NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:863
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6•Lantai Tiga yang Terlupakan

...Lantai Tiga yang Terlupakan:...

Sebagai seorang mahasiswa rantau yang memilih sebuah rumah kos sederhana di pinggiran kota Pekanbaru, aku, Arya, tidak pernah menyangka akan terjerat dalam sebuah misteri kelam. Kos tiga lantai ini tampak biasa saja dari luar, catnya yang mulai pudar dan taman kecil di depannya yang kurang terawat memberikan kesan rumah tinggal tua pada umumnya. Namun, ada satu hal yang selalu mengusik pikiranku sejak pertama kali menjejakkan kaki di sini: lantai tiga yang selalu terkunci rapat dan terlarang untuk siapapun.

Pemilik kos, seorang ibu paruh baya yang ramah namun menyimpan raut kesedihan di matanya, Ibu Siti, selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali ada yang bertanya tentang lantai tiga. "Sudahlah, Nak Arya, tidak ada apa-apa di sana. Lebih baik kalian fokus belajar," begitu jawabnya dengan nada datar yang justru semakin membangkitkan rasa ingin tahuku.

Kehidupan di lantai dua, tempat kamarku berada, berjalan seperti biasa. Aku berteman dengan beberapa mahasiswa lain, ada Rina yang ceria dan selalu bersemangat, Budi yang pendiam namun cerdas, dan Sarah yang kritis dan observatif. Kami sering berkumpul di ruang makan atau sekadar bercengkerama di depan kamar masing-masing. Namun, bisik-bisik tentang lantai tiga tak pernah benar-benar hilang dari percakapan kami.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur Pekanbaru dan listrik padam, kami berempat duduk bersama di ruang makan, ditemani cahaya lilin yang menari-nari. Keadaan yang gelap dan sunyi ini entah mengapa membuat keberanian kami untuk membahas hal tabu itu muncul kembali.

"Kalian tidak penasaran sama sekali?" tanyaku memecah keheningan.

Rina yang sedang menyesap teh hangatnya menjawab, "Penasaran sih, Arya. Tapi lihat saja Ibu Siti, reaksinya selalu aneh kalau kita tanya."

"Mungkin memang ada sesuatu yang buruk terjadi di sana," timpal Budi pelan.

Sarah, dengan tatapan menyelidik, berkata, "Atau mungkin Ibu Siti hanya ingin menjaga privasi. Tapi kenapa harus dikunci begitu rapat? Bahkan jendela-jendelanya selalu tertutup kain tebal."

Diskusi kami semakin intens, berbagai spekulasi muncul, mulai dari gudang tua yang penuh barang rongsokan hingga cerita-cerita mistis tentang arwah penasaran. Entah kenapa, malam itu, rasa ingin tahuku mencapai puncaknya.

Keesokan harinya, setelah Ibu Siti pergi ke pasar, aku mengajak teman-temanku untuk mencoba mencari tahu. Awalnya mereka ragu, namun rasa penasaran yang sama akhirnya mengalahkan ketakutan mereka. Kami mencoba menaiki tangga menuju lantai tiga, namun pintunya benar-benar terkunci. Kami mengamati setiap sudut pintu dan jendela, mencari celah atau petunjuk apapun.

Saat sedang memeriksa gagang pintu yang berkarat, tanpa sengaja tanganku menyentuh sesuatu yang tersembunyi di balik bingkai pintu. Sebuah kunci kecil, tampak usang, tergeletak di sana. Jantungku berdebar kencang. Ini pasti kunci lantai tiga.

Dengan hati-hati, aku memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci. Bunyi "klik" yang pelan namun jelas memecah keheningan. Pintu terbuka. Aroma pengap dan debu langsung menyergap indra penciuman kami. Kami masuk perlahan, diterangi oleh cahaya samar yang masuk melalui celah-celah kain penutup jendela.

Lantai tiga tampak seperti ruang waktu yang membeku. Furnitur tua yang ditutupi kain putih, lukisan-lukisan berdebu yang tergantung miring di dinding, dan bau lembap yang menusuk hidung menciptakan suasana yang mencekam. Di tengah ruangan, terdapat sebuah piano tua yang tutsnya menguning.

Saat kami mulai menjelajahi ruangan itu lebih jauh, Rina tiba-tiba berteriak tertahan. Di sudut ruangan, di bawah tumpukan kain, tergeletak sebuah buku harian. Sampulnya berwarna cokelat tua dengan tulisan tangan yang hampir pudar. Dengan gemetar, aku mengambil buku itu dan membersihkan debunya.

Kami duduk melingkar di lantai, dan aku mulai membacakan isi buku harian itu. Ternyata, buku itu milik seorang wanita bernama Maya, seorang pianis yang pernah tinggal di kos ini beberapa puluh tahun yang lalu. Catatannya menceritakan tentang mimpinya untuk menjadi seorang musisi terkenal, tentang cintanya pada seorang pria, dan tentang kesedihannya yang mendalam ketika pria itu meninggalkannya.

Semakin dalam kami membaca, semakin kelam isi buku harian itu. Maya mulai menulis tentang suara-suara aneh yang didengarnya di malam hari, tentang perasaan seperti ada yang mengawasinya, dan tentang depresi yang semakin parah. Di halaman-halaman terakhir, tulisannya menjadi tidak karuan, penuh dengan ketakutan dan paranoia. Catatan terakhir tertulis beberapa hari sebelum ia menghilang.

Tiba-tiba, saat aku selesai membaca catatan terakhir, sebuah suara dentingan piano yang lirih terdengar dari sudut ruangan. Kami semua terlonjak kaget. Piano tua itu, yang tadinya tampak bisu, kini mengeluarkan melodi yang sendu dan menghantui.

Kami saling bertukar pandang, rasa takut mulai mencengkeram hati kami. Bulu kudukku berdiri. Kami memutuskan untuk segera keluar dari ruangan itu. Saat kami hendak beranjak, pintu tiba-tiba tertutup dengan keras, mengunci kami di dalam.

Kami panik, mencoba mendobrak pintu, namun percuma. Suara dentingan piano semakin keras, bercampur dengan suara bisikan-bisikan aneh yang tidak jelas asalnya. Cahaya lilin yang kami bawa dari bawah tiba-tiba padam, membuat kami terperangkap dalam kegelapan total.

Dalam kegelapan itu, aku merasakan sentuhan dingin di bahuku. Aku berteriak dan menepiskan tanganku. Terdengar suara Rina dan Sarah yang juga ketakutan. Budi mencoba menenangkan kami, namun suaranya terdengar bergetar.

Tiba-tiba, lampu di lantai tiga menyala dengan sendirinya, menerangi ruangan dengan cahaya yang suram. Kami melihat sekeliling, tidak ada siapapun selain kami berempat. Piano itu kembaliSunyi.

Saat kami mencoba membuka pintu lagi, pintu itu terbuka dengan mudah. Kami tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Dengan langkah tergesa-gesa, kami menuruni tangga, meninggalkan lantai tiga yang terkutuk itu.

Kami menceritakan semua yang kami alami kepada Ibu Siti. Awalnya ia tampak terkejut dan marah, namun kemudian raut wajahnya berubah menjadi sedih. Dengan suara bergetar, ia menceritakan bahwa Maya adalah putrinya. Setelah ditinggal kekasihnya, Maya mengalami depresi berat dan akhirnya meninggal dunia di lantai tiga. Ibu Siti mengunci lantai itu karena tidak ingin ada yang mengingat kesedihan putrinya.

Namun, cerita Ibu Siti tidak berakhir di situ. Beberapa hari kemudian, saat aku sedang belajar di kamar, aku menemukan sebuah foto lama terselip di bawah mejaku. Foto itu adalah foto Maya, dan pria yang berdiri di sampingnya... adalah Ibu Siti sendiri, dalam wujud seorang pria muda.

Aku terkejut bukan main. Ternyata, Ibu Siti adalah seorang transgender. Cintanya pada Maya adalah cinta terlarang yang penuh dengan tekanan dan penolakan dari masyarakat pada masa itu. Pria yang dicintai Maya dan meninggalkannya ternyata adalah dirinya sendiri, karena ia tidak sanggup menjalani hidup sebagai seorang pria lagi. Rasa bersalah dan kehilangan yang mendalam itulah yang membuat Ibu Siti menutup rapat-rapat kenangan tentang Maya dan lantai tiga yang terpencil itu.

Malam itu, aku kembali menaiki tangga menuju lantai tiga. Pintunya tidak terkunci. Aku masuk perlahan, membawa setangkai bunga mawar putih. Aku letakkan bunga itu di atas piano tua yang berdebu. Aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam yang pernah memenuhi ruangan ini.

Sejak saat itu, lantai tiga tidak lagi terasa menakutkan. Aku sering naik ke sana, hanya untuk duduk dan merenung. Aku mengerti sekarang, hantu yang menghantui lantai itu bukanlah arwah penasaran, melainkan rasa sakit hati dan penyesalan yang mendalam. Dan terkadang, di tengah keheningan, aku masih bisa mendengar samar-samar dentingan piano yang lirih, seolah-olah Maya masih ada di sana, memainkan melodi kesedihannya. Lantai tiga yang terlupakan kini menjadi saksi bisu sebuah kisah cinta tragis yang tersembunyi di balik dinding-dinding rumah kos sederhana di pinggir kota Pekanbaru ini.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!