Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menghindari mata pemburu
Langit mulai memerah ketika tim kecil itu mulai bergerak perlahan meninggalkan pantai. Pak Jono terbaring di atas tandu darurat yang terbuat dari dua batang kayu dan sehelai sarung yang dikencangkan seadanya.
Tandu itu dipikul bergantian oleh dua awak kapal yang tersisa.
Jefri dan gilang, dengan Kapten rahmat sesekali membantu ketika medan mengizinkan.
Tubuh Pak Jono demam,napasnya berat dan kadang mengigau tak jelas. Kulitnya terlihat pucat keabu-abuan dengan luka bakar di punggung yang mulai membusuk. Setiap gerakan tandu membuatnya mengerang pelan, namun ia tak lagi memiliki cukup tenaga untuk berteriak.
"Pelan... pelan dikit lang, dia panas banget," ujar jefri, menahan napas, bahunya nyeri karena beban.
“Kalau kita pelan terus, kita malah ketahuan. Kita gak tahu ada berapa banyak suku itu di dalam hutan,” jawab gilang dengan suara pelan, matanya terus menyapu sekeliling.
Di belakang mereka, garis pantai sudah tak terlihat. Mereka mulai masuk ke dalam wilayah hutan tropis yang rimbun dan lembap. Ranting-ranting patah di bawah langkah kaki mereka, suara serangga dan burung-burung asing menciptakan simfoni yang mengganggu ketenangan batin.
Kapten rahmat mengambil posisi paling depan. Tangan kirinya masih dibalut kain karena luka sayatan akibat anak panah sebelumnya, tapi ia tetap membawa pipa besi yang sebelumnya mereka gunakan untuk melawan pria berpakaian kulit kayu,yang diduga anggota suku kanibal.
Sesekali mereka berhenti. Bukan karena lelah, tapi karena terdengar suara langkah kaki lain, atau teriakan samar dari kejauhan. Suara yang seolah sengaja dibuat agar mereka tahu, mereka sedang diburu.
Tempat Berhenti Sementara
Menjelang malam, mereka menemukan sebuah celah batu besar yang cukup lebar untuk dijadikan tempat berlindung sementara. Letaknya tersembunyi di balik semak berduri dan akar pohon besar yang menggantung seperti tirai alami.
"Bawa ke dalam. Kita istirahat sebentar,” kata Kapten.
Dengan hati-hati, mereka memindahkan tandu ke atas daun-daun kering. Pak Jono masih mengigau, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
"Dia butuh antibiotik... atau air bersih setidaknya," gumam gilang.
“Apa kamu lihat apotek di sini?” jefri membalas lirih.
Kapten rahmat mendekati dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Pak Jono.
"Demam tinggi. Kalau ini karena infeksi luka terbuka, dan kita gak punya obat… kita harus segera cari sesuatu."
“Kalau kita nyalain api, bisa bikin infus air pakai baju dalem saringan terus direbus, at least buat bersihin lukanya,” usul jefri.
“Tapi api bisa menarik perhatian mereka,” jawab gilang cepat.
Mereka saling berpandangan. Lelah dan panik tampak jelas di wajah masing-masing. Tapi mereka tahu, jika tidak berbuat sesuatu malam ini, Pak Jono mungkin takkan bertahan sampai besok.
Perjalanan Menyelinap Mencari Makanan
Damar menawarkan diri untuk keluar sebentar mencari air dan makanan.
“Gue hafal jalur tadi. Gue balik ke area barat laut itu, ada batang pisang, mungkin bisa diambil,” katanya sambil mengaitkan parang ke pinggang.
“Jangan lebih dari setengah jam. Bawa daun pisang sekalian, bisa buat alas atau penutup”
kata Kapten sambil memberi isyarat pada Bahrul untuk menjaga Pak Jono.
Dengan langkah cepat tapi hati-hati, Damar melesap ke kegelapan.
Waktu berlalu lambat.
Pak Jono mengigau pelan, “bu… ibuuu… maafin bapaa… jangan jual gorengan di bawah tiang listrik lagi… itu… itu bahaya…”
Jefri menatapnya dengan mata merah. Ia tahu Pak Jono sedang berada di ambang batas kesadaran, menggenggam sisa memori dari rumah dan keluarganya.
“Ayo, Pak Jono… bertahan, ya. Buat anak-anak, buat istrimu…”
Jejak-jejak di Luar
Tak lama setelah Damar pergi, Bahrul menyadari sesuatu: ada jejak kaki lain yang tak dikenali. Ukurannya kecil,tidak seperti milik Damar atau mereka bertiga.
Kapten menyadarinya juga. “Cepat bungkus luka Jono lebih rapat. Siapkan pipa besi itu.”
Mereka menahan napas, bersembunyi di balik bayang-bayang gua alami itu.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah... lalu suara napas berat… dan lalu… hening.
Kapten mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk tidak bergerak.
Lalu…
“Woi! Ini lu ngap” suara jefri langsung dibungkam Kapten.
Itu bukan Gilang.
Itu sosok dengan kulit hitam mengkilap, tinggi besar, dan tangan memegang tombak panjang. Tubuhnya penuh goresan putih seperti ukiran ritual. Matanya menyala dalam gelap. Dari balik semak, ia mengendus… seperti binatang.
Tepat ketika ia mendekat, Kapten melempar batu ke arah yang berlawanan.
Sosok itu menoleh, lalu melesat mengejar sumber suara tersebut.
Kapten menggenggam pipa besi lebih erat.
“Dia sendirian. Tapi artinya mereka sedang menyisir area,” bisiknya.
Kembalinya gilang
Gilang kembali tak lama kemudian, kelelahan, dengan seikat umbut pisang, beberapa biji mirip kelapa kecil, dan sebotol air dari batang bambu yang ia temukan.
Wajahnya panik ketika melihat Kapten sudah bersiaga.
“Ada yang ngikutin aku. Dari jauh. Aku gak berani mutar.”
“Dia ke sini tadi. Tapi udah gua alihin.”
“Kita gak bisa tetap di sini.”
“Besok pagi, kita harus naik ke dataran lebih tinggi. Cari goa atau tempat lebih aman. Tapi sekarang, kita bantu Pak Jono dulu.”
Perawatan Darurat
Dengan segenap kemampuan seadanya, mereka membuat api kecil, tersembunyi di balik batu dan menggunakan daun-daun kering sebagai bahan bakar. Air dipanaskan menggunakan kaleng sarden bekas, dibersihkan dan disaring. Dengan kaos dalam yang disobek, mereka membersihkan luka Pak Jono semampunya.
Jeritan kecil keluar dari mulut Pak Jono. Tapi perlahan, nafasnya membaik. Demamnya sedikit turun meski masih jauh dari aman.
Gilang mengelus kening Pak Jono sambil berkata lirih, “Tahan, Pak… kita belum nyerah…”
Menatap Langit
Malam itu mereka bergantian berjaga.
Langit malam di pulau itu begitu pekat. Tak ada cahaya buatan, tak ada suara kota,hanya alam liar yang memandang balik dengan mata-mata tersembunyi.
Kapten Haris menatap bintang di langit, dan mendesah pelan.
“Kalau besok kita gak nemu tempat lebih aman, dan Jono makin parah… kita harus buat keputusan.”
“Jangan ngomong gitu dulu, Kapten.”
“Saya realistis, jef. Kita udah kehilangan separuh kru, dan kita cuma bawa satu parang, satu pipa, dan sebotol air. Suku itu gak akan berhenti sampai semua dari kita… jadi korban.”
Hening menyelimuti.
Hanya suara angin dan dengus napas Pak Jono yang masih bertahan.
Di tengah malam itu, suara aneh kembali terdengar dari kejauhan. Seperti seruan... atau jeritan... dari makhluk yang tidak bisa dikenali.
Dan dari kejauhan... mata-mata merah kecil mulai bermunculan di antara pepohonan.
Pak Jono menggeliat pelan, membuka mata setengah sadar, dan berbisik dengan suara serak:
“Mereka… datang lagi…”
Matahari mulai condong ke barat,menyisakan sinar jingga di antara pepohonan tinggi dan semak-semak lebat.
Suasana di dalam hutan terasa lengang, hanya suara jangkrik dan desir angin yang bersahut-sahutan, menjadi musik sunyi yang menyelimuti pelarian mereka.
Pak Jono terbaring di atas tandu darurat yang mereka buat dari dua batang kayu dan sarung yang tersisa. Sejak semalam, demamnya menurun drastis. Nafasnya tidak lagi tersengal, dan meskipun masih lemah, ia sudah bisa membuka mata dan menggerakkan tubuhnya sedikit.
“Air…,” bisiknya lemah.
Gilang dengan sigap menuangkan air hujan yang mereka tampung semalam ke dalam tempurung kelapa, lalu menyodorkannya ke mulut Pak Jono.
“Pelan-pelan Pak. Minum sedikit dulu,” ucap Gilang lembut.
Pak Rahmat, sang kapten, duduk bersandar di dekat pohon besar,mengangguk puas melihat kemajuan kondisi Pak Jono.
“Syukurlah. Kalau terus begini, kita bisa lanjut bergerak besok.Terlalu berisiko tinggal terlalu lama di satu tempat.”
Jefri mengangguk sambil membersihkan luka Pak Jono yang mulai mengering.
“Saya rasa besok Pak Jono sudah bisa jalan dengan bantuan. Tapi kita tetap harus hati-hati. Kita belum tahu seberapa jauh suku kanibal itu menyisir wilayah hutan.”
Perkembangan yang Menjanjikan
Keesokan harinya, langit tampak sedikit mendung namun suasana hutan tetap terasa pengap. Pak Jono sudah bisa duduk dan bahkan berdiri perlahan dengan bantuan tongkat kayu yang dibuatkan Gilang.
“Rasanya seperti punya kaki kayu,” keluhnya, tapi senyum tipis mengembang di wajahnya. “Tapi masih bisa gerak. Itu yang penting.”
Dengan semangat yang mulai pulih, mereka pun melanjutkan perjalanan perlahan, menyusuri aliran sungai kecil yang mereka temukan sehari sebelumnya.Jalanan setapak yang mereka lalui dipenuhi akar-akar besar dan tanah becek. Mereka harus terus berhenti setiap beberapa ratus meter agar Pak Jono bisa beristirahat.
Selama perjalanan, mereka menemukan beberapa tanaman dan buah liar yang bisa dimakan. Bahkan Jefri sempat menemukan batang pohon muda yang getahnya bisa digunakan untuk mengobati luka.
“Kita beruntung,” kata Gilang sambil membagikan buah kecil berwarna ungu ke tangan rekan-rekannya. “Alam masih berpihak.”
Pak Jono mengangguk pelan. “Kalian semua luar biasa. Kalau bukan karena kalian, mungkin aku sudah dikubur di pasir pantai itu.”
Temuan Mengejutkan
Saat sore mulai menjelang, Jefri yang berjalan di depan tiba-tiba berseru, “Eh! Lihat ini!”
Dari balik semak di tepi sungai, ia menarik sebuah botol kaca besar yang tampak kusam. Tutupnya terikat rapat dengan kawat tembaga. Di dalamnya tampak gulungan kertas.
“Botol pesan?” tanya Gilang heran. “Siapa yang bisa kirim beginian di tempat kayak gini?”
“Buka, cepat!” kata Pak Rahmat.
Dengan hati-hati, mereka membuka tutup botol tersebut. Kertas di dalamnya lembap, tapi tulisan masih terbaca. Huruf-hurufnya ditulis tangan, menggunakan bahasa Inggris. Pak Rahmat membacanya keras-keras dan langsung menerjemahkannya:
> “Kami bertiga selamat dan sekarang tinggal di suatu pemukiman tradisional. Mereka berbeda dengan suku yang berada di pantai dan lebih terbuka kepada kami. Mereka ada di tengah pulau.”
Semua terdiam. Gilang menatap botol itu seolah berharap bisa keluar informasi lebih banyak darinya.
“Ini...berarti bukan cuma kita yang selamat,” ujar Jefri, matanya berbinar.
“Dan tampaknya ada dua jenis suku di pulau ini,” kata Pak Rahmat. “Yang satu itu kanibal dan brutal. Yang satu lagi... mungkin lebih beradab.”
“Kapten, kita harus ke sana. Mungkin mereka bisa bantu kita keluar dari sini,” ucap Gilang.
Pak Rahmat mengangguk pelan. “Kalau benar ada pemukiman yang aman di tengah pulau, itu harapan terbaik kita.”
Menuju Tengah Pulau
Mereka memutuskan mengikuti arah sungai yang disebutkan dalam pesan. Aliran air mengalir ke barat daya, dan mereka sepakat akan menyusurinya ke arah dalam pulau. Mereka bergerak perlahan, membuat penanda di pepohonan dengan pisau agar tidak kehilangan arah kembali.
Sepanjang perjalanan, mereka menemukan beberapa tanda kehidupan: kulit pisang yang belum menghitam, abu sisa api unggun, bahkan karung plastik bertuliskan nama perusahaan kapal mereka, “Sukabumi Jaya Fishing Co.”
“Ini milik kita,” kata Gilang sambil menunjuk karung itu.
“Berarti mereka baru saja lewat sini,” tambah Jefri.
Pak Rahmat mengangguk. “Kita tidak jauh dari mereka.”
Mereka terus berjalan hingga malam menjelang. Mereka membangun tempat peristirahatan darurat dari dedaunan dan dahan pohon. Malam itu terasa lebih hangat dibanding sebelumnya, bukan karena suhu, tetapi karena harapan yang kini mulai tumbuh di hati mereka.
Pak Jono duduk bersandar di pohon, menatap bintang-bintang yang mulai muncul.
“Kalau kita bisa keluar dari sini,” katanya pelan, “aku mau pulang dan peluk anak-anakku lama-lama.”
Gilang menoleh, tersenyum. “Pasti bisa, Pak. Kita sudah terlalu jauh untuk menyerah.”
Pak Rahmat memandang api unggun kecil di hadapannya. Dalam hati, ia berdoa. Semoga pesan dalam botol itu benar. Semoga mereka memang tidak sendirian.