📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sore baru dan kesadaran
Sore baru turun seperti tirai tipis di atas halaman RSU Kencana Permata Indah. Lampu-lampu lorong mulai menyala satu per satu, memantul pada lantai granit yang disapu wangi karbol. Di ruang perawatan 3B, Juliar—ketua regu yang dijuluki “si gorila” karena bahunya selebar daun pintu—bersandar di ranjang dengan rompi balistik masih menggantung di kursi, penuh lubang bekas tembakan yang menembus permukaannya namun gagal menembus plat inti. Perban tebal melilit lengan atas dan rusuk kirinya, monitor detak jantung berdetak stabil, “pip… pip… pip…”
Solerom, Prakai, dan Shadaq berdiri di kaki ranjang.
Juliar mengangkat dagu, senyum licik mengembang. “Cuma gatel, bukan sakit,” ujarnya, menepuk-nepuk perban seperti menepuk drum.
Shadaq memutar mata. “Gatel dari mana? Kau itu belum boleh miring, apalagi sok jago.”
Perawat yang lewat hanya mendesah, menegakkan botol infus. “Pak Juliar, tolong jangan banyak gerak. Dokter minta posisi setengah duduk, bukan setengah pamer,” katanya, terkendali namun tajam.
Prakai memasukkan kedua tangan ke saku celana taktisnya, berdiri lurus. “Kau selamat karena prosedur, bukan karena kebal. Tahan diri.”
Juliar menyeringai. “Siap, Komandan.” Meski begitu, matanya jelas menikmati kemenangan kecil bisa tetap bicara lantang.
Solerom menatap sebentar ke layar monitor: angka saturasi, grafik napas. Ia merapikan selimut sampai tepinya rata, gestur kecil yang memotong keangkuhan Juliar dengan hening. “Besok kami bawakan baju ganti. Dan komik. Kau tak akan tahan bosan.”
Juliar mendengus, tetapi jemarinya—nyaris tak kentara—mengendur di tepian kasur. “Kalau komik, yang seri lama. Gambarnya lebih berani.”
“Beraninya cukup di lapangan,” timpal Shadaq. “Di sini nurut perawat.”
Beberapa anggota regu datang silih berganti, menepuk bahu, mengucap cepat “cepat pulih,” lalu menghilang ke lorong. Udara dalam ruang kian hangat, bercampur aroma antiseptik dan kertas yang kena sinar lampu.
Selesai menjenguk, mereka melangkah keluar. Lorong rumah sakit memantulkan langkah sepatu tempur jadi satu ritme pendek. Tepat di simpang menuju lift, Lina muncul—blazer krem, rambut disanggul rapi, masker digantungkan di pergelangan tangan. Ada kelelahan yang disamarkan di tepi matanya, juga ketenangan seperti seseorang yang sudah memilih menaruh sebagian pikirannya di laci paling dalam.
Prakai mempercepat langkah. “Sayang, kau di sini?” Ia mencondongkan bahu, tidak memeluk, hanya menyentuh siku Lina—gestur yang sopan dan tertib.
“Aku kirimkan makanan untuk pos jaga. Sekalian lihat pasien kecelakaan tadi siang,” jawab Lina, suaranya rendah. Mata mereka saling kunci sebentar: tatap memahami, bukan menguji.
Solerom berdiri setengah langkah di belakang, memalingkan wajah secukupnya agar memberi ruang. Tapi pada jeda sekilas itu, Lina sempat menggeser pandang kepadanya—tatap yang singkat, lalu menghilang seperti bayangan di air. Ia menurunkan kelopak mata sepersekian detik, seperti menyusun ulang napas.
Shadaq, peka terhadap arus yang tak terlihat, menepuk lengan Solerom sekali. “Aku turun duluan, cek kendaraan,” gumamnya. Ia memberi angguk kecil pada Prakai dan Lina, lalu menyelinap menuju lift bersama dua prajurit lain. Satu per satu anggota regu berpencar; lorong jadi lebih lapang, suara roda brankar terdengar lebih jelas.
Prakai menatap jam. “Aku harus kembali ke markas, koordinasi rotasi malam.” Ia menatap Lina lagi, mata yang biasa tegas itu melunak sepersekian. “Kau hati-hati. Jangan pulang terlalu malam.”
Lina mengangguk. “Kau juga.”
Prakai menoleh ke Solerom. “Terima kasih sudah jaga anak buah.”
Solerom menegakkan badan. “Siap.”
Pertukaran singkat, padat, kemudian Prakai melangkah pergi. Bunyi sol sepatu menipis, lalu lenyap di pintu keluar tangga darurat.
Lorong seketika jadi lebih sunyi. Hanya ada poster “Cuci Tangan 6 Langkah” dan jam dinding yang menggeser jarum detik. Lina berdiri menghadap jendela kecil yang memantulkan siluet lampu kota. Solerom tetap menjaga jarak formal—setengah meter—cukup jauh untuk sopan, cukup dekat untuk mendengar helaan napas.
“Juliar?” tanya Lina, masih menatap kaca.
“Galak seperti biasa,” jawab Solerom, bibirnya membentuk garis tipis. “Tapi stabil.”
Lina menoleh perlahan. Tatap mata mereka bertemu: pertama datar, lalu hangat, kemudian—di balik lapisan tutur—ada ingatan yang tidak meledak, hanya menyala redup seperti bara yang ditiup pelan. Lina mengusap tali masker di pergelangan, gerakan kecil yang menertibkan gugupnya.
“Semalam kota terlalu ramai,” katanya lirih, lebih seperti kesimpulan daripada keluhan.
“Ramai bukan karena kota,” balas Solerom, menempatkan suaranya di antara denyut AC dan langkah perawat. “Karena kita salah memilih tempat.”
Seketika, kedua bahu mereka sama-sama turun setengah inci—ketegangan yang tak perlu ditaruh di ruangan beraroma karbol itu. Dari ujung lorong, lampu indikator lift berkedip. Seorang perawat lewat sambil mendorong troli obat, menyapa singkat, berlalu.
Lina menggeser berat badan dari satu kaki ke kaki lain, jari-jarinya masih memilin tali masker seperti benang yang tak mau putus. Cahaya dari jendela lorong menyusup tipis, memantul di matanya yang kini tak lagi menghindar. "Tempat yang aman," gumamnya, suaranya seperti hembusan angin pagi yang membawa janji basah. "Bukan di sini, bukan di sana."
Solerom mengangguk pelan, langkahnya maju setengah inci—cukup dekat hingga aroma parfum Lina, campuran lavender dan kertas arsip, menyusup ke hidungnya. Ia tak menyentuhnya, tapi jarinya merayap di udara, hampir menyusuri lengkungan lengan blazer Lina, seperti bayangan yang ingin jadi nyata. "Hotel di ujung Jalan Melati," bisiknya, suara rendah tapi tegas, seperti perintah yang dibungkus madu. "Dekat rumahku. Pintunya terkunci rapat, tak ada yang mengintip. Malam ini, jam sebelas. Aku jemputmu di belakang kantor."
Mata Lina menyipit, tapi bibirnya melengkung—senyum yang tak lengkap, yang menyembunyikan api di baliknya. Ia mencondongkan badan sedikit, cukup hingga napasnya menyentuh leher Solerom, hangat seperti sentuhan yang tertunda. "Kau yakin tak ada regu yang ikut? Juliar saja sudah cukup bikin repot." Tapi nada suaranya bukan protes; itu godaan, lembut seperti jari yang menyusuri tulang selangka.
Solerom tertawa kecil, suara itu bergema pelan di lorong kosong, seperti rahasia yang lolos dari genggaman. "Regu istirahat malam ini. Hanya kita." Matanya turun ke bibir Lina, lalu naik lagi, lambat, seperti membaca peta yang sudah hafal setiap lekuknya. "Bayangkan: kasur yang tak berderit, tirai tebal, dan waktu yang tak terburu. Kau bisa lepas blazer itu, Lina. Tak ada lagi laci untuk pikiranmu."
Ia mengulurkan tangan, jempolnya menyentuh punggung tangan Lina—sekilas, seperti kebetulan, tapi cukup untuk membuat denyut nadi di pergelangan Lina melonjak. Lina tak menarik tangannya; malah, ia membalik telapaknya pelan, membiarkan jari Solerom menyusuri garis-garisnya, hangat dan pasti. "Jam sebelas," ulangnya, suara seperti bisik yang menjanjikan badai. "Jangan telat. Aku tak suka menunggu sendirian."
Dari ujung lorong, bunyi lift berdering pelan, mengingatkan dunia luar yang tak peduli pada bara mereka. Solerom mundur selangkah, tapi tatapannya tetap—janji yang tak butuh kata lagi. "Aku tak akan." Ia menoleh ke pintu keluar, tapi sebelum melangkah, ia berhenti, suaranya turun lebih dalam: "Malam ini, kau milikku sepenuhnya. Tak ada kota yang ramai, tak ada gerebekan."
Lina mengangguk, bahunya rileks sekarang, seperti beban yang akhirnya diletakkan. Ia menyentuh bibirnya dengan ujung jari, gerakan kecil yang penuh arti, lalu berbalik menuju ruang tunggu. Langkahnya ringan, tapi hatinya berdegup seperti jam yang sudah disetel mundur. Di balik pintu, kota malam menunggu—tapi kali ini, tempat aman mereka sudah menanti, siap menelan rahasia itu utuh.