NovelToon NovelToon
KARENA MEMBUKA MATA BATIN

KARENA MEMBUKA MATA BATIN

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!

Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.

Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.

Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.

Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6. BELAS KASIH

Rumah itu sudah lama terasa asing bagi Sadewa. Sejak mata batinnya terbuka, sejak suara-suara gaib dan bisikan-bisikan yang tak terlihat itu menyeruak masuk, ruang yang dulu ia kenal sebagai tempat berlindung telah berubah menjadi jeruji tak kasat mata. Dinding kamar seakan semakin menyempit, udara terasa menyesakkan, dan malam menjelma menjadi lautan gelap yang dipenuhi teror tak berwujud.

Hari-hari yang berlalu hanya dipenuhi jeritan, bisikan, dan tangisan lirih yang menggetarkan seluruh isi rumah. Retno, ibunya, masih saja mondar-mandir dengan wajah yang semakin pucat. Ia mencoba segala cara agar putra bungsunya itu bisa kembali normal, membujuk dengan kata-kata, membacakan doa, menyalakan ayat-ayat suci di kamar Sadewa, hingga menaruh segelas air putih dengan harapan bisa menenangkan. Namun hasilnya tetap sama: Sadewa terkunci dalam dunianya sendiri, seperti kapal karam yang tak tahu bagaimana harus kembali ke permukaan.

Di tengah kesunyian rumah itu, ada satu sosok yang selalu memerhatikan dengan tatapan penuh iba. Seorang perempuan berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya agak bungkuk karena kerja keras bertahun-tahun, wajahnya dihiasi keriput yang justru menambah kesan teduh. Dialah Sukma, bibi sekaligus pembantu rumah tangga yang sudah puluhan tahun setia bersama keluarga itu.

Sukma bukan sekadar pembantu; ia sudah seperti bagian dari keluarga. Sejak Retno menikah dengan suaminya, Sukma hadir sebagai tangan kanan, mengurus dapur, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan merawat anak-anak dengan penuh kasih. Bahkan ketika Retno melahirkan Sadewa, Sukma-lah yang pertama kali menggendong bayi mungil itu sebelum sang ayah sempat datang ke ruang bersalin.

Kini, ketika melihat bocah yang dulu pernah ia gendong, tumbuh remaja lalu perlahan hancur oleh teror tak kasat mata, hati Sukma perih tak terkira. Hampir setiap malam ia terbangun oleh teriakan Sadewa yang menggema dari dalam kamar. Ia pernah mencoba masuk, membawakan segelas susu hangat, namun ditolak dengan histeris. Bocah itu ketakutan, seolah melihat sesuatu yang orang lain tak mampu tangkap.

Sukma tahu, Retno tak lagi kuat menahan beban ini seorang diri. Suami Retno, pria yang keras hati dan kasar tangan, justru menambah luka dengan amarahnya. Bukannya menenangkan, ia malah sering berteriak dan bahkan memukul Sadewa, menganggap semua ini hanya ulah manja anak laki-lakinya yang ingin menarik perhatian. Luka-luka di lengan dan wajah Sadewa adalah saksi bisu dari kekerasan itu.

Suatu sore, ketika matahari hampir tenggelam, Sukma memberanikan diri mendekati Retno yang duduk termangu di ruang keluarga. Wanita itu terlihat jauh lebih tua dari usianya; rambutnya sudah banyak beruban, wajahnya penuh garis cemas, dan matanya sembab karena terlalu sering menangis.

"Bu?" suara Sukma lembut, bergetar, "saya tidak tega melihat Mas Dewa seperti itu terus. Rasanya hati ini remuk setiap kali dengar dia teriak-teriak."

Retno menoleh perlahan, tatapannya kosong. "Aku juga, Mbak Sukma. Aku sudah nggak tahu lagi harus bagaimana. Setiap kali aku coba dekati, dia hanya gemetar, menjerit, atau menutup telinga. Aku takut ... aku takut anakku benar-benar hilang."

Ada jeda hening. Angin sore masuk melalui jendela, menggoyangkan tirai tipis, seakan menambahkan rasa pilu yang menyesak di ruangan itu.

Sukma menarik napas panjang, lalu dengan hati-hati ia berkata, "Bu, sebenarnya saya punya seorang keponakan. Dia masih kuliah, tapi sejak kecil memang punya pengalaman ... pengalaman yang nggak semua orang bisa mengerti. Kadang orang datang padanya untuk minta pertolongan. Katanya, dia bisa merasakan hal-hal yang tidak kasat mata, dan dia sering membantu."

Retno menatap Sukma, setengah bingung, setengah berharap. "Maksudmu ... keponakanmu itu bisa menolong Dewa?"

"Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, Bu. Tapi, mungkin tidak ada salahnya dicoba. Saya hanya nggak tega melihat Mas Dewa seperti itu. Kalau terus-terusan, saya takut dia bisa ...." Sukma terdiam, tidak melanjutkan kata-katanya.

Tapi Retno paham maksudnya: bisa kehilangan kewarasan, atau lebih buruk lagi, kehilangan nyawa. Retno memejamkan mata, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

"Kalau memang ada jalan, Mbak ... aku mau. Aku mau coba apa saja. Tolong, tolong hubungi keponakanmu itu. Aku sudah tidak punya daya lagi," pinta Retno lirih.

Sukma mengangguk. "Baik, Bu. Nanti malam saya coba telepon dia. Namanya Arsel. Anak itu baik, sopan, dan meskipun masih muda, dia sering menolong orang yang diganggu hal-hal gaib. Semoga saja ... semoga saja dia bisa memberi jalan untuk Mas Dewa."

Saat percakapan itu berlangsung, suara pintu depan berderit pelan. Retno dan Sukma menoleh bersamaan. Dari balik pintu masuklah dua sosok muda dengan wajah lelah setelah perjalanan jauh. Mereka adalah Naras dan Dian, kakak-kakak Sadewa yang sedang kuliah di Jakarta. Kabar tentang keadaan adik bungsu mereka telah sampai ke telinga mereka beberapa hari lalu, membuat hati keduanya tak tenang hingga memutuskan untuk pulang.

"Bu,?" suara Naras yang tegas memecah keheningan. "Kami dengar Dewa sakit. Sebenarnya apa yang terjadi?"

Retno bangkit dengan tergesa, berlari kecil menyambut kedua anaknya. Ia memeluk mereka erat, seakan pelukan itu bisa menguatkan hatinya yang sudah retak.

"Kalian akhirnya pulang," sambut Retno dengan suara bergetar. "Dewa ... dia ... dia tidak pernah meninggalkan kamarnya. Tidak mau makan. Setiap malam berteriak-teriak. Seperti ketakutan oleh sesuatu yang kita tidak lihat."

Dian, adik perempuan Naras dan kakak perempuan Sadewa, menatap ibunya dengan wajah pucat. "Astaga, Bu, segitunya?"

"Ya, Nak." Retno mengangguk, air mata kembali jatuh. "Kalian harus lihat sendiri. Ibu sudah nggak sanggup."

Naras, yang dikenal tegas dan kadang keras kepala, awalnya marah mendengar kelakuan Sadewa. Sejak dulu ia tahu adiknya itu nakal, suka membangkang, bahkan sering membuat masalah kecil.

"Apa jangan-jangan ini hanya drama dia saja, Bu? Dari dulu Dewa memang suka cari perhatian," tuduh Naras.

Namun Sukma cepat menyela, dengan suara yang penuh penekanan. "Mas Naras, lebih baik Mas lihat dulu. Jangan asal menyalahkan. Saya yang tiap hari dengar jeritannya, saya tahu ini bukan sekadar ulah."

Naras terdiam, meski wajahnya masih kaku. Akhirnya, dengan langkah mantap namun berat, ia menuju kamar Sadewa di lantai atas. Dian dan Retno menyusul pelan-pelan, sementara Sukma hanya berdiri di bawah tangga, menatap dengan doa dalam hati.

Ketika pintu kamar itu dibuka perlahan, bau apek langsung menyeruak. Tirai jendela tertutup rapat, membuat ruangan itu gelap meski matahari masih belum benar-benar tenggelam. Di sudut kamar, terlihat sosok kurus kering meringkuk di atas ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya.

"Dewa," panggil Naras dengan suara yang berusaha tegas namun tak sepenuhnya berhasil menutupi guncangan hatinya.

Sosok itu menoleh perlahan. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan lingkar hitam pekat, bibirnya pecah-pecah, dan ada guratan luka samar di pelipis serta lengan. Mata itu menatap kosong, seakan tidak benar-benar mengenali siapa yang berdiri di hadapannya.

Dian menutup mulutnya, nyaris menjerit. Air matanya langsung jatuh. "Ya Tuhan ... Dewa ...."

Semua amarah Naras mendadak menguap, berganti dengan rasa perih yang tak tertahankan. Ia maju beberapa langkah, duduk di tepi ranjang, lalu meraih bahu adiknya yang kurus.

"Dewa? Ini Abang. Lihat Abang. Kamu kenapa jadi begini, Wa?" ucap Naras yang tidak pernah menyangka kalau ia akan melihat adiknya seperti ini.

Sadewa gemetar, tubuhnya kaku. Bibirnya bergerak pelan, menggumam kata-kata tak jelas. "Mereka ... mereka lihat ... mereka bisik ... jangan ... jangan dekati aku ...."

Naras menahan napas, hatinya seakan diremas ketika melihat jejak luka di tubuh sang adik. Ia tahu luka di wajah adiknya bukan karena Sadewa melukai diri sendiri. Ia tahu persis siapa yang melakukannya: ayah mereka. Sosok yang sejak dulu selalu keras, tak pernah memberi ruang bagi kelemahan. Yang entah kenapa selalu marah dan tidak ada belas kasih pada Sadewa.

Retno berdiri di ambang pintu, menundukkan wajah penuh rasa bersalah. Ia tahu kedua anaknya yang baru pulang itu akan menyadari kebenaran pahit ini.

Naras menggenggam tangan adiknya erat, berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan membiarkan Sadewa hancur sendirian. Dian mendekat, mengelus rambut adiknya sambil menangis.

"Kami di sini, Dewa ... jangan takut. Kami pulang untuk kamu," ucap Naras, seakan ingin menguatkan adiknya atas apa pun yang dirasakan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Sadewa tidak hanya sendirian dengan ketakutannya. Ada kasih sayang yang hadir di kamar itu, meski masih dibalut kabut misteri yang belum terpecahkan.

Sementara itu, di bawah, Sukma duduk termenung. Ia tahu malam ini hanyalah awal dari perjalanan panjang. Lekas, ia menghubungi Arsel, keponakannya, berharap anak muda itu bisa memberi cahaya pada kegelapan yang kini menyelimuti Sadewa.

1
Deyuni12
Arsel 🥺
Deyuni12
lanjuuuuuut
Deyuni12
semakin menegangkan
Miss Typo
semangat kalian bertiga, semoga bisa 💪
Miss Typo: baru 2 bab 😁✌️
total 1 replies
Deyuni12
lagi akh 😅😅
Miss Typo
kok aku jadi terhura nangis lagi nangis mulu 😭
Deyuni12
lagiiiiiii
Deyuni12
ada kabut apa sebenarnya d keluarga dewa sebelumnya,masih teka teki n masih samar,belum jelas apa yg terjadi sebetulnya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
Deyuni12: kasih tau aku y kalo udah ketahuan 😄
total 2 replies
Deyuni12
orang yg tidak d harapkan malah pulang, hadeeeh
Archiemorarty: Ndak kok /Slight/
total 3 replies
Miss Typo
belum tau siapa orang yg bikin Dewa jadi tumbal, dari awal aku pikir ayahnya tapi dia gak percaya hal begituan, atau kakek neneknya dulu atau siapa ya??? 😁
Miss Typo: masih mikir 😁
total 2 replies
Miss Typo
saat kayak gitu malah ayahnya mlh pulang ke rumah, bikin geram aja tuh orang 😤
Miss Typo: geram sm ayahnya Dewa 😤
total 2 replies
Deyuni12
bacanya menguji adrenalin
Deyuni12
semangat dewa
Deyuni12
huaaa
ternyata bener kn jadi tumbal
Deyuni12: hayoo sama siapa hayooo
total 2 replies
Deyuni12
masa iya dewa d jadikan tumbal sama leluhurnya..hm
Deyuni12
what!!!
kenapa si dewa ini
Deyuni12: hayooo othor,kamu apain itu dewaaaa
total 2 replies
Miss Typo
tiap baca tegang tapi juga penasaran,,, semangat Dewa Arsen dan Tama
Miss Typo
semoga kamu kuat kamu bisa Dewa bersama Arsen dan Tama
Miss Typo
kuat Sadewa kuat, kamu pasti bisa
Miss Typo
dari awal dah menduga jadi tumbal tapi okeh siapa?
apa ayahnya Dewa???
Miss Typo: kalau othor mh jelas nulis banyak, sedangkan diriku komen dikit aja typo mulu, makanya nama disini Miss Typo hehe
total 7 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!