ?
Akankah Zulaikha kembali pada suaminya, atau malah membuka lembaran baru dalam hidupnya ?
Ikuti perjalanan cinta Zulaikha yang penuh dengan perjuangan dan air mata.
Follow IG Author ayu.andila 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Andila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7. Ceraikan aku!
"Uhuk, uhuk, uhuk." Aku melihat ke arah Mas Defin yang saat ini sedang terbatuk-batuk akibat tersedak.
"dia tersedak makanan, atau tersedak dengan apa yang ibu ucapkan?" aku menatap wajah suamiku yang memerah akibat tersedak saat mendengar pertanyaan ibu. Sungguh miris, ibu bertanya padaku apakah sudah ada tanda-tanda kehamilan sedangkan aku saja masih perawan luar dan dalam. Bagaimana mungkin aku hamil ?
"makan itu pelan-pelan loh," ibu mengomeli Mas Defin yang sedang menenggak minuman untuk meredakan batuknya, lalu dia beralih melihat ke arahku yang langsung aku sambut dengan tatapan nanar.
Kemudian aku melanjutkan makan dalam diam, sesekali kedua mertuaku berbicara dengan Syifa atau Sita namun aku enggan untuk menimpali ucapan mereka.
Makanan yang masuk ke dalam mulutku terasa bagaikan duri, membuatku tidak sanggup untuk menelannya. Namun aku harus menghargai semua orang yang saat ini sedang makan bersamaku, mau tidak mau aku memaksa makanan itu masuk dengan dorongan air minum yang selalu aku minum setiap satu kali suapan.
Setelah selesai makan, aku membereskan meja dibantu dengan Syifa dan Sita sementara Ayah, Ibu dan Mas Defin berkumpul di ruang keluarga.
"Mbak!"
suara Syifa mengagetkanku yang sedang mencuci piring, hampir saja aku menjatuhkan piring itu yang nantinya akan membuat keributan.
"kenapa?" aku bertanya sembari tanganku lanjut bekerja, cukup banyak piring kotor yang harus aku cuci.
"emm, apa Mbak udah tanya ke Mas Defin soal foto itu?"
aku kembali melihat ke arah Syifa yang sedang menatapku, tampak jelas kekhawatiran dan rasa penasaran diwajahnya.
"hus, anak kecil mau tau aja," aku kembali melihat ke arah piring dengan mata yang mulai panas. Aku menahan sekuat tenaga agar mataku tidak lagi mengeluarkan air, namun mata ini tidak mau mengikuti apa yang aku perintahkan.
"kenapa Mbak? kenapa Mbak nangis?" Syifa bertanya dengan penuh penekanan, tangannya memegang lenganku saraya menarik tubuhku agar menghadap ke arahnya.
"katakan Mbak! apa terjadi sesuatu?" Syifa semakin mendesakku membuat air mata yang sudah aku tahan mati-matian lolos begitu saja disudut mataku.
Oh adikku yang manis, bagaimana mungkin aku menceritakan padamu tentang masalah rumah tanggaku? aku tidak akan sanggup jika melihatmu sedih karna nasib buruk yang menimpaku.
"kalian lagi ngapain?" tiba-tiba suara ibu mertuaku mengagetkan kami yang sedang saling berhadapan, aku langsung memalingkan wajah membelakangi ibu agar dia tidak melihat mataku yang berair.
"lagi nyuci piring tante," Syifa menjawab pertanyaan ibu dengan riang gembira, adikku itu memang paling pintar bersandiwara.
Kemudian ibu mengajakku untuk berkumpul diruang tamu, katanya ada sesuatu yang ingin dia berikan padaku dan Mas Defin.
Aku segera menyiapkan cucian itu dan langsung berjalan ke ruang tamu di mana semua orang sedang berkumpul.
"sini nak!" ibu menepuk sofa yang ada disebelah Mas Defin saat aku ingin mendudukkan tubuhku di samping Syifa, mau tidak mau aku terpaksa duduk di tempat yang ditepuk oleh ibu tadi.
"ini hadiah dari Ayah dan Ibu untuk kalian, maaf karna terlambat memberikannya," ibu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna merah dengan tali pita di atasnya, aku melihat kotak itu lalu melihat ke arah ibu yang tersenyum dan menyuruhku untuk membukanya.
Apa ini? aku melihat isi kotak itu dengan bingung, Mas Defin yang sedari tadi diam merapatkan duduknya hingga bahunya menempel dibahuku membuat aku tersentak kaget.
"tiket apa ini bu?" Mas Defin bertanya sembari mengangkat dua tiket perjalanan ke luar negeri, aku kemudian menggeser dudukku agar tidak lagi bersentuhan dengannya.
"itu tiket perjalanan untuk bulan madu, kalian kan belum pergi ke mana pun setelah menikah,"
Apa? tiket bulan madu? hampir saja aku terjungkal saat mendengar apa yang ibu ucapkan. kenapa tiba-tiba mereka memberi tiket bulan madu?
"kau sedang tidak sibuk kan, nak?" ibu bertanya pada Mas Defin yang masih mememlototi tiket itu, jantungku berdebar karna menunggu jawaban darinya.
"tidak kok bu,"
Apa? apa maksudnya semua ini? kenapa semua ini harus terjadi padaku? kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk bulan madu bersama dengan suami yang bahkan tidak menginginkanku?
"aku tidak bisa bu, aku ada acara diluar," aku terpaksa berbohong pada ibu, aku tidak bisa pergi dengan keadaan kami yang seperti ini.
Wanita mana yang mau pergi berbulan madu saat mengetahui kalau suaminya menikah dengan wanita lain?
"acara apa nak? apa acaranya sangat penting?" raut kecewa terlihat jelas diwajah ibu karna mendengar penolakanku, aku meremmas pinggiran bajuku karna tidak tau harus menjawab apa padanya.
"sangat penting tante, Mbak harus menghadiri acara dikampusku," tiba-tiba adikku buka suara, aku melihat ke arahnya yang juga melihat ke arahku. Sepertinya dia tau kalau saat ini aku tidak ingin menerima tiket itu, itu sebabnya dia berucap sedemikian rupa.
"nak, tante bisa menjadi walimu. Biarkan Mas dan Mbakmu pergi bulan madu," ibu tetap bersikukuh ingin kalau aku berangkat bersama Mas Defin, tapi tidak! aku tidak akan mau!
"sudahlah bu, pergi bulan madunya kapan-kapan saja. Nanti kalau ada waktu luang, aku pasti akan membawa Zulaikha,"
aku melihat ke arah Mas Defin dengan tajam, suamiku itu tampak menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman yang jarang sekali aku lihat.
Setelah perdebatan panjang, akhirnya aku terbebas dari tiket bulan madu itu. Ibu tidak lagi memaksa ku untuk menghabiskan waktu bersama suamiku. Jika saja aku tidak mengetahui kebohongan dan pengkhianatan yang dilakukan Mas Defin, sudah pasti aku akan merasa sangat bahagia dengan apa yang diberi oleh mertuaku.
Tapi sekarang? luka yang digoreskan suamiku terlalu dalam hingga aku sendiri saja tak kuasa untuk menghapusnya.
Malam semakin larut, kedua Mertuaku memutuskan untung pulang ke rumah mereka. Begitu juga dengan Syifa dan Sita, aku menyuruh mereka untuk pulang dengan taxi online.
Begitu mereka pergi, aku langsung mengunci pintu dan berjalan ke arah kamar untuk mengistirahatkan hati dan jiwa yang sangat lelah.
Aku menghentikan langkah kaki saat melihat Mas Defin berdiri di depan kamarku, sepertinya dia sengaja berdiri disitu untuk menungguku.
"Zulaikha, ada yang ingin aku bicarakan,"
"sudah cukup Mas! aku tidak ingin mendengar apapun lagi darimu!" sudah cukup semua kejutan yang kau berikan padaku hari ini, jantungku sudah tidak mampu lagi jika harus menerima kejutan lain darimu.
"tapi Zulaikha, aku-"
"apa kau tidak punya hati nurani, Mas? mau sampai sehancur apa aku karna perbuatanmu?" aku menatapnya dengan tajam, satu persatu tetesan air mata mulai kembali membasahi wajahku.
"selama ini aku selalu sabar untuk menunggu hatimu terbuka, namun apa yang ku dapatkan? aku mendapatkan sebuah kebohongan dan pengkhianatan dari suamiku sendiri," aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapakanku, dadaku berdegup kencang dengan tangan yang mengepal sampai membuat kukuku memutih.
"ceraikan aku, Mas!"
•
•
•
TBC.
Terima kasih buat yang udah baca 😘
intinya goblok.
untung ridwan pria tegas!