Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh Dua Kali
Arunika berjalan lunglai keluar dari Blue Moon Cafe, deru bising jalanan Yogyakarta seolah tak terdengar di telinganya.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan hanya karena ia telah salah menuntut pertanggungjawaban dari Roy, tetapi juga karena sikap dingin dan merendahkan dari Pramudya. Pria itu, ayah dari bayi yang dikandungnya, memperlakukannya seolah ia adalah pengemis, atau lebih buruk lagi, seorang pelacur yang hanya bisa dibayar dengan uang.
Ia sampai di kontrakan kecilnya, tubuhnya terasa lemas. Ditinggalkannya tas dan ponselnya di atas meja, lalu ia merebahkan diri di ranjang. Tangisnya pecah. Isak tangis yang tertahan selama di kafe kini tumpah ruah, memenuhi kamarnya yang sempit. Ia memegangi perutnya yang mulai membuncit, seolah ingin melindungi bayinya dari kekejaman dunia ini.
"Maafkan Ibu, Nak," bisiknya di antara isak tangis. "Maafkan Ibu yang bodoh ini."
Rasa putus asa mulai merayapi benaknya. Bagaimana ia bisa membesarkan anak ini sendirian? Uang dari Pramudya, meski besar, terasa seperti uang haram, uang hasil penghinaan. Tetapi tanpa uang itu, apa yang bisa ia lakukan? Ia tidak punya pekerjaan tetap, dan perutnya yang semakin membesar akan membuat mencari pekerjaan semakin sulit.
Di sisi lain, Pramudya kembali duduk di ruang kerjanya, raut wajahnya tetap datar, namun ada sedikit ketegangan di rahangnya. Roy masih berdiri di samping meja, enggan meninggalkan atasannya.
"Pram," Roy memulai, suaranya pelan. "Aku tahu ini bukan urusanku, tapi... dia terlihat sangat terpukul."
Pramudya menatap Roy, matanya menyipit. "Itu bukan urusan lo, Roy. Gue sudah bilang, ini cara terbaik. Wanita seperti dia... hanya akan menimbulkan masalah jika tidak diberi batasan yang jelas."
"Tapi Pram, dia bukan wanita seperti yang biasa lo temui," balas Roy, memberanikan diri. "Dia terlihat... polos. Dan dia hamil."
Pramudya mendengus. "Polos? Jangan naif, Roy. Semua wanita punya motif. Dan motif dia jelas: uang. Dia hanya perlu uang untuk menafkahi anaknya, dan gue memberinya itu."
Roy terdiam. Ia tahu argumennya tidak akan mempan. Ia mengenal Pramudya lebih dari siapa pun. Trauma masa lalu atasannya telah membentuknya menjadi pria yang dingin dan sinis terhadap wanita, terutama dalam hal hubungan. Pramudya tidak percaya pada cinta sejati, atau komitmen tanpa pamrih. Baginya, semua ada harganya, dan uang adalah alat untuk mengendalikan segalanya.
"Sudah, sekarang lo bisa kembali kerja," ujar Pramudya, mengakhiri pembicaraan. "Dan ingat, ini rahasia kita. Jangan sampai ada yang tahu."
Roy mengangguk pasrah, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan. Ia tidak bisa berhenti memikirkan nasib Arunika. Ia merasa bertanggung jawab, setidaknya sebagian, atas apa yang menimpa wanita itu.
Malam itu, Pramudya duduk di kamarnya yang luas, ditemani segelas scotch di tangan. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke sosok Sarah. Senyum manisnya, tawa renyahnya, dan bagaimana semua itu hancur saat ia melihat fakta bahwa Sarah adalah sugar baby Dewangga ayahnya Pram, pantas saja pakaian yang Sarah gunakan terlalu mewah untuk seorang mahasiswa. Sarah, cintanya, adalah wanita bayaran ayahnya.
Kilasan tentang Arunika kembali muncul di benaknya. Air mata Arunika, teriakan minta pertanggungjawaban seorang ayah, bukan uang. Ada sedikit guncangan di hatinya, namun ia segera menepisnya. Itu hanya manipulasi, pikirnya. Semua wanita sama. Mereka hanya ingin keuntungan.
"Cih," Pramudya menyesap scotch-nya. "Dasar wanita. Selalu saja drama."
Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, ada sedikit kegelisahan yang mulai tumbuh. Sesuatu tentang mata Arunika, kepolosannya yang tak bisa ia abaikan, berbeda dengan wanita-wanita yang biasa ia temui. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, menganggapnya hanya karena pengaruh alkohol dan kelelahan.
Bagaimana pun, Pramudya telah mengambil keputusan. Ia akan menafkahi anak itu, namun dengan caranya. Ia tidak akan membiarkan wanita mana pun, apalagi seorang wanita yang tidak ia cintai, mengganggu kehidupannya dan menghancurkan prinsip yang telah ia pegang teguh selama ini.
Ia yakin, seiring berjalannya waktu, Arunika akan menerima tawarannya. Semua orang pada akhirnya akan tunduk pada kekuatan uang.
Keesokan harinya, Arunika melangkahkan kakinya ke kampus dengan perasaan campur aduk. Semalaman ia tidak bisa tidur, memikirkan perkataan Pramudya dan masa depannya yang suram.
Namun, setibanya di gerbang kampus, ia merasakan keanehan. Semua mata seolah tertuju padanya. Bisikan-bisikan samar terdengar di setiap koridor yang ia lewati. Wajah-wajah yang biasanya tersenyum ramah kini menatapnya dengan pandangan menghakimi, atau justru kasihan.
Ia mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanya perasaannya saja. Namun, setibanya di dalam kelas, suasana yang sama terasa mencekam.
Teman-teman sekelasnya yang biasanya riuh kini berbisik-bisik, melirik ke arahnya, lalu buru-buru membuang muka saat Arunika menatap balik. Ada yang menatapnya dengan iba, ada pula yang sinis. Jantungnya berdebar kencang. Ada apa ini?
Belum sempat ia menenangkan diri, pintu kelas terbuka dan seorang staf kampus memanggil namanya. "Saudari Arunika, Anda dipanggil Dekan di ruangannya sekarang juga."
Dengan langkah gontai dan perasaan tidak karuan, Arunika berjalan menuju ruangan Dekan. Pikirannya kalut, mencoba menebak-nebak apa yang terjadi. Sesampainya di depan pintu ruangan Dekan, ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk.
"Masuk," terdengar suara dari dalam.
Arunika membuka pintu perlahan. Di dalam, Dekan duduk di belakang mejanya, ekspresinya serius. Di hadapannya, tergeletak beberapa lembar kertas.
"Duduklah, Arunika," ujar Dekan tanpa senyum.
Arunika duduk, tangannya terasa dingin.
Dekan menatapnya lekat-lekat, lalu beralih ke perut Arunika yang sudah mulai membuncit, meski masih bisa disamarkan dengan pakaian longgar. "Saya tidak akan berbasa-basi, Arunika," kata Dekan, suaranya pelan namun tegas. "Sudah sampai di telinga saya kabar mengenai Anda."
Jantung Arunika serasa berhenti berdetak. Kabar apa? Apakah ini tentang Pramudya? Atau tentang... kehamilannya?
"Kami mendapat laporan," lanjut Dekan, "bahwa Anda... sedang hamil. Dan yang lebih mengkhawatirkan, tanpa status pernikahan."
Dunia Arunika serasa runtuh. Jadi ini yang sedang digunjingkan semua orang. Kehamilannya sudah terbongkar. Rasa malu dan hancur melingkupinya. Ia ingin membela diri, namun kata-kata tercekat di tenggorokannya.
"Kampus ini menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, Arunika," Dekan melanjutkan, nada suaranya berubah menjadi lebih formal. "Keadaan Anda saat ini, sayangnya, bisa mencoreng nama baik institusi kami. Apalagi Anda adalah mahasiswi berprestasi, dan itu akan menjadi contoh yang tidak baik bagi mahasiswa lainnya."
Arunika mengangkat wajahnya, air mata mulai menggenang. "Tapi Pak, ini bukan keinginan saya..."
Dekan mengangkat tangan, menghentikan ucapan Arunika. "Saya memahami situasi Anda, Arunika. Namun, aturan adalah aturan. Setelah mempertimbangkan dengan matang dan melalui rapat pimpinan, kami telah mengambil keputusan."
Sebuah firasat buruk melintas di benak Arunika. Ia menatap Dekan dengan tatapan memohon.
"Dengan berat hati," ucap Dekan, "kami memutuskan untuk memberhentikan Anda dari status mahasiswi di kampus ini, terhitung mulai hari ini."
Kata-kata itu menghantam Arunika seperti palu godam. Pemberhentian? Itu berarti ia tidak bisa melanjutkan kuliahnya, tidak bisa meraih impiannya. Masa depannya, yang sudah suram, kini terasa gelap gulita.
"Tidak!" seru Arunika, berdiri tergagap. "Pak, saya mohon! Jangan lakukan ini! Saya akan menyelesaikan kuliah saya, saya akan membuktikan..."
"Maaf, Arunika," potong Dekan, "keputusan ini sudah final. Ini demi menjaga nama baik kampus. Anda bisa mengambil berkas-berkas Anda di bagian administrasi."
Arunika hanya bisa berdiri terpaku, menatap kosong ke arah Dekan. Ia merasa seluruh kekuatan dalam tubuhnya lenyap. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Kampus, impian, dan kini... ia harus menghadapi segalanya sendirian.