Cole Han, gangster paling ditakuti di Shanghai, dikenal dingin dan tak tersentuh oleh pesona wanita mana pun. Namun, semua berubah saat matanya tertuju pada Lillian Mei, gadis polos yang tak pernah bersinggungan dengan dunia kelam sepertinya.
Malam kelam itu menghancurkan hidup Lillian. Ia terjebak dalam trauma dan mimpi buruk yang terus menghantuinya, sementara Cole justru tak bisa melepaskan bayangan gadis yang untuk pertama kalinya membangkitkan hasratnya.
Tak peduli pada luka yang ia tinggalkan, Cole Han memaksa Lillian masuk ke dalam kehidupannya—menjadi istrinya, tak peduli apakah gadis itu mau atau tidak.
Akankah Lillian selamanya terjebak dalam genggaman pria berbahaya itu, atau justru menemukan cara untuk menaklukkan hati sang gangster yang tak tersentuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Apa? Kakak akan menikahi Lillian?" tanya Will, suaranya meninggi. Matanya membelalak lebar, wajahnya memerah antara marah dan tidak percaya.
Anthony dan Lucy terdiam sesaat. Mereka saling bertatapan, seolah mencari jawaban dalam tatapan pasangannya.
"Ini adalah keputusanku. Mengenai pendapat adik Lillian, aku tidak tahu. Dia berhak menolak atau menerima saranku. Hanya saja, sebelum membuat keputusan, pertimbangkan dengan baik." Tatapan Cole terarah lurus pada Lillian.
"Lillian, kau bisa pertimbangkan dulu, tidak perlu terburu-buru membuat keputusan," ujar Luwis dengan nada lebih lembut
Namun Cole segera mengalihkan pandangannya kembali pada Will, suaranya dingin dan penuh tekanan.
"Berita sudah tersebar. Saat ini yang harus kau lakukan adalah hapus berita itu!"
Will terdiam, kepalan tangannya gemetar di atas lutut.
Mansion keluarga Mei.
Malam itu, ketiga anggota keluarga itu duduk di sofa ruang tamu. Lampu gantung kristal yang indah tidak mampu mengusir suasana berat yang menyelimuti. Wajah Lillian pucat, pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh.
"Lillian, kau bisa menolak kalau ragu dengan pernikahan ini," kata Lucy, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran.
Anthony menyandarkan punggungnya di sofa, menarik napas panjang. "Lucy, Lillian bisa saja menolak… tapi kita harus pikirkan risikonya."
Lucy langsung menoleh, sorot matanya tajam. "Apakah ada yang lebih penting dari masa depan putri kita?"
"Bukan itu maksudku." Anthony menunduk sebentar, lalu menatap istrinya dan putrinya. "Luwis memiliki dua putra. Semua orang tahu mereka sangat berbeda. Will memang suka bermain dan tidak sehebat kakaknya. Tapi Cole… dia dingin, kejam. Menyinggungnya akan berdampak buruk bagi kita. Tadi dia sendiri yang menyatakan akan menikahi Lillian. Itu bukan sekadar tawaran, Lucy. Demi nama baik keluarganya, dia sedang berbicara soal tanggung jawab."
Lillian yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. Tubuhnya bergetar kecil, matanya berkaca-kaca.
"Pa, Ma… aku tidak mengenalnya, dan tidak tahu kenapa aku merasa takut padanya. Bukankah dia gangster? Bukankah biasanya gangster itu punya banyak wanita? Mereka akan membuang wanita setelah bosan. Aku tidak mau terjerumus lebih dalam… Cole jauh lebih berbahaya daripada Will."
Lucy langsung memeluk putrinya, mengusap rambut Lillian penuh kasih sayang. "Lillian, Mama mengerti maksudmu. Kalau kau takut, kita akan menolak saja. Paling buruk, kita hanya memutuskan hubungan dengan mereka."
Anthony terdiam lama, menatap istrinya yang sedang memeluk Lillian. Wajahnya muram, suara beratnya akhirnya terdengar.
"Kalau soal ganti rugi proyek itu, aku masih bisa membayar meski jumlahnya tidak sedikit. Tapi… apakah Cole akan diam saja?"
"Kalau menolak dia akan marah, tidak tahu apa yang akan dia lakukan terhadap keluargaku. Kalau aku menikah dengannya, dan ketahuan aku sudah tidak perawan. Dia pasti akan membunuhku dan menganggap kami berbohong padanya," batin Lillian.
"Lillian, mengenai pernikahan ini, biar Papa dan Mama yang urus. Kita akan menolak baik-baik lamaran Cole Han," kata Lucy dengan nada penuh keyakinan, sambil menggenggam tangan putrinya erat.
Lillian menatap ibunya dengan mata penuh keraguan. "Tapi, Ma… dengan alasan apa?"
Lucy menarik napas panjang, seolah sudah menyiapkan jawaban. "Cole hanya demi keluarga, jadi kalian tidak memiliki perasaan antara satu sama lain. Seharusnya dia tidak begitu keberatan. Mama akan menggunakan alasan bahwa kau masih muda dan masih ingin mengejar karirmu."
Wajah Lillian memucat, suaranya lirih. "Apakah dia tidak akan marah?"
Lucy mengelus kepala putrinya dengan lembut. "Tentu saja dia tidak akan marah. Tapi lebih baik begitu. Daripada kau dipaksa menikah tanpa cinta, itu tidak akan membuatmu bahagia."
Keesokan harinya
Sebuah café modern dengan dinding kaca besar. Lillian duduk di pojok ruangan, mengenakan dress kasual berwarna pastel. Wajahnya terlihat letih, mata sembab seolah kurang tidur. Di hadapannya, seorang wanita cantik dengan penampilan stylish menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Lillian, apa yang terjadi padamu? Kenapa malam itu kau tidak datang dan tidak bisa dihubungi? Aku menunggumu di hotel sampai pagi," tanya wanita itu, Rebecca, sahabat sekaligus rekan kerjanya.
Lillian memaksakan senyum, mencoba menutupi kegelisahannya. "Rebecca, aku… dihubungi Papa, diminta pulang mendadak."
Rebecca mengerutkan dahi, tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi malam itu suaramu seperti sedang menangis. Apa kau sedang ada masalah?"
Lillian menunduk, menggenggam cangkir kopinya erat. "Aku sudah putus dengan Will," ucapnya pelan.
Rebecca terdiam sesaat, lalu menghela napas lega. "Lillian, akhirnya kalian putus juga. Sudah aku katakan sejak awal, dia tidak cocok untukmu. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik."
Lillian menggigit bibirnya, suaranya bergetar. "Aku hanya tidak menyangka pria yang pernah aku cintai dengan sepenuh hati akhirnya berselingkuh. Walau kami sudah putus… aku masih merasakan kehancuran itu."
Rebecca meraih tangan Lillian, menepuknya lembut. "Jangan sedih. Bagaimana kalau aku kenalkan seorang teman untukmu? Dia sangat baik dan tampan. Orang tuanya juga mendesaknya untuk menikah. Soal biaya hidup, kau tidak perlu khawatir. Dia adalah pengurus di perusahaan kosmetik terkenal."
Lillian segera menggeleng, wajahnya panik. "Tidak, Rebecca. Untuk saat ini aku tidak ingin terlibat dalam hubungan asmara."
Dalam hati, Lillian berteriak. "Kondisiku seperti ini… mana mungkin aku berani mendekati pria mana pun? Aku bahkan masih dihantui kejadian malam itu…"
Rebecca tersenyum misterius. "Dia dalam perjalanan ke sini. Terus terang, sejak awal aku ingin menjodohkan kalian. Tapi karena kau masih bersama Will, aku diam saja. Sebentar lagi dia akan tiba. Kalian bisa berteman dulu, saling mengenal dan memahami."
Lillian menatap sahabatnya dengan wajah pucat. "Rebecca, tapi aku—"
"Sudah," potong Rebecca cepat, menepuk pundak Lillian sambil tersenyum. "Hanya pertemuan biasa. Aku juga sudah beri tahu dia tentangmu. Dia akan berteman denganmu dulu. Setelah itu, kau yang memutuskan."
Beberapa saat kemudian.
Pria yang dijodohkan dengan Lillian sudah tiba. Mereka duduk saling berhadapan, mencoba berbincang ringan.
Tak lama kemudian, pintu cafe terbuka. Cole melangkah masuk dengan tenang, ditemani Julian yang selalu setia berada di sisinya. Pandangan tajam Cole langsung jatuh pada Lillian yang sedang duduk bersama seorang pria asing.
Mata Cole menyipit, rahangnya mengeras. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, sebelum akhirnya melangkah mendekat dengan langkah mantap dan aura dingin yang membuat beberapa pengunjung cafe ikut menoleh.