Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Tertinggal
Pulang setelah kunjungan pertama ke rumah sakit menyisakan beban berat di dada Suri. Sudah susah payah diajak berinteraksi dan akhirnya bisa terlihat sedikit rona di wajahnya, Dean kembali murung begitu mereka tiba di rumah.
Saat di rumah sakit, Suri pikir Dean hendak mengatakan sesuatu padanya. Mungkin memintanya untuk tidak terlalu banyak bicara soal keluarga, sejak kekasihnya tidak pernah mendapatkan sosok itu dari keluarga kandungnya. Mungkin pula Dean berharap Suri membicarakan hal lain dengan tone bahagia. Barangkali soal cita-cita atau cerita cinta di bangku SMA. Semacam segelintir kenangan yang coba dihadirkan kembali, yang siapa tahu bisa membantu kekasih Dean mendapatkan semangat hidupnya lagi.
Namun yang Suri dapati hanyalah wajah sendu Dean, sembari pria itu berkata bahwa sudah waktunya mereka pulang. Suri bertanya lagi, apakah akan ada anggota keluarga Dean lain yang datang, sehingga mereka harus terburu-buru pergi? Tapi Dean tidak menjawab dan bersikeras akan satu hal: mereka harus segera pulang.
Dari turun taksi sampai depan pintu rumah, Suri mengambil posisi di belakang. Punggung lesu Dean jadi pemandangan menyedihkan. Dia yakin ada hal lain yang ingin Dean sampaikan, hanya saja masih ditahan.
Lidah Suri terangkat sedikit. Ia hendak memanggil Dean, ingin mengajaknya bicara lebih banyak, ketika otaknya menangkap satu lagi keanehan.
Untuk apa Dean membuka pintu, jika ia adalah hantu dan bisa saja langsung berjalan menembus tembok?
Seperti Claire, bisa tahu-tahu ada di atas lemari pakaian dalam sekejap mata; Kenneth muncul di atas kasur perlahan seperti sebuah bayangan yang pelan-pelan menjadi solid; atau Mirah yang wujudnya nampak setelah kursi goyang di depan teras bergerak cepat. Setelah Suri ingat-ingat lagi, kemunculan Dean juga tidak pernah tiba-tiba. Pria itu selalu tertangkap oleh netranya sedang berjalan menuruni tangga, meski entah dari mana datangnya.
Dean, hal lain apa yang masih kau sembunyikan dariku?
"Aku harus pergi ke suatu tempat," kata Dean, tiba-tiba berbalik setelah pintu rumah terbuka lebar.
Suri seidkit tergagap. Terpaksa disentak dari arus pikirannya sendiri. "Oh ... ya," sahutnya, kepalanya mengangguk patah-patah. "Ya, pergilah. Aku juga perlu istirahat."
Dean tidak lagi bersuara. Sosoknya berbalik cepat, meninggalkan pintu, melewati tubuh Suri yang mematung di teras. Pria itu kemudian berlari. Mengayunkan kaki telanjangnya menyusuri jalanan beraspal yang panas terbakar terik matahari. Kendati senja sudah membentang, panas sisa tadi siang jelas masih kuat terasakan.
Kepergian Dean hanya membuat Suri semakin bingung. Jika Mirah pernah bilang ia tidak bisa berkelana keluar rumah karena energinya tersegel di sini, mengapa Dean bisa berkeliaran sesuka hati? Apa yang di atas memberinya hak khusus, karena Dean sedang berjuang membantu kekasihnya bangun?
Suri merasa, yang di atas bukan sekadar menunjuknya membantu kekasih Dean, tapi juga sekalian mengajaknya main tebak-tebakan.
Tak mau terlalu ambil pusing, Suri melanjutkan langkah. Begitu masuk rumah, suasananya begitu berbeda. Tidak ada bau-bau keberadaan Kenneth. Tak ada jejak keberadaan Claire. Aroma sirih Mirah pun lenyap sempurna. Seakan tiga makhluk itu tidak pernah ada di sini. Tidak pernah mewarnai hari-harinya dengan berbagai hal.
Suri menghela napas pendek. Kepalanya menoleh ke sisi kanan, pada bingkai lukisan seorang perempuan yang tergantung dengan sisi kiri miring ke bawah. Suri pernah mencoba membetulkan posisinya beberapa kali, tetapi lukisan itu akan kembali ke posisi miringnya keesokan paginya saat Suri mengeceknya kembali.
Dengan langkah pendek, Suri mendekat pada lukisan tersebut. Dipandanginya setiap goresan tinta di sana. Lukisan siluet perempuan dari sudut belakang itu hampir jadi satu-satunya benda di rumah yang auranya suram. Kesedihan, amarah, kebencian terhadap dunia, seakan tumpah-ruah di punggung perempuan bersurai legam tersebut. Ketika Suri memicingkan mata, mencoba mencari detail lain yang mungkin terlewat, ia merasa sosok perempuan di dalam lukisan itu telah terjebak cukup lama di sana, dan kini sedang mencari jalan keluar.
"Apa urusannya denganku?" gumam Suri kemudian. Meski tahu sudut miringnya akan kembali, ia tetap menggerakkan tangan membetulkan posisinya. Kemudian Suri beranjak. Mengayun langkah lesu, mendaki anak-anak tangga kayu yang akan berderit tiap kali kakinya menjejak.
...🍃🍃🍃🍃🍃...
Suri tidak begitu suka belajar. Nilai hanyalah formalitas untuknya. Tidak benar-benar mewakili kualitas diri sebagai manusia secara keseluruhan. Namun karena besok ada ulangan Biologi, di mana gurunya terkenal killer setengah mati, dia setidaknya ingin berusaha agar tidak perlu mengulang ujian di kemudian hari.
Maka di sinilah Suri sekarang. Duduk di meja belajar, siap mencerna beberapa hal dari buku Biologi tebal yang dipinjamkan secara cuma-cuma oleh perpustakaan sekolah. Halaman demi halaman sudah Suri balik. Suara gesekan antar kertas menjadi satu-satunya irama yang terdengar.
Selagi mencoba menghafal beberapa hal, Suri menyelipkan sedikit harapan. Semoga kipas angin di kelasnya sudah dibetulkan, supaya otaknya tidak semakin ngebul ketika mengerjakan soal. Jika tidak, Suri akan nekat minta bantuan Dean mengerjai ketua kelas bodoh dan bendahara kekasihnya. Untuk sekelas hantu gentayangan, kemampuan Dean oke juga. Daripada pusing memikirkan kenapa begini kenapa begitu, lebih baik Suri manfaatkan. Menjatuhkan penghapus kayu dari papan tulis kedengaran terlalu biasa. Mungkin dia bisa meminta Dean memecahkan jendela.
Ah, omong-omong soal Dean, pria itu belum kembali sejak tadi sore. Hantu-hantu lain juga tidak nampak batang hidungnya. Mereka seakan sekongkol meninggalkan Suri. Entah itu kabar baik atau buruk.
Suri berhenti membalik halaman buku. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar yang sengaja dibiarkan terbuka sedikit. Ia mencoba berkonsentrasi. Berupaya merasakan kehadiran Dean, yang mungkin saja sebenarnya sudah kembali, hanya saja belum menampakkan diri di depannya.
"Ah, sudahlah," Ia menyerah hanya dalam waktu singkat. Jika pun ingin, Dean pasti sudah muncul di hadapannya. Mereka sedang dalam misi juga, mustahil Dean akan tiba-tiba menghilang dan tidak kembali untuk melanjutkan rencana.
Suri kembali menarik pandangan. Ia coba enyahkan soal Dean dari kepala, kembali berusaha fokus menyerap informasi dari buku Biologi di hadapannya.
Srekkk
Srekkk
Srekkk
Halaman terus dibalik. Terkadang Suri berhenti cukup lama di salah satu bagian, untuk mengulang beberapa informasi sejak kosakata yang dia temukan terasa asing dikenali otak.
Bibir Suri berkomat-kamit, suara pelan lolos dari celah-celah bibir. Itu adalah metode yang kerap Suri gunakan untuk mengingat sesuatu. Ia percaya otaknya akan bekerja lebih baik ketika telinganya bisa mendengar informasi yang hendak diingat. Kadang saat tidak sedang malas, Suri juga akan menggunakan metode menulis.
"Baiklah, tidak terlalu sulit," gumamnya rendah.
Srekkk
Suri kembali membalik halaman. Namun ketika halaman yang dituju berganti, tangan Suri mendadak berhenti. Ia terdiam sesaat, bibirnya setengah terbuka, tenggorokannya tercekat. Di halaman buku itu, terdapat....
Bersambung.....