NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nafas Yang Terenggut

Suasana di dalam mobil Leonhart terasa seperti perangkap. Sunyi, mencekam, dan penuh udara panas tak kasat mata yang berasal dari emosi yang belum sempat diucapkan. AC menyala, tapi tak cukup mendinginkan ketegangan yang menggumpal di antara mereka.

Lana menatap ke luar jendela, mencoba menghindari sorot mata pria di sebelahnya. Tapi ia bisa merasakan intensitas tatapan itu, tajam dan penuh luka. Bukan luka biasa,melainkan luka yang dibalut ego, dendam, dan obsesi. Luka yang tak pernah benar-benar sembuh, karena tidak pernah benar-benar dipahami.

"Kenapa kamu datang ke kantor Arvino?" tanya Leon akhirnya, suaranya pelan tapi sarat tekanan.

Lana menelan ludah. Suaranya nyaris tenggelam oleh degup jantungnya sendiri. “Aku cuma... dia hanya menawarkan bantuan. Aku butuh pekerjaan.”

“Bantuan?” Leon mendengus pelan, penuh sinisme. “Atau kamu memang butuh seseorang yang memujamu tanpa syarat?”

Cengkeramannya pada setir mengencang, buku-bukunya memutih, urat tangannya menegang. Mobil melaju lurus di bawah langit yang mulai mendung, awan kelabu menggantung seperti pertanda akan badai.

Kata-kata itu seperti cambuk. Lana menoleh cepat, matanya memerah karena amarah yang tertahan. “Jangan menghina niat baik orang lain hanya karena kamu tidak bisa mencernanya dengan kepala dingin.”

Leon tersenyum sinis, dan untuk sesaat, senyuman itu lebih menyakitkan daripada teriakan. “Kepala dingin? Lana, kamu lupa siapa aku? Aku tidak pernah bermain dingin, apalagi saat menyangkut kamu.”

Ia menoleh sebentar, menatap wanita yang pernah ia peluk dengan seluruh jiwanya. Tapi kini, di antara mereka hanya ada jurang curiga dan kesalahpahaman.

Ketegangan itu terasa seperti api yang menyala di ruang sempit. Mobil terus melaju, tapi suasana seolah diam di tempat. Setiap kata, setiap napas, penuh dengan kemarahan dan kepedihan yang mendidih.

Lana menahan napas. Tapi hatinya berdebar hebat, bukan karena takut... melainkan karena kebingungan akan perasaan yang selama ini dia tahan.

Ia pernah mencintai pria ini. Bahkan mungkin, sebagian dirinya masih menyimpan sisa-sisa cinta itu. Tapi yang membuatnya gentar adalah bentuk cinta Leon,liar, posesif, dan menyakitkan.

“Berhenti di sini,” katanya tiba-tiba.

Leon menoleh cepat. “Apa?”

“Berhenti. Aku tidak mau ikut kamu malam ini.”

Leon menekan rem perlahan, tapi belum berhenti. “Kamu pikir kamu bisa kabur dariku setelah apa yang terjadi?”

“Kabur? Aku tidak kabur,” Lana menatapnya tajam. Sorot matanya bukan lagi sorot perempuan yang takut kehilangan, tapi sorot perempuan yang mulai mencintai dirinya sendiri. “Aku hanya ingin menyelamatkan diriku sendiri.”

Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Hujan rintik mulai turun, menyentuh kaca depan seperti tangis yang tidak sempat dikeluarkan. Leon menatap Lana. Lama. Hening. Tak ada suara selain detak jam dashboard dan hujan yang makin deras.

“Aku tidak tahu bagaimana mencintai dengan benar, Lana,” ucapnya perlahan. “Yang aku tahu, aku ingin kamu. Sepenuhnya. Tanpa syarat. Tanpa jeda.”

Lana hampir saja meleleh. Kata-kata itu menyentuh sisi rapuh dalam dirinya. Tapi ia menguatkan hatinya.

“Dan aku ingin dicintai dengan sehat,” katanya, matanya berkaca-kaca. “Bukan dijadikan milik, bukan dijadikan alat pelampiasan dendam masa lalu.”

Ia membuka pintu dan turun dari mobil sebelum Leon bisa menjawab.

Hujan membasahi tubuhnya saat ia berjalan cepat di trotoar. Tapi ia tidak peduli. Tangisnya tercampur dengan gerimis, menyatu dengan gemuruh dalam dadanya.

Langkahnya goyah, tapi ia tahu satu hal pasti,ia tidak bisa terus menjadi bayangan di dalam hidup pria itu. Ia bukan milik siapa pun. Bahkan bukan milik masa lalunya sendiri.

Beberapa langkah kemudian, ia berhenti.

Sepatunya basah, rambutnya menempel di wajah, dan tubuhnya mulai menggigil. Tapi anehnya, di tengah semua kekacauan itu... ia merasa lebih bebas dari sebelumnya.

Ia ingat dulu bagaimana ia menunggu-nunggu Leon menghubunginya. Bagaimana ia mendewakan perhatian sekilas, memaklumi kemarahan, menutup mata pada perlakuan yang membuatnya merasa kecil.

Tapi sekarang? Lana bukan gadis lemah yang dulu. Ia wanita yang sudah terlalu lama hidup dalam sangkar cinta yang salah.

Tiba-tiba sebuah payung terbuka di atas kepalanya. Lana menoleh cepat.

Arvino berdiri di sana, tersenyum lembut, seolah alam semesta memberinya jeda untuk bernapas. Wajahnya tenang, tak ada tekanan, tak ada luka lama. Hanya kehadiran yang terasa... menenangkan.

“Aku rasa kamu butuh tempat berteduh,” ucapnya.

Lana menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa... aman.

Arvino tidak bicara banyak. Ia hanya mengangkat payung lebih tinggi dan berjalan di samping Lana. Langkah mereka pelan, menyusuri trotoar yang becek, tapi tak satu pun dari mereka tergesa.

“Aku lihat dari jendela. Aku tahu kamu akan jalan kaki, dan... entah kenapa, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja,” ujar Arvino pelan.

Lana mengangguk. “Terima kasih. Aku... aku cuma butuh waktu buat mikir.”

Mereka berhenti di bawah kanopi toko yang tutup. Arvino melipat payungnya dan menatap Lana.

“Kamu gak perlu cerita kalau belum siap. Tapi aku ada di sini kalau kamu butuh seseorang yang benar-benar mendengarkan. Bukan menuntut.”

Kalimat itu membuat mata Lana panas. Betapa sederhana kedengarannya, tapi terasa sangat langka.

“Selama ini... aku selalu jadi pendengar. Tapi gak pernah benar-benar punya tempat untuk bersandar.”

Arvino tersenyum tipis. “Mungkin karena kamu belum bertemu orang yang cukup sabar untuk jadi tempatmu pulang.”

Diam-diam, kata-kata itu menusuk tepat di tempat luka Lana menganga.

Hujan masih turun. Tapi di bawah kanopi itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lana merasa dilihat... bukan karena siapa dia bagi orang lain, tapi karena siapa dia sebenarnya.

Dan di dalam mobil yang tertinggal beberapa meter di belakang, Leon masih duduk kaku.

Ia melihat semuanya. Melihat wanita yang dia cintai berjalan bersama pria lain, dengan damai yang tak pernah ia berikan.

Tangannya mengusap wajahnya yang dingin karena AC. Tapi hatinya justru panas, terbakar.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Leon merasa... kalah. Dan bukan hanya karena kehilangan Lana, tapi karena akhirnya ia sadar, cinta bukan soal memiliki.

Cinta, adalah soal melepaskan,ketika kau tahu, kau tak pernah benar-benar pantas memilikinya.

Leon memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan. Hujan terus mengguyur kaca depan mobil, mengaburkan pandangan, tapi tidak cukup untuk menghapus bayangan Lana yang perlahan menjauh bersama pria lain.

Dalam diam, ia mengingat kembali bagaimana dulu ia mencintai Lana. Cinta yang penuh hasrat, tetapi tanpa kendali. Ia selalu ingin dekat, ingin tahu, ingin memeluk, ingin menguasai. Ia mengira, itulah cinta. Tapi malam ini, melihat Lana melangkah menjauh dari dirinya,bukan karena benci, tapi karena ingin bertahan,ia mulai ragu,apakah selama ini yang ia beri hanyalah bentuk lain dari luka?

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari tim keamanannya masuk. Tapi Leon tak segera membacanya. Tatapannya masih terpaku ke arah Lana yang sudah menghilang di balik rintik hujan dan kanopi toko.

Seluruh tubuhnya terasa beku. Tapi benaknya justru terbakar oleh satu rasa, kesepian.

Bukan karena kehilangan Lana sepenuhnya, tapi karena ia tak tahu lagi siapa dirinya tanpa perasaan memiliki atas wanita itu.

Dalam sekejap, dunia yang selama ini ia bangun dari kekuasaan dan kontrol, mulai terasa hampa. Dan di titik itulah, Leon sadar... ia bukan kehilangan Lana karena Arvino. Ia kehilangan Lana karena dirinya sendiri.

Sementara itu, di bawah kanopi toko yang basah, Lana merapatkan jaketnya. Hujan menyisakan aroma tanah basah dan aspal yang menguap, memeluk udara malam yang sejuk.

Arvino meliriknya. “Kamu menggigil.”

“Aku baik,” jawab Lana, walau nadanya lemah. “Hanya... tubuhku belum terbiasa berjalan menjauh dari zona nyaman yang selama ini sebenarnya menyakitkan.”

Arvino menatapnya, matanya teduh. “Terkadang, butuh keberanian luar biasa untuk meninggalkan sesuatu yang membuat kita terluka... hanya karena kita sudah terbiasa tinggal di dalamnya.”

Lana mengangguk pelan. Kata-kata itu seperti memeluk bagian dalam dirinya yang telah lama membeku.

“Aku takut,” bisiknya.

“Takut apa?” tanya Arvino lembut.

“Takut sendiri. Takut kalau nanti aku salah lagi. Takut kalau aku cuma berpindah dari satu kekecewaan ke yang lain.”

Arvino tidak segera menjawab. Ia mengambil nafas panjang, lalu menatap Lana dalam-dalam.

“Kita semua pernah salah dalam memilih. Tapi bukan berarti kita gagal dalam hidup. Kadang... kita hanya butuh orang yang cukup sabar untuk menyembuhkan luka itu, bukan menggantinya dengan luka baru.”

Lana menunduk. Hujan sudah mulai reda, tapi air matanya masih menetes.

“Kalau kamu mau,” lanjut Arvino, “kamu bisa ikut aku sebentar. Ke rumahku. Gak ada yang aneh. Hanya tempat tenang, agar kamu bisa istirahat. Biar aku membuat teh hangat untukmu.”

Lana menatapnya. Ia bisa melihat ketulusan dalam mata Arvino, sesuatu yang tak pernah benar-benar ia dapat dari Leon,ruang untuk bernafas.

Ia mengangguk pelan. “Oke.”

Dan mereka pun mulai melangkah, meninggalkan kanopi, menuju mobil Arvino yang terparkir beberapa meter dari sana. Langkah mereka ringan, meski genangan air menyambut setiap pijakan.

Di kejauhan, Leon masih duduk diam dalam mobilnya.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini, ia membuka pesan itu. Sebuah foto masuk. Dari kejauhan, lensa kamera menangkap Lana dan Arvino berjalan berdampingan menuju mobil pria itu.

Foto itu tampak tenang.

Terlalu tenang.

Leon menutup ponselnya. Genggaman tangannya mengepal di atas paha. Dadanya sesak. Ia ingin marah. Ingin memanggil orang-orangnya untuk menghentikan langkah Lana. Ingin berteriak. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah desahan lelah yang panjang.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Leon tidak tahu harus berbuat apa. Kekuatannya tak lagi berarti saat satu-satunya orang yang ia cintai, memilih untuk menjauh... bukan karena ia membenci Leon, tapi karena ingin bertahan sebagai dirinya sendiri.

Di dalam mobil Arvino, Lana duduk diam sambil menggenggam gelas teh hangat. Aroma jahe dan madu memenuhi ruang kabin. Hangatnya perlahan mengalir ke ujung jarinya yang dingin.

“Aku belum siap jatuh cinta lagi,” ucap Lana tiba-tiba.

Arvino menoleh, wajahnya tetap tenang. “Dan aku tidak sedang meminta cintamu. Aku hanya ingin jadi seseorang yang membuatmu percaya bahwa kamu pantas dicintai dengan cara yang tidak menyakitimu.”

Lana memejamkan mata. Dalam hening itu, ia tahu satu hal: malam ini adalah titik balik.

Ia belum tahu akan ke mana arah langkahnya setelah ini. Tapi untuk pertama kalinya, ia tahu dengan pasti,ia tidak akan pernah kembali ke tempat yang membuatnya merasa tidak berharga.

Dan itu... adalah awal dari kebebasan.

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!