Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar Eleanor. Ia berdiri di depan cermin, mencoba menutupi bekas sembab di matanya dengan bedak tipis. Senyum kecil ia paksakan, meski sorot matanya masih lelah.
“Harus terlihat baik-baik saja…” gumamnya lirih sebelum akhirnya melangkah keluar.
Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi tercium hangat. Madam Casandra duduk dengan anggun di ujung meja, mengenakan gaun rumah berwarna lembut. Senyumnya merekah begitu melihat Eleanor datang.
“Selamat pagi, sayang. Kamu sudah tidur nyenyak semalam?” suaranya terdengar manis, seolah tamparan malam itu tak pernah ada.
Eleanor hanya menunduk sedikit, berusaha sopan. “Pagi, Bu…” suaranya lirih.
Daniel yang duduk rapi di kursinya langsung menoleh, memperhatikan wajah adiknya yang masih terlihat pucat. Ia tersenyum hangat, berusaha memberi semangat lewat tatapannya.
“Ela, ayo makan. Kamu harus sarapan yang banyak,” ucapnya lembut sambil mendorong piring berisi telur ke arahnya.
Sementara itu, Dominic duduk dengan posisi santai di kursinya, satu tangan menyandarkan kepala, satunya memainkan sendok. Tatapannya tajam, penuh ketidaksukaan pada pemandangan itu.
“Lucu juga ya, Bu…” suara Dominic memecah keheningan, sinis dan pelan tapi tajam. “Telapak tanganmu yang kemarin sempat mendarat di pipi Ela, pagi ini bisa berubah jadi sehangat itu.Sudah pura-puranya Bu?”
Suasana meja makan seketika menegang. Eleanor membeku, matanya melebar panik, sementara Daniel langsung menatap Dominic dengan tatapan peringatan.
Madam Casandra tersenyum kaku, wajahnya sedikit menegang tapi masih mencoba mempertahankan topengnya. “Dominic, sayang… kamu ini selalu salah paham. Ibu hanya ingin pagi ini berjalan damai.”
“Damai?” Dominic menyeringai miring, nada suaranya dingin. “Kalau definisi damai itu artinya pura-pura lupa sama tamparan kemarin sore… ya, damai banget memang.”
Eleanor buru-buru menunduk, menyuap roti kecil ke mulutnya, berharap suasana cepat reda. Daniel menepuk tangan Ela pelan di bawah meja, memberi sinyal agar ia tidak khawatir.
Tapi jelas, panas yang ditahan itu masih menggantung di udara, menyelimuti seluruh ruang makan Cromwel.
Eleanor buru-buru bangkit dari kursinya begitu sarapan selesai. “Saya berangkat dulu, Bu…” ucapnya singkat, suara pelan tapi jelas.
Ia melangkah cepat, ingin segera keluar dari ruang makan yang udaranya terasa menyesakkan. Namun, langkah terburu-burunya membuat ujung sepatunya tersangkut kaki meja.
“Ah—!”
Tubuh Eleanor hampir jatuh ke depan.
Refleks, Daniel dan Dominic langsung bergerak bersamaan dari kursinya.
“Ela!”
“Oi, hati-hati!”
Namun karena sama-sama gercep, mereka justru bertabrakan di sisi Eleanor. Daniel hendak meraih bahu adiknya, sementara Dominic mencoba menangkap lengannya, hasilnya, dua kakak kembar itu malah saling dorong dan nyaris jatuh sendiri.
Eleanor yang tadinya hampir jatuh, akhirnya bisa menahan dirinya dengan menopang meja. Ia buru-buru berdiri tegak lagi, pipinya memerah karena malu.
“Aku nggak apa-apa kok…” katanya pelan sambil tersenyum tipis, lalu merapikan rok seragamnya.
Daniel dan Dominic langsung saling melotot.
“Lo sih, nyerobot terus,” gerutu Dominic, nada ketus.
Daniel mendengus, menarik napas panjang. “Kalau kamu nggak asal gerak, aku udah pegang Ela dari tadi.”
Eleanor pura-pura tidak mendengar perdebatan itu, cepat-cepat berjalan keluar. Begitu sampai di depan rumah, ia melihat Pak Anton sudah menunggu dengan mobil hitam yang terparkir rapi.
“Pagi, Nona Ela,” sapa Pak Anton sambil membukakan pintu.
“Pagi, Pak. Maaf nunggu lama,” jawab Eleanor sopan sambil masuk ke mobil.
Pintu tertutup. Dari kaca jendela, Eleanor sempat melihat kedua kakaknya masih berdiri di ambang pintu, wajah mereka sama-sama kesal. Dominic menyalakan motornya dengan kasar, sementara Daniel merapikan dasinya, jelas sedang menahan emosi.
Dan di balik kaca mobil itu, Eleanor hanya bisa menghela napas panjang.
Mobil hitam berhenti di depan gerbang sekolah. Eleanor turun perlahan sambil merapikan seragamnya.
“Pak Anton, saya duluan ya,” katanya sambil tersenyum kecil.
Pak Anton mengangguk. “Iya, Nona Ela. Semangat belajarnya.”
Pintu mobil menutup, dan langkah Eleanor langsung menarik perhatian banyak pasang mata.
“Eh, itu kan yang kemarin dijemput sama cowok ganteng banget tuh!” bisik seorang siswi ke temannya.
“Gila, ternyata nggak cuma cakep, kaya juga. Anak baru kok bisa segitunya ya…” sahut yang lain sambil menyalakan kamera ponselnya.
Ela menunduk sedikit, berusaha menghindari tatapan orang-orang, tapi justru makin jadi pusat perhatian. Beberapa tatapan iri terasa menusuk punggungnya.
Begitu masuk koridor, Bella langsung muncul dari arah berlawanan.
“Lalaaa! Gue udah nungguin lo,” serunya riang sambil merangkul lengan Eleanor.
Ela tersenyum lega. “Makasih ya, Bell. Gue kira lo udah ke kelas duluan.”
“Mana bisa gue ninggalin lo sendirian jadi bahan tontonan mereka? Nggak rela gue,” jawab Bella dengan gaya lebay khasnya, bikin Ela sedikit tertawa.
Tapi kebersamaan itu buyar begitu Veronica melangkah menghadang mereka. Dengan senyum sinis, dia berdiri tegap, tangan terlipat.
“Eh, anak baru…” suaranya penuh sindiran. “Ini dia seorang Cinderella yang membuat satu sekolah heboh.” sambil bertepuk tangan
Eleanor terdiam, menunduk. Bella langsung maju setengah langkah. “Udah deh, Ver. Nggak usah mulai drama pagi-pagi.”
Tapi Veronica malah menyambar tas Eleanor dari pundaknya.
“Eh! Balikin!” suara Eleanor tercekat, panik.
Dengan tatapan puas, Veronica membuka resleting tas lalu menumpahkan isi dalamnya ke lantai koridor. Buku-buku, kotak pensil, dan bekal kecil berhamburan.
“Ups, jatoh,” katanya pura-pura polos, disambut tawa kecil gengnya yang berdiri di belakang.
Eleanor berjongkok buru-buru, mengumpulkan barang-barangnya dengan tangan gemetar. Bella juga ikut membantu, wajahnya merah menahan marah.
“Veronica, lo udah keterlaluan!” bentaknya.
Tapi Veronica tidak berhenti. Tangannya mencengkeram rambut Eleanor kasar, menjambaknya ke belakang.
“Lo gak cocok berada disini tau ngak?!” suaranya meninggi. Eleanor meringis kesakitan, matanya berkaca-kaca.
Dan sebelum Bella sempat menarik Veronica, gadis itu sudah menyiramkan sebotol air mineral ke kepala Eleanor. Seragam putihnya langsung basah, rambutnya menempel ke wajah, menambah tatapan kasihan sekaligus ejekan dari siswa-siswi yang menonton.
“Cocok banget lo kayak gini,” ujar Veronica puas, melempar botol kosong ke lantai.
Eleanor hanya bisa menggigit bibir, menahan tangis yang sudah siap pecah. Sementara Bella berdiri di sampingnya, wajahnya tegang.
“Udah cukup, Ver!” seru Bella, suaranya bergetar antara takut dan marah.
Tawa pecah di sepanjang koridor, terdengar jelas dan menusuk telinga Eleanor. Veronica belum puas hanya dengan menyiksa dirinya, matanya kini beralih pada Bella yang masih berusaha berdiri di samping Eleanor.
“Dan lo…” Veronica mendekat, menatap Bella dari atas ke bawah dengan penuh ejekan. “Sok jadi pahlawan banget sih, hah? Ngebela anak baru segala. Lo pikir lo siapa?”
Plak!
Tangan Veronica mendarat keras di pipi Bella. Suara tamparan itu menggema, membuat suasana semakin riuh. Bella terhuyung, memegang pipinya yang memerah.
“Veronica, cukup!” teriaknya dengan suara bergetar. Tapi Veronica justru terkekeh, meraih botol air lain yang dibawakan salah satu temannya, lalu menyiramkannya ke Bella tanpa ampun. Seragam Bella ikut basah, rambutnya berantakan menempel ke wajah.
Koridor langsung pecah dengan tawa. “Wah, basah kuyup tuh!”
“Sok jadi pahlawan kesiangan si!”
Suara-suara julid itu makin mengiris.
Eleanor, yang sudah selesai mengisi barang-barangnya kembali ke dalam tas dengan tangan gemetar, menatap Bella yang kini ikut jadi korban. Hatinya terasa remuk, tapi dia terlalu takut untuk melawan. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi.
Tanpa pikir panjang, Eleanor bangkit berdiri. Dengan langkah terburu-buru, ia berlari melewati kerumunan siswa yang menonton.
“Lala! Tunggu gue!” Bella berusaha mengejar, tapi Veronica segera menghadang dengan sengaja, membuat Bella tersandung dan hampir jatuh.
Eleanor terus berlari, detak jantungnya berpacu kencang. Nafasnya terengah, pandangannya buram karena air mata. Semua bisikan, semua tawa, semua tatapan itu membuntutinya sampai ia melewati koridor panjang.
“Lala!” suara Bella terdengar samar dari belakang, tapi Eleanor tidak berbalik.
Langkah kakinya akhirnya melewati pintu gerbang sekolah. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari semua itu. Dari tawa, dari ejekan, dari rasa sakit yang terus menghantui.
Langkah Eleanor akhirnya berhenti ketika pagar besi tua berwarna hitam itu berdiri di hadapannya. Perkuburan kota Olympus. Tempat yang jarang ia kunjungi, tapi entah bagaimana hari ini kakinya seakan menuntun sendiri ke sana.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, melewati deretan nisan yang berjejer rapi. Matanya sembab, sesekali ia usap dengan punggung tangan, tapi air mata itu selalu kembali jatuh. Pandangannya berkeliling, mencari nama yang paling ia kenal.
Sampai akhirnya ia berhenti. Di hadapannya berdiri sebuah nisan sederhana dengan ukiran nama yang membuat hatinya seketika runtuh.
Alexander Cromwel.
Ayah tirinya.
“Ayah…” suara Eleanor pecah begitu saja. Ia menjatuhkan diri, berlutut di depan nisan itu, tangannya bergetar saat menyentuh ukiran nama tersebut.
Dengan tubuh yang lelah dan hati yang remuk, Eleanor memeluk nisan itu seolah sedang memeluk seseorang yang nyata. Air matanya jatuh deras, membasahi batu dingin yang tak bisa membalas pelukannya.
“Ayah, Ela capek…” suaranya lirih, tercekat di tenggorokan. “Setiap hari rasanya Ela makin sendirian… Ibu… Ibu nggak pernah lihat Ela kayak anaknya sendiri. Dia marah, dia mukul, dia nampar…” Eleanor menutup wajahnya, bahunya bergetar hebat. “Ela berusaha kuat, Yah. Tapi hari ini… Ela bener-bener nggak kuat lagi.”
Ia terdiam sejenak, hanya tangisnya yang terdengar di antara sunyi perkuburan itu.
“Kenapa, Yah? Kenapa semua harus gini?” lirihnya pelan, hampir seperti bisikan. “Kalau Ayah masih ada… Ela yakin, Ela nggak akan sampai kayak gini.”
Eleanor menundukkan kepala di atas nisan, memejamkan mata seolah berharap ada kehangatan yang bisa kembali ia rasakan. Tapi yang ada hanyalah dingin. Dingin batu. Dingin kesepian.
Angin sore berhembus pelan, seolah ikut mendengar cerita yang tak pernah bisa tersampaikan lagi pada orang yang paling ia rindukan.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭