Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penderitaan di Kebun Kopi
Suasana di kebun kopi tergambar tenang dan damai, dengan tanaman kopi yang hijau dan rindang. Udara segar dan aroma kopi yang khas menambah kesan yang menenangkan. Namun, di balik keindahan alam itu menyimpan sejarah yang kontroversial terkait eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja.
Kebun kopi ini menjadi simbol kemakmuran bagi para kolonial, sementara bagi penduduk lokal, kebun-kebun ini bisa menjadi tempat kerja paksa atau upah yang rendah.
Terlihat di kebun itu, pria berkumis putih berusia 50 tahun dan bertopi berdiri tegak, mengawasi pekerja dengan tatapan keras dan tidak kenal ampun. Topi yang lebar melindungi wajahnya dari sinar matahari sementara matanya tetap waspada memantau setiap gerakan pekerja. Kehadirannya di kebun kopi menambah tekanan bagi para pekerja yang sudah bekerja keras seharian.
"Petik kopi itu sekarang!" perintah sang menheer dengan nada yang tegas, suaranya menggema di tengah kebun kopi yang rindang. Sementara para pekerja buru-buru mematuhi perintahnya, tangan mereka bergerak cepat memetik biji kopi yang sudah matang. Sang menheer terus mengawasi, memastikan pekerjaan dilakukan dengan efisien.
Edwin De Groot tidak bekerja seorang diri di perkebunan, ia bersama beberapa mandor yang setia dan pekerja lokal yang dipimpinnya dengan tangan besi. Mereka bekerja keras di bawah pengawasannya, sementara Edwin memastikan bahwa target produksi kopi terpenuhi sesuai dengan keinginan pemerintah kolonial.
Mandor yang paling kejam bernama Van der Meer. Mandor Van der Meer, sosok yang paling ditakuti oleh pekerja dan dikenal karena kebrutalannya dalam mengawasi pekerja di perkebunan kopi. Ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk memastikan pekerja memenuhi target yang ditetapkan oleh Edwin De Groot.
"Lambat kamu, cepat petik dengan benar !" Van Der Meer mencambuk para pekerja yang lamban di kebun kopi, cambukan yang keras dan menyakitkan membuat para pekerja semakin takut dan terintimidasi. Suasana kebun kopi dipenuhi dengan rasa ketakutan dan kepatuhan, sementara para pekerja dipaksa untuk bekerja keras tanpa henti di bawah pengawasan yang ketat.
Cambukan yang keras itu menghantam punggung pekerja yang lamban, menambah ketakutan dan kelelahan di antara mereka.
"Ayo, kita segera menyelesaikan pekerjaan ini !" bisik Sukirman pada yang lain.
"Aku lelah dan lapar. Aku tidak kuat lagi," Paidi mengusap tenggorokan yang kering, detik kemudian ia jatuh tersungkur, tidak sadarkan diri karena kelelahan di bawah terik matahari, tubuhnya lemah dan kehabisan tenaga setelah bekerja keras seharian tanpa cukup istirahat atau minum. Menheer hanya melirik sekilas ke arah pekerja yang pingsan itu, lalu kembali fokus pada buku catatan di tangannya, tanpa menunjukkan tanda-tanda kepedulian atau simpati.
Tak jauh dari tempatnya Sukri, Sarinah pun juga pingsan. Menheer hanya menghela napas singkat dan memerintahkan mandor untuk menyingkirkan pekerja itu dari tempat kerja.
Tak hanya Paidi dan Sarinah yang pingsan, Lukman juga ambruk, tubuhnya lemah tak bertenaga. Wadah biji kopi yang dibawanya terjatuh dan berhamburan di tanah, biji-biji kopi menggelinding ke segala arah sementara Lukman tidak mampu bangkit kembali.
"Kerja terus! Jangan berhenti!" teriak menheer tanpa memperhatikan seorang pekerja yang tiba-tiba pingsan, tubuhnya yang lemah tergeletak di tanah, menheer juga tidak peduli, ia tetap memerintahkan pekerja lain untuk terus bekerja tanpa henti. Sementara para pekerja bekerja dengan napas terengah-engah dan dengan wajah yang penuh ketakutan berusaha melanjutkan pekerjaan tanpa mempedulikan lagi rasa lelah di bawah terik matahari yang menyengat.
Ditengah panasnya matahari, menheer dan mandor menyantap makan siangnya di bawah naungan pohon rindang, menikmati hidangan yang lezat dan segar sementara pekerja lain bekerja keras tanpa henti. Kontras antara kemewahan mereka dan kesulitan pekerja sangat mencolok.
"Pisang ini sangat enak," ujar Edwin memamerkan buah pisang yang dibawakan khusus untuknya, sambil tersenyum puas menikmati rasa manisnya.
Sementara pekerja lain menelan ludah melihatnya.
"Kamu benar, apalagi dengan sayur asam ini," imbuh Van De Meer, sambil mengunyah makanan dengan lahapnya, "Sayur asam ini menambah rasa pisang menjadi lebih lezat." Menheer mengangguk setuju, keduanya menikmati makan siang dengan santai dan puas.
.
Baru sore hari mereka boleh pulang, "Ini upah kalian!" kata menheer dengan nada dingin, sambil melemparkan beberapa koin ke arah mereka dengan sikap yang tidak peduli.
Pekerja itu terkejut saat menheer melempar upah ke arah mereka dengan sembrono, seolah-olah uang receh yang dilemparkan itu tidak berarti apa-apa. Koin-koin itu berhamburan di tanah, dan Sukri dengan wajah lelah serta tangan yang kotor bergegas memungutinya, rasa puas yang minim setelah seharian bekerja keras. Pekerja lain berebut mengambil uang yang jatuh di tanah, ada rasa tidak puas dan kesal dalam hati mereka.
Sukri menggerutu dalam diam, "Huh, sama sekali tidak manusiawi !" tapi tetap saja diambil, wajahnya menunjukkan rasa jijik dan marah, namun kebutuhan akan uang membuat mereka rela menelan harga diri.
Sukri menarik lengan istrinya, "Ayo kita pulang!"
Tapi istrinya hanya menggeleng lemah, "Aku tidak kuat berjalan, Kang," bisiknya, suaranya lemah dan hampir tak terdengar terlihat juga napas terengah-engah, tubuhnya terlalu lelah untuk bergerak lagi.
Terpaksa Sukri menggendong Sarinah menuruni bukit yang curam, langkahnya pelan dan hati-hati, sambil berusaha menahan kelelahan dan beban berat di pundaknya.
Parlan dan yang lain juga segera pulang sambil membopong teman mereka yang masih tidak sadarkan diri dengan langkah lambat dan berat yang penuh kepedulian.
Suasana duka dengan wajah-wajah mereka menunjukkan rasa kelelahan dan keprihatinan memenuhi perjalanan pulang mereka setelah hari yang penuh penderitaan di kebun kopi.
Pemandangan ini di kebun kopi tentu tidak menggugah hati Edwin untuk terus memimpin dengan cara-cara yang lebih manusiawi. Sebaliknya, ia semakin memperketat pengawasan terus menjalankan perkebunan dengan tangan besi dan meningkatkan tuntutan terhadap pekerja, tanpa peduli dengan kondisi mereka yang semakin memprihatinkan.
Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di baliknya, Edwin De Groot memimpin di perkebunan kopi, ambisinya yang tak pernah puas mendorongnya untuk terus berinovasi dan mencari solusi baru. Meskipun sudah berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang luas tentang perkebunan kopi, ia terus mencari cara untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan di perkebunan kopi.
.
Hampir menjelang magrib, Sukri tiba di rumah dengan tubuh lelah dan berkeringat. Galuh yang melihatnya langsung menjadi iba, "Kang, kamu kelihatan sangat lelah, apa yang terjadi?" tanyanya dengan penuh perhatian.
Sukri menatap cengo. Tidak biasanya Gundik Belanda itu bertanya kabarnya. Biasanya ketika ia melihat Sukri melintas di depan rumahnya ia selalu bertanya dengan nada sinis, seperti ' Bagaimana, Sukri, apakah kamu sudah bekerja keras hari ini untuk tuanmu?' tapi kali ini berbeda.
Sukri tak langsung menyahut membuat Galuh mengulangi pertanyaanya. " Kang, kenapa dengan istrimu?"
"Pingsan saat bekerja di kebun kopi." sahut Sukri.
Galuh merasa iba lalu bergegas mendekat, "Sini Kang, biar aku bantu." katanya sambil membantu Sukri menurunkan Sarinah dari punggungnya, "Kamu pasti sangat lelah."
"Dimana rumahmu ?" tanya Galuh dengan rasa ingin tahu. Tentu saja Sukri menjadi bingung, bukankah mereka bertetangga dan bahkan setiap hari dimakinya.
"Itu," tunjuk Sukri pada rumah yang sederhana dan reyot, jauh berbeda dengan rumah besar yang dihuni oleh Galuh.
Galuh pun membantu Sukri mengangkat Sarinah sampai ke rumah.