GUBRAAKK !! Suara itu menyerupai nangka berukuran 'babon' jatuh dari pohon yang tinggi. Xavier (Zac) segera berlari meloncati semak-semak untuk segera mengambil nangka yang jatuh. Sesampainya di bawah pohon nangka, Xavier tidak melihat satu pun nangka yang jatuh. Tiba-tiba...
"Siapapun di sana tolong aku, pangeran berkuda putih, pangeran kodok pun tidak apa-apa, tolong akuu ... "
Di sanalah awal pertemuan dan persahabatan mereka.
***
Xavier Barrack Dwipangga, siswa SMA yang memiliki wajah rusak karena luka bakar.
Aluna Senja Prawiranegara, siswi kelas 1 SMP bertubuh gemoy, namun memiliki wajah rupawan.
Dua orang yang selalu jadi bahan bullyan di sekolah.
Akankah persahabatan mereka abadi saat salahsatu dari mereka menjadi orang terkenal di dunia...
Yuks ikuti kisah Zac dan Senja 🩷🩷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Iri Hati
Backingan Ordal
"Sam, lihat! Si muka jelek itu sangat Akrab dengan striker legend Timnas. Sepertinya dia akan main kotor dalam seleksi ini," ujar Gavin.
"Kurasa, tanpa backingan pun ia akan lolos seleksi, permainan dia memang bagus. Kuakui itu!" jawab Samudera acuh tak acuh.
Shaka bereaksi. Dia menatap Zac dari kejauhan dengan tatapan sinis, ia memaki dalam bahasa spanyol di dalam hatinya.
"Cih!" ia meludah sembarang seiring tatapannya yang beradu pandang dengan Zac, namun Zac justru memberi senyuman sopan padanya. Entah mengapa hatinya mudah terbakar melihat Zac begitu dihargai dan dipuji kakak pertamanya. Sementara ia tidak pernah mendapatkan pujian itu dari kakak kandungnya sendiri.
Waktu istirahat para peserta seleksi diberikan hanya tiga puluh menit. Zac memanfaatkan waktu istirahat itu untuk membuka box makanan dari Senja yang tidak jadi dibawa pulang oleh mas Jo. Ia menatap kue cokelat itu dengan tatapan takjub, membayangkan bagaimana jari-jemari yang montok itu menguleni adonan dan berlumuran tepung juga cokelat couverture
Zac mengambilnya satu potong, menggigitnya perlahan dan menikmati setiap kunyahannya. Matanya terpejam merasakan cokelat yang meleleh di dalam mulutnya. Hingga ia tidak menyadari kalau ada seseorang yang duduk di sampingnya dan mengambil satu potong kue dari dalam kotak.
"Heemm... Lumayan kue buatan si gemoy. Aku selalu menolak jika ia menjadikanku kelinci percobaan hasil masakannya," ucap Sam
Zac terkesiap, ia memegang kotak kue dengan erat dan menggeser duduknya, menjaga jarak. Seolah tidak ingin berbagi kue buatan Senja dengan orang lain. Sam memperhatikan sikap Zac yang aneh, nalurinya mengatakan jika Zac menyukai adik perempuannya. Ia tersenyum miring.
"Jika kamu belum menjadi lelaki hebat, jangan pernah coba mendekatinya. Kalahkan aku dalam segala hal, baru kamu boleh mendekatinya. Dia adalah perempuan yang selalu ingin aku lindungi setelah mamaku," ucap Sam seraya berdiri,
Samudera menendang botol minum Zac dengan kencang hingga isi dalam botol itu tumpah ke segala arah. Kedua pangeran keluarga Sebastian memang terkenal arogan, karena terbiasa mendapatkan apa yang mereka mau dengan mudah.
Zac mengepalkan tangannya dengan kuat, seperti menggenggam sebuah janji. Sorot matanya penuh tekad menatap punggung Sam yang berjalan menjauhinya.
Shaka menyongsong kedatangan kakaknya dengan wajah penasaran, ia sempat memperhatikan saat Sam berbincang, memakan kue bersama lalu tiba-tiba menendang botol minum Zac.
"Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat begitu marah?!" tanya Shaka.
"Dia berani jatuh cinta pada Senja!" ucap Sam, wajahnya mengeras, sorot matanya tajam menatap jauh ke depan. Dia tidak bisa membayangkan adiknya yang polos dan baik hati itu akan didekati seorang remaja SMA seusianya.
"Sial! Tidak tahu diri, wajahnya saja mengerikan seperti itu, beraninya dia menyukai adikku," gumam Shaka pelan dan penuh amarah.
Namun ada senyuman tipis di bibir Shaka, di kepalanya penuh rencana. Sam akan sangat mudah terpancing emosi jika Senja, adik kesayangan mereka, didekati oleh Zac. Ia bisa menggunakan kesempatan itu agar Sam tidak terus memuji Zac.
Samudera adalah sosok kakak yang sangat baik, pelindung dan bertanggung jawab pada adik-adiknya. Shaka dan Senja lebih dekat pada Samudera ketimbang papa mama mereka yang super sibuk. Mereka berdua mengidolakan kakaknya sendiri. Namun Shaka sangat pencemburu, ia akan terluka jika kakaknya bisa akrab dengan orang lain selain dirinya.
Panitia membunyikan peluit panggilan, para peserta seleksi berlarian untuk berkumpul ke tengah lapangan. Bimo Erlangga, mantan striker timnas berdiri di tengah lapangan untuk mengumumkan peserta yang lolos babak pertama.
"Perhatian semuanya!" teriak Bimo. "Tiga puluh peserta yang saya sebutkan namanya, silahkan bergeser ke sisi kiri," ujarnya.
"Dani Ramadan, Ervanino, Rasyid ghani, Morales, Vito Nelson, Samudera... "
Samudera berdiri sambil menepuk dadanya sendiri dengan bangga.
"... Aaron, Gavin Sanjaya, Shaka, semua nama yang baru saja saya sebutkan bergeser ke sisi kiri dan ikuti coach Bambang untuk diberi arahan."
Samudera, Shaka dan Gavin tersenyum bangga karena nama mereka di panggil untuk mengikuti pembinaan oleh coach yang terkenal killer dan selalu berhasil mendidik para pemain Timnas, artinya kesempatan lolos di babak pertama sudah di depan mata.
Akan tetapi mereka salah sangka.
"Saya sebutkan lagi lima belas nama yang akan mengikuti seleksi lanjutan di Semarang," ujar Bimo dengan suara lantang.
"Xavier Barrack, Joseph, Nauval, Gerand, Dyaz, Candra Galuh, Prabu Yuzi... " tanpa memberi ruang protes, Bimo langsung menyebutkan nama-nama peserta yang lolos babak berikutnya.
Semua orang menoleh ke arah Bimo, mereka tidak menyangka jika tiga puluh nama yang baru saja bergeser ke sisi kiri adalah peserta yang gagal di babak pertama seleksi. Suara-suara gaduh penuh protes terlontar tanpa saringan, ada yang memaki dan tidak terima akan keputusan panitia, terutama Samudera, Shaka dan Gavin.
Mereka tidak pernah gagal dalam kompetisi apapun. Kegagalan kali ini tentu saja tidak bisa mereka terima. Sam diliputi amarah sore itu, tangannya semakin mengepal saat Zac termasuk dalam kelima belas peserta yang digiring langsung oleh Bimo, di arahkan berkumpul di aula untuk pembekalan.
"Hai, Coach! Anda tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa!" teriak Sam menghadang Bimo dan Coach lainnya.
"Ada apa denganmu anak muda?!" tanya Bimo, para Coach menghentikan langkahnya.
"The evaluation is biased, kalian harus bertanggung jawab memaparkan nilai setiap peserta, agar kami dapat mengukur kekurangan dan kelemahan kami di seleksi ini,"
"Team humas kami sedang mengirimkan hasil seleksi melalui email. Di tunggu saja—"
"Aku ingin diumumkan sekarang! I think someone here is having an affair," sarkas Samudera dengan tegas.
Bimo menghela napas panjang namun ia samarkan, bukannya ia tidak tahu siapa remaja yang ada di hadapannya. Justru ia tahu bahwa sosok pemuda itu adalah anak seorang konglomerat. Sebelum memulai seleksi, tekanan yang diterima teamnya dari Sebastian membuat Bimo mengambil langkah terbaik, agar tidak mengambil kedua putra konglomerat itu menjadi bagian team utusan Jakarta.
Bimo mengikis jarak, jaraknya dengan Sam berdiri hanya beberapa inchi saja. Ia melihat kemarahan, kekecewaan dan penghinaan di mata pemuda itu. Tangannya terangkat menepuk bahu Sam dengan lembut.
"Duniamu bukan di sepak bola, kamu adalah sang pewaris yang sangat diharapkan keluarga dan seluruh karyawan perusahaan papamu. Ini keputusan terbaik yang harus kami ambil," ucap Bimo dengan lembut.
"Apa?!" Sam langsung paham arah pembicaraan sang Coach. Namun ia tidak bisa mempercayainya, "Ini intervensi dari papaku?!" tanyanya untuk meyakinkan.
Bimo mengangguk lembut.
Samudera mundur satu langkah dengan goyah, tubuhnya seolah dihantam badai yang tidak terlihat. "This is my passion... " rintihnya, suara Sam bergetar, kekecewaan begitu kental.
Ia tidak bisa menerimanya, sepak bola bukan hanya sekedar hobi baginya, tapi napasnya, gairahnya dan cintanya. Bahkan di usia yang menginjak tujuh belas tahun beberapa bulan lagi, ia belum tertarik pada lawan jenis. Karena ia ingin fokus pada sepak bola.
"Sam, kesuksesan bukan hanya di sini, kamu bisa sukses di bidang lain." Bimo kembali menepuk bahu Sam dengan lembut. Kemudian ia memutar tubuhnya dan melanjutkan membawa seluruh tim untuk pembekalan para peserta yang lolos seleksi.
Satu bulan berlalu...
Setelah latihan, Zac duduk di hamparan permadani hidup berwarna hijau muda. Duduknya menyimpan letih, wajahnya sendu dan tatapannya nanar menatap luasnya lapangan bola Senayan. Vibrate ponselnya bergetar lembut, pesan masuk dari papanya.
"Pulang!" hanya itu.
Tidak ada kata pembuka. Menanyakan kabar? Nggak ada. 'Bagaimana harimu tanpa kami?' ngga akan pernah ada. 'Apa kau hidup dengan baik?' jangan harap. Zac menghela napas dengan berat, dadanya sedikit bergetar karena sesak di dadanya. Ia menunduk kian dalam.
Di sudut lain...
Di kursi tribun paling atas, Sam duduk dengan wajah sendu, matanya menyimpan airmata yang siap tumpah, cita-cita dan harapannya hanya bisa ia gantung di tribun itu. Selamanya ia hanya akan jadi penonton yang rewel mengomentari para pemain, tanpa pernah bisa menjadi bagian dari pejuang yang mengibarkan merah putih di lapangan hijau itu.
Ia membaca lagi pesan yang baru saja dikirim papanya.
"Jam 16.00 rapat pemegang saham. Tunjukkan pada mereka keahlianmu. Ingat kamu anak Sebastian Prawiranegara."
Pesan yang dingin, penuh tuntutan yang tidak sanggup ia emban.
Sam meremas ponsel pintarnya dengan perasaan terluka, dadanya bergemuruh. Ia dipaksa menyukai hal yang tidak dia sukai.
Sam berdiri, lalu melangkah dengan berat dan goyah menuruni anak tangga hingga kakinya menapak di pinggir lapangan. Ia melihat punggung lebar namun ringkih sedang bergetar.
Zac? Menangis?
Sam berdiri mematung tidak jauh dari Zac duduk. Kedua telapak tangannya masih berada di dalam saku celana. Tas besar dengan lambang ceklis menggantung di bahunya.
"Apa ini tentang latihan yang tidak manusiawi?" tanya Sam meninggikan suaranya.
Zac menghapus airmatanya dengan cepat. Ia menoleh ke arah suara. Melihat siapa yang bicara, ia tersenyum tipis.
"Aku lebih menyukai menghancurkan diriku di tempat ini," jawab Zac
Sam mengernyitkan keningnya, belum sepenuhnya mengerti jawaban Zac. Tapi ia tidak ingin bertanya lebih jauh lagi.
"Ini bukan tentang 'my passion'... " sindir Zac sambil terkekeh pelan
Sam terkekeh juga, seperti menertawakan diri sendiri. "Semoga bukan karena Senja juga," ejek Sam.
Zac langsung melonjak, seketika berdiri tegak menghadap Sam dengan mata berbinar. "Bagaimana jika iya? Apa kau sudah mengizinkan?"
"Shit! Ternyata benar, L-E-M-A-H !!"
,, perbedaan usia itu jauh lebh bagus dn lebh matang dan dewasa 😌
tapi berdua 😚
kekny harusny Zac ya 🤔
,, selamat k Dee,, semoga kontrakny lulus 🤗