Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Private Dining
Meski Diaz menyuruhnya santai saja menyikapi dinner, akan tetapi Tya tidak tinggal diam. Setelah aksi tes sofa bed berakhir, ia memanfaatkan waktu luang dengan membuka halaman Google. Mulai membaca penjelasan dan tutorial table manner jamuan makan malam. Nonton di kamar? Tentu tidak. Nontonnya di bangku taman. Setelah melihat Diaz masuk ke kamar mandi, ia bergegas melompat dari sofa. Mengganti mukena dengan jilbab bergo lalu lari terbirit-birit meninggalkan ruangan yang menjadi kamarnya. Takut nanti matanya ternoda oleh pemandangan pria yang memakai handuk yang melilit di pinggang. Risih.
"Duduk tegak. Hindari meletakkan siku di meja atau bersandar terlalu santai. Hm...oke-oke. Duduk tegak gaya robot kali ya. Eh kaku dong kalau gitu mah. Tegak tapi rileks kali ya." Tya tipe orang yang tidak cukup mencerna pelajaran dalam hati. Lebih suka dilisankan, bicara sendiri.
"Setelah duduk, letakkan serbet di pangkuan. Dan gunakan untuk menyeka mulut secara lembut. Setelah makan, lipat serbet secara rapi dan letakkan di sisi kiri piring. Hm...baik, cikgu."
"Jangan meletakkan tas, ponsel, atau barang pribadi lainnya di atas meja. Lah...terus simpan di mana tasnya. Di kolong meja? Di kolong kursi?" Tya menggaruk pelipisnya., mengembuskan napas panjang. "Mau makan dengan keluarga sultan mesti ribet gini. Mana pasti hidangannya seuprit-seuprit tapi piringnya gede."
Nama 'Daddy Cumi' tiba-tiba tampil di layar, menghalangi pandangan Tya yang tengah membaca. Sejenak dibiarkan dulu tetapi dering panggilan masuk berlangsung panjang. "Halo, Mas."
"Di mana?"
"Di taman depan abis nyiram tanaman."
"Sini ke kamar dulu!"
Panggilan masuk sudah berakhir sebelum Tya sempat menyahut.
"Dih, si bos." Tya mengepalkan tinju ke arah layar ponsel sambil menggeram. Segera beranjak menuju teras yang pintunya tertutup. Jika tadi melenggang di dalam rumah tidak berpapasan dengan orang-orang. Kini pun sama. Sepertinya semua orang sedang berada di kamar masing-masing.
"Ada apa, mas bos?" Tya menyapa Diaz yang berada di sofa kamar sedang memangku laptop. Terlihat sudah segar dan mengenakan kaos putih berpadu celana pendek selutut.
"Aku mau pakai baju yang digantung di pintu lemari. Kau ada baju warna senada gitu nggak? Biar matching," sahut Diaz tanpa menatap lawan bicara.
"Warna apa emang?"
"Lihat aja sendiri."
"Hih. Pengen ku ledek itu si Cumi Dad tapi takut denda." Tya menggerutu sambil berlalu.
Diaz mendongak. Menatap tajam punggung Tya yang hampir sampai pintu walk in closet. "Hei...ngomel apa? Aku dengar lho." Tapi tanggapan yang didapatnya hanya angkat bahu tanpa menoleh ke belakang.
Tya melihat baju dan celana Diaz yang tergantung di gagang pintu lemari. Kemeja slimfit hitam lengan panjang berpadu celana panjang warna krem. Ia beralih membuka lemarinya.
"Mas, lihat dulu bentar." Tya sudah berada di hadapan Diaz dengan menenteng dua gantungan baju di kedua tangannya.
Diaz mendongak. "Yang kiri."
"Belum juga nanya." Tya mendecak. "Tapi beneran nih aku pakai yang kiri? Menurutku yang kanan lebih cocok deh."
"Yang kiri, no debat."
"Alasannya?"
"Kalau udah suka memangnya perlu alasan?"
"Siap, mas bos." Tya memilih berlalu karena sepertinya Diaz sedang serius dengan pekerjaannya sehingga nada bicaranya terdengar sensi. Kembali ke 'kamarnya' bersamaan dengan ponselnya berbunyi kumandang adzan Maghrib.
Andainya yang bilang gitu My R sambil menatap hangat, aku pasti akan meleleh. Hm, apa kabarnya dia ya.
***
Mobil yang dikemudikan oleh Husain telah tiba di hotel bintang lima yang dituju. Sliding door otomatis terbuka. Tya dan Ibu Suri turun bersamaan dari jok penumpang tengah, diikuti oleh Diaz yang duduknya di depan.
"Kalian pegangan tangan dong." Suri menegur Diaz dan yang berjalan di belakangnya dengan jarak renggang yang cukup jauh. Tanpa perlu menoleh, bisa terlihat di cermin besar saat baru saja memasuki lobi hotel.
"Nanti aja di dalam, Bu. Aku mau gandeng Ibu aja biar keliatan seperti menantu dan mertua akur." Tya menggandeng lengan Ibu Suri tanpa menunggu jawaban persetujuan dulu. Dan terbukti sang mertua tidak keberatan. Terbukti dari lirikan penuh binar serta senyum yang terbit.
Diaz diam sebagai bentuk persetujuan sejak memasuki lift sampai berjalan memasuki restoran, ia berjalan tenang mengawal di belakang.
"Maaf ya...kami agak telat datang." Dengan penuh keanggunan dan tutur kata yang tenang, Suri menghampiri dulu Hilman yang duduk di ujung meja sebelah kiri. Tempat duduk yang netral.
"Telat tujuh menit masih bisa ditoleransi," sahut Hilman yang lalu mencium kedua pipi Suri.
Diaz mulai merengkuh pinggang Tya, melangkah mengikuti gerak Ibu—menyalami Ayah Hilman lalu ke Mama Selly. Dan begitu berhadapan dengan Boby serta Leony, mulai keluar tanduk tak kasat mata yang menguarkan aura persaingan lewat tatapan mata.
"Ayah, aku pengen duduknya deket kakak ipar. Biar makin akrab gitu. Boleh kan, Yah?" Leony memohon dengan gaya merajuk.
"Nggak sekarang, Leon. Ini family first dinner. Aku lagi pengen deket sama istri. Next time kau bisa ajak Kak Tya hang out. Bebas mau shopping, mau nonton, mau apa juga." Diaz lebih dulu menyahut sebelum ayahnya yang suka memanjakan Leony menjawab tanpa berpikir panjang.
"Benar apa kata kakakmu. Nanti aja pas Ayah sama Diaz ke Kalimantan, Leon bisa tuh jalan-jalan sama Tya."
"Oke, Yah." Meski menyahut diiringi senyum manis. Namun sepersekian detik melintas ekspresi masam karena rencananya terancam gagal.
"Tinggal kabarin aja kapan waktunya, Dek. Tapi jangan dadakan ya. Moga nanti kita punya waktu luang yang sama." Tya memasang wajah ramah serta murah senyum. Tetapi dalam hati ingin tertawa melihat tanggapan Leony yang mengangguk dan tersenyum dipaksakan.
Semua orang duduk di kursi yang sudah diperuntukkan dalam konsep private dining. Ibu Suri duduk segaris dengan Diaz dan Tya. Di seberang meja ada Selly, Boby serta Leony. Hidangan pembuka mulai disajikan oleh dua orang waiters. Yang setelah selesai bukannya pergi, tetapi berdiri siaga di sisi meja berbeda dengan kedua tangan istirahat di tempat. Menunggu chef yang sedang mempersiapkan main course di ruangan yang sama.
Tya menatap sajian di meja. Sesuai info dari Diaz, harus reservasi menu hidangan pembuka dan penutup sebelum berangkat. Agar saat tiba, tidak lagi menunggu lama. Terkhusus main course, semuanya harus sama sesuai aturan Ayah Hilman di mana setiap kali dinner dalam rangka syukuran, menunya wajib steak wagyu dengan kualitas tertinggi A5.
Inikah opening nge-treat like a queen?
Tya menatap gerak slow motion Diaz yang mengisi gelas untuknya dengan air dari botol kaca.
"Thank you, sayang." Tya mengelus rahang Diaz. Senyumnya terlihat tulus dan manis berpadu tatapan hangat.
"My pleasure, Ayang." Diaz menangkap tangan Tya yang akan turun dari rahangnya. Memberi kecupan di punggung tangan istrinya itu.
Aduh ini cium tangan denda jangan ya? Ah, nggak apa-apa deh gratis. Kalau pipi dan sekitarnya baru deh aku tilang.
"Appetizer Ayang salad buah kan ya?" Diaz mengambil piring berisi salad buah di tengah meja setelah Tya mengiyakan.
Tya duduk tegak dengan kedua tangan berada di pangkuan. Mata mengedip menatap menu pesanannya yang ada di hadapan.
Ini si Joko kalau lihat pasti ketawa jahat. Nganggap aku pelit ngasih makan. Piring gede tapi isinya secongclot di tengah. Menang estetik aja, kenyang kagak. Cuma nyangkut di tenggorokan.
heeeemmmm jd penasaran bgaimn tanggapan ayah Hilman bgtu tau anak sulung ny yg manja itu telah berperilaku buruk terhadap mantu kesayangan nya itu.
bukannya lecet tapi bekasnya ntar gak ilang2.
mas kudis sdh mulai menodai kepolosan tya. sengaja amat jiwa ingin menggodanya.