Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Jauh sebelum alarm digital Erencya berbunyi di Jambi, di sebuah sudut kota Padang yang padat, Akbar sudah terjaga. Bukan oleh dering ponsel, melainkan oleh alunan suara azan Subuh yang syahdu dari masjid terdekat. Suara itu adalah alarm alaminya, sebuah panggilan damai yang telah menjadi ritme pembuka harinya sejak ia masih kanak-kanak.
Dengan mata yang masih sedikit berat, ia bangkit dari kasur busa sederhana di kamarnya yang tidak luas. Dinding kamarnya dipenuhi rak-rak buku yang sebagian besar berisi literatur sejarah dan novel-novel lama, bukan pajangan atau poster. Ia berwudu, merasakan air dingin membasuh kantuknya, lalu menggelar sajadah yang warnanya sudah sedikit memudar menghadap kiblat. Dalam keheningan pagi buta, ia menunaikan salatnya. Gerakan-gerakannya yang tenang dan doa-doa yang ia panjatkan dalam hati adalah sumber kekuatannya, sebuah momen introspeksi sebelum dunia di luar sana mulai menuntut perhatiannya.
Selesai salat, ia tidak langsung beranjak. Ia duduk bersila sejenak, dzikir perlahan meluncur dari bibirnya. Pikirannya melayang, bukan pada skripsi yang menghantuinya, melainkan pada sebuah nama yang kini sering ia selipkan dalam doanya: Erencya. Ia mendoakan kebaikan untuk gadis itu, untuk kesehatannya, untuk kelancaran sekolahnya. Sebuah tindakan yang terasa begitu alami, meskipun mereka baru mengenal beberapa hari.
Setelah itu, barulah ia meraih ponselnya. Ini telah menjadi ritual barunya. Sebelum dunia memintanya menjadi mahasiswa tingkat akhir atau anak yang berbakti, ada beberapa menit berharga di mana ia hanya menjadi 'Kak Akbar'. Ia membuka ruang obrolan mereka, melihat pesan terakhir Erencya dari semalam. Ia tersenyum membayangkan gadis itu mungkin sedang terlelap, lelah setelah mengerjakan tugas sekolah.
Dengan hati-hati, ia mengetik pesan paginya. Ia tidak ingin terdengar berlebihan, hanya sebuah sapaan ringan yang hopo-hopo bisa membuat hari gadis itu dimulai dengan senyuman.
Selamat pagi, Erencya. Jangan sampai ketiduran di kelas ya karena begadang semalam.
Ia mengirimnya, membayangkan pesan itu akan terbaca beberapa jam lagi saat Erencya bangun. Setelah menekan kirim, ia meletakkan ponselnya. Kini, saatnya untuk peran yang lain.
Ia melangkah keluar dari kamar menuju dapur kecil di bagian belakang rumah. Di sana, ibunya, seorang wanita tangguh berusia akhir empat puluhan, sudah sibuk di depan kompor besar. Aroma bumbu gulai yang khas—campuran kunyit, lengkuas, serai, dan rempah lainnya—sudah menguar, memenuhi ruangan sempit itu dengan kehangatan. Ini adalah dunia Akbar. Bukan aroma roti panggang dan kopi impor, melainkan aroma perjuangan dan kasih sayang dalam bentuk masakan Padang.
"Pagi, Bu," sapa Akbar, langsung mengambil alih pekerjaan ibunya mengaduk santan di kuali besar agar tidak pecah.
Ibunya menoleh, senyum lelah namun tulus terukir di wajahnya. "Pagi, Bar. Sudah salat?"
"Sudah, Bu."
"Anak Ibu pagi ini cerah sekali tampaknya," kata ibunya sambil mengelap keringat di dahi dengan punggung tangannya. "Tidak seperti kemarin-kemarin yang kusut terus mikirin skripsi."
Akbar hanya tersenyum tipis. Ibunya selalu jeli. "Mungkin karena tidurnya nyenyak, Bu."
"Oh ya? Bukan karena ada yang bikin semangat?" goda ibunya, matanya yang bijak menatap Akbar dengan tatapan penuh selidik.
Akbar merasa sedikit salah tingkah. "Ibu ini bisa saja."
"Lho, Ibu serius," lanjutnya sambil mulai menyiapkan potongan-potongan daging untuk dimasukkan ke dalam gulai. "Sudah waktunya kamu itu cari teman dekat, Bar. Biar ada yang menyemangati selain Ibu. Ada calon menantu buat Ibu, ya?"
Akbar tertawa kecil untuk menutupi kegugupannya. "Masih jauh, Bu. Ini teman saja, kok. Teman jauh."
"Jauh di mana?"
"Jambi, Bu."
Ibunya berhenti sejenak dari aktivitasnya. "Jambi? Jauh sekali. Kenal di mana?"
"Dari internet, Bu," jawab Akbar jujur.
Ibunya mengangguk-angguk pelan, tidak menghakimi, namun raut wajahnya menunjukkan ia menyimpan pertanyaan itu untuk lain waktu. "Ya sudah, tidak apa-apa. Asal teman yang baik, yang bisa bawa pengaruh baik juga buat kamu."
Akbar merasa bersyukur memiliki ibu yang begitu pengertian. Ia melanjutkan membantu ibunya, tangannya sudah begitu terampil memotong sayuran atau menyiapkan bumbu. Ia menatap tangannya yang sedikit kapalan, lalu pikirannya tanpa sadar melayang lagi pada Erencya.
Di saat ia sedang berkutat dengan panas kompor dan aroma rempah yang menyengat, apa yang sedang dilakukan gadis itu? Mungkin ia baru saja bangun di kamarnya yang nyaman dengan pendingin ruangan. Mungkin ia sedang sarapan di meja makan yang besar, disiapkan oleh orang tuanya. Mungkin sesaat lagi ia akan diantar ke sekolah dengan mobil yang nyaman.
Langit dan bumi.
Pikiran itu melintas begitu saja. Dunianya dan dunia Erencya terasa begitu kontras. Akbar tidak pernah merasa minder dengan kehidupannya. Ia bangga dengan perjuangan ibunya dan kesederhanaan mereka. Namun, membayangkan Erencya membuatnya sadar akan sebuah jurang yang nyata. Jurang yang bukan hanya soal jarak geografis.
Ponselnya di saku celana bergetar. Sebuah balasan. Jantungnya berdebar. Dengan izin dari ibunya, ia sedikit menepi untuk memeriksa pesan itu.
Erencya: Pagi juga, Kak Akbar. Tenang aja, kopi udah siap sedia! Kakak sendiri jangan sampai ketiduran pas ngerjain skripsi, hehe.
Akbar tersenyum lebar membaca balasan yang ceria itu. Semua pikiran tentang perbedaan seakan menguap begitu saja. Pesan itu terasa begitu tulus, begitu nyata. Di balik segala perbedaan latar belakang mereka, ada sebuah koneksi manusiawi yang sederhana dan hangat.
Setelah membantu ibunya hingga semua masakan siap untuk dijual di warung kecil mereka, Akbar kembali ke kamarnya. Ia menatap layar laptopnya, pada halaman skripsi yang sama yang semalam terasa begitu membebaninya. Anehnya, pagi ini ia merasakan hal yang berbeda.
Beban itu terasa lebih ringan. Justru, kini skripsi itu tampak seperti sebuah tantangan yang harus ia taklukkan. Bukan lagi hanya demi sebuah gelar sarjana atau demi membanggakan ibunya. Kini, ada alasan lain. Sebuah alasan baru yang memberinya dorongan ekstra. Ia ingin membangun masa depan yang lebih baik, masa depan di mana mungkin saja jurang antara 'langit dan bumi' itu bisa ia seberangi.
Dengan semangat baru, ia mulai mengetik. Jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya tajam dan fokus. Ia tahu jalannya tidak akan mudah, tetapi notifikasi-notifikasi kecil dari Jambi yang sesekali muncul di layar ponselnya terasa seperti bahan bakar yang membuatnya terus maju. Koneksi tak terduga itu, entah bagaimana, telah memberinya tujuan yang lebih jelas.