Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 06
“Untuk apa, Mbak? Hp mu rusak?” tanya Eka, rautnya bingung.
Sriana menoleh ke kiri dan kanan, memastikan kalau tidak ada mbak-mbak temannya Triani satu komplek dengan mereka. “Mau menghubungi sahabatku yang di Indonesia, untuk komunikasi bebas dengan Septian dan Ambar Ratih. Ternyata WhatsApp ku di sadap Triani.”
Eka menangkap nada sedih, cemas, sekaligus geram. Dia yang peka, langsung tanggap. “Kartunya mau tak belikan sekalian ndak, Mbak?”
“Iya. Maaf ya Ka, aku terus-terusan ngerepotin kamu.”
“Kayak sama siapa saja, Mbak.” Eka berjinjit agar tubuhnya lebih tinggi dan dapat melihat leluasa ke halaman rumah tetangganya. Dia menyapa bobo yang berjemur di pagi hari, lalu berbisik lirih. “Ambil o libur, Mbak Sri butuh refreshing. Tak kancani ke klinik kecantikan, biar benar-benar diperiksa kenapa ndak ada perubahan padahal sudah gonta-ganti krim dari murah sampai mahal harganya, panggah berjerawat batu.”
Srianai pura-pura memetik daun pada tanaman hias, gerakannya sangat natural, seolah mereka tengah berbincang biasa saja. “Minggu besok libur yo, ada banyak hal yang mau kuceritakan. Kalau sekarang, pikiranku masih buntu. Takutnya malah nangis kejer, nanti beresiko ke kerjaan.”
“Eh, tapi apa dirimu ndak jalan-jalan bareng Koko ta?” tanyanya kemudian.
“Sipitku lagi liburan ke Bangkok. Aman lah, Mbak.”
Sriana tersenyum tulus, matanya berair memandang haru sahabat satu-satunya yang dia miliki di perantauan.
“Nanti pas aku pulang dari pasar tak chat biasa ya, biar Mbak Triani ndak curiga.”
“Iya. Terima kasih ya, Ka. Minta tolong sekalian didaftarkan kartunya, bisa ndak?”
“Beres!” Jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O, lainnya teracung.
Eka kembali masuk ke dalam rumah, mengambil ponsel yang sudah tidak dipakainya lagi. Nanti dia yang membantu memasang kartu baru, serta mendaftarkan menggunakan kartu identitasnya saja.
Sriana bergegas membawa nenek masuk ke dalam rumah, tadi dia melirik temannya Triani yang tinggal berselang tiga bangunan dari hunian nenek.
‘Sejelas itu, tapi kenapa kemarin-kemarin aku sama sekali ndak menaruh curiga?’ baru disadari olehnya, ketika dia dan Eka bersapa, temannya Triani pasti memantau seraya membawa Anjing yang dia jaga jalan-jalan pagi.
Keadaan Sriana terlihat baik-baik saja dihadapan Triani, maupun nenek yang dijaganya. Meskipun wajahnya sembab, tapi dikarenakan dia berjerawat batu, maka tidak terlalu kentara.
Kerja di negeri orang, terutama yang masyarakatnya gerak gesit, anti drama – para pekerjanya pun dituntut demikian. Istilah kata, mau ada kemalangan di kampung halaman, badan sakit, tetap harus tampil paripurna, tenang.
Fisik Sriana sudah ditempa semenjak di Indonesia. Mentalnya pun kian kokoh setelah dia bekerja di negeri beton ini. Semua yang terjadi, rasakan, ia simpan sendiri.
Pergolakan batin, suasana hati turun naik, diatasi sendiri. Dia bukan wanita manja, tapi tetap ada masanya ingin diperhatikan – sekadar ditanyai kabar. Bukan dirongrong dengan pertanyaan ‘Ada uang lebih ndak? Bapakmu meriang, minta jamu pegel linu yang harganya ratusan ribu.’
Terus sang adik ipar, sering mengeluh. ‘Mbak, anakmu jajannya ndak bisa di rem! Uang jatah mereka habis, duitku pun kepakai. Pas gajian ganti ya, Mbak.’
Belum lagi ibu mertua dan suaminya, ada saja permintaan mereka. Bahkan membayar tagihan WiFi rumah pun harus dari kiriman Sriana.
Sriana tersentak dari lamunannya kala tangannya dielus nenek.
“Apa ada masalah?” tanya netra sayu kelabu itu.
Hampir saja tangisnya pecah, ia mengedip- ngedipkan mata agar buliran bening tak meluncur. Bibirnya dipaksa tersenyum, ia telan air ludah, lalu menjawab dengan gelengan kepala.
‘Aku pasti bisa melalui semua ini. Ya Allah, hamba mohon kemudahannya, hamba mohon sertai diri ini disetiap langkah tertatih menyibak tabir kenyataan. Kuatkan lah fisik, sehatkan lah mental hamba ya Rabbi.’
Kemudian Sriana membungkuk, tangan kirinya terselip di bawah lutut nenek yang duduk di kursi roda, sebelah lagi dibawah ketiak tubuh lumpuh itu.
‘Bismillah.’ Sriana membopong bobot 60 kilogram, lebih berat dari badannya sendiri. Membawa nenek ke dalam kamar mandi untuk dimandikan. Kebetulan sekarang sudah musim dingin, jadwal mandi nenek dua hari sekali, selebihnya dilap menggunakan air hangat, dan ganti pakaian bersih.
Jika musim panas, maka setiap hari dimandikan. Karena cuaca di sini kalau panas, ya benar-benar panas, bikin gerah dan berkeringat apabila tidak menyalakan pendingin ruangan.
Bila itu Triani, dia cuma akan mengelap. Enggan membopong nenek, apalagi memandikan seluruh tubuh sampai bersih. Masih tertinggal bau air seni yang terkadang menempel di celana dalam maupun pakaian.
Wanita lemah lembut, penyabar, penurut itu sama sekali tidak terlihat terpaksa, dia perlakukan nenek seperti ibunya sendiri.
Dulu, sebelum sang ibu meninggal dunia – Sriana sempat merawatnya selama satu tahun di sela-sela dia bersekolah, berjualan gorengan yang dititipkan di kantin maupun warung. Ibunya mengalami stroke, sama seperti nenek yang lumpuh dari pinggang hingga telapak kaki.
***
Mbak Sri pembalut nya ambil ini! Aku lima menit lagi sampai di rumah.
Triani mencebik, dia membaca pesan yang dikirim oleh Eka – sesama teman seperjuangannya tapi tidak akur, sering saling sindir.
Pernah suatu ketika hampir baku hantam, dikarenakan Eka menanggapi kata-kata pedas Triani yang menuduhnya jadi simpanan pria Cina.
Eka bukan Sriana yang memilih diam, dia langsung maju mengajak ribut Triani. Sayangnya ada beberapa mbak pahlawan devisa yang buru-buru melerai.
Menurut Triani ... Eka itu sombong, terlebih setelah memiliki kekasih warga lokal. Gayanya sok elit, tapi ekonomi dia juga tak sulit, sesuai isi rekeningnya.
“Mau-maunya jadi kacung nya Sri parutan kelapa itu,” gerutunya seraya berjalan kaki pulang ke hunian nenek.
Sewaktu sampai di villa, dia melihat Sriana tengah bercengkrama bersama Eka – entah apa yang mereka bahas, tapi seperti hal lucu sampai terkikik.
“Sri! Bobo sudah sarapan belum? Udah dimandikan? Kamu digaji untuk merawatnya, bukan malah asik ghibah!” kelakarnya, menatap sinis Eka dan sepupunya.
“Matur nuwun yo, Ka. Aku tak masuk rumah dulu!” Dia jinjing plastik biru muda, yang isinya tentu saja bukan cuma pembalut.
Eka mengangkat siku, mengepalkan tangan kanannya, berseru lirih. “Semangat Mbak Sri!”
Sriana mengangguk, sekali lagi mengucapkan terima kasih. Eka menolak keras uang yang dia berikan untuk membayar ponselnya.
“Ini tuh ponsel sudah bosok, Mbak. Sebenarnya mau tak buang, tapi kelupaan terus. Kamu bayari kartunya aja!” ia memberikan alasan logis agar Sriana tak merasa terbebani oleh hutang budi.
Baru saja Sriana melangkah masuk ke dalam rumah, suara Triani sudah menggelar menyambutnya. Dia tidak takut nenek mendengar, karena wanita tua itu mengalami gangguan pendengaran.
“Kamu minta izin libur sama Nyonya, Sri? Kok ndak ngomong dulu sama aku?!”
.
.
Bersambung.
semoga ambar Ratih sama septian selalu kuat yaaa..
mampu bertahan sampai bunda nya sampai ke rumah kembali..
itu part terakhir kok ya laki begitu yaa.. bukannya dia yg pontang panting cari nafkah, malah ngegerus istrinya ampe ke sari2 nya.. weedaannn