NovelToon NovelToon
Bukan Karena Tak Cinta

Bukan Karena Tak Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Janda / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gunjingan Dan Hadiah

Pagi itu, Diana terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Mengenakan daster batik motif cerah dan dandanan tipis yang membuat wajahnya tampak segar, ia sudah siap dengan misi utamanya: pamer. Setelah menyapu halaman dan menyiram tanaman, ia bergegas menuju pos satpam di ujung gang, tempat ibu-ibu komplek biasa berkumpul sambil menunggu tukang sayur.

Begitu tiba, Diana langsung mengambil posisi paling strategis, di tengah-tengah kerumunan. Ada Bu Siti, Bu Ida, dan Bu Tejo. Wajahnya dibuat sesedih mungkin di awal, seolah ada beban berat yang baru saja terangkat.

"Ya ampun, Ibu-ibu... Semalam itu rasanya hati saya plong sekali," ujar Diana memulai, suaranya dramatis. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu menghela napas panjang. "Akhirnya, anak saya, Januar, sudah mantap memilih jalan hidupnya."

Bu Siti, yang selalu penasaran, langsung menyahut. "Ada apa, Bu Diana? Kok seperti ada cerita penting?"

Diana mengangguk pelan, lalu pandangannya melingkar, memastikan semua mata tertuju padanya. "Iya, Bu Siti. Januar itu akhirnya menceraikan Novia." Ia berhenti sejenak, memberikan jeda agar efek dramatisnya terasa. "Sudah saya bilang, Novia itu menantu tidak berguna. Kerjaannya cuma jadi guru honorer, gajinya kecil, dirapel pula. Sudah begitu, mandul lagi!"

Mimik wajah Diana berubah jijik saat menyebut kata 'mandul', seolah Novia adalah kuman yang menjijikkan. Ibu-ibu yang lain saling berpandangan, sebagian mengangguk-angguk, sebagian lagi tampak terkejut.

"Tapi, ini dia yang paling membanggakan, Ibu-ibu!" Diana melanjutkan, kini suaranya meninggi penuh kebanggaan. "Januar itu sekarang sudah punya istri baru! Bukan sembarang wanita, lho! Anaknya pemilik perusahaan tempat Januar bekerja! Kaya raya!"

Mata Diana berbinar, tangannya bergerak-gerak menjelaskan. "Bayangkan, Ibu-ibu! Rumahnya saja seluas lapangan sepak bola! Mobilnya mewah-mewah, tasnya bermerek semua! Pokoknya, beda jauh sama yang kemarin! Yang ini, auranya saja sudah beda. Terlihat jelas kalau orang kaya!"

Bu Ida, yang pendiam, akhirnya angkat bicara. "Jadi, Novia sudah tidak di sini, Bu Diana?"

"Sudah saya usir!" jawab Diana bangga, seolah itu adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya. "Buat apa juga saya menampung menantu mandul seperti dia? Hanya membebani Januar saja. Sekarang Januar sudah bebas! Bisa hidup enak dengan istrinya yang kaya raya itu!"

Diana kemudian membayangkan masa depannya yang cerah. "Saya ini sekarang mau sering-sering diajak liburan ke luar negeri, Bu. Pasti nanti cucu saya banyak dari Karina. Kalau dari Novia kan mana mungkin ada!" Ia terkekeh sinis. "Saya akan punya cucu yang pintar-pintar dan kaya-kaya! Bisa pamer ke mana-mana!"

Ia terus berceloteh, menyombongkan kehebatan Karina dan merendahkan Novia. Wajahnya penuh kepuasan, menikmati setiap tatapan takjub, atau mungkin terkejut, dari ibu-ibu komplek. Baginya, ini adalah awal dari kehidupan barunya yang penuh kemewahan, jauh dari menantu yang ia anggap tak berguna.

****

Pagi itu, ruang guru SMA Negeri tempat Novia mengajar terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Belum genap lima menit Novia meletakkan tasnya, sayup-sayup ia mendengar namanya disebut. Ia melirik ke arah meja di sudut ruangan, tempat beberapa guru senior PNS sedang berkumpul. Di sana, Bu Rita, guru paling senior dengan gelang emas berkilauan di pergelangan tangannya dan riasan super menor, tampak memimpin obrolan.

"Kalian tahu tidak," bisik Bu Rita, suaranya sengaja dibuat rendah namun cukup jelas terdengar. Ia melirik ke arah Novia yang sedang pura-pura sibuk merapikan buku. "Si Novia itu, kasihan ya. Sudah jadi guru honorer bertahun-tahun, tidak naik-naik pangkat."

Guru lain, Bu Ani, menimpali, "Iya, Bu Rita. Saya juga heran. Padahal sudah lama sekali dia mengajar di sini."

"Itu karena dia suka cari perhatian sama Kepala Sekolah!" sahut Bu Rita, matanya melirik sinis ke arah Novia. "Dulu itu, waktu kepala sekolah masih Pak Budi, dia kan sering tuh ke ruangan kepala sekolah sendirian. Pura-pura konsultasi ini itu."

Novia, yang mendengar semua itu, merasakan hatinya mencelos. Dadanya sesak. Ia mencoba menahan diri untuk tidak menoleh, berpura-pura tidak mendengar.

"Masa, Bu Rita?" tanya Pak Harun, guru olahraga yang baru bergabung.

"Betul! Makanya dia dibiarkan terus mengajar di sini, meskipun honorer," jelas Bu Rita, nadanya penuh keyakinan. "Pasti ada 'sesuatu' di baliknya."

Kemudian, suara Bu Rita merendah lagi, lebih mendekat ke telinga Bu Ani. "Belum lagi soal rumah tangganya itu, Bu Ani. Saya dengar-dengar, dia itu diceraikan suaminya, kan? Nah, itu dia! Kata Ibu-ibu kompleknya, Novia itu mandul!"

Kata mandul itu bagaikan sambaran petir kedua bagi Novia. Rasanya lebih sakit daripada hinaan Bu Rita sebelumnya. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba meredam gejolak emosi. Baru kemarin ia diusir mertuanya dengan cercaan yang sama, kini ia harus mendengarnya lagi dari rekan kerjanya sendiri.

"Astaga, Bu Rita! Kok tahu saja?" Bu Ani tampak terkejut, namun matanya memancarkan rasa ingin tahu yang besar.

"Jelas tahu! Saya kan punya banyak informan," ujar Bu Rita dengan bangga, melirik Novia dengan pandangan meremehkan. "Makanya, kalau mau mencari pekerjaan, itu yang jelas. Jangan cuma bisa jadi guru honorer saja, terus ujung-ujungnya diceraikan karena tidak bisa punya anak."

Novia merasa sangat sedih dan terpukul. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak, bukan hanya di lingkungan pribadi, tapi kini juga di tempat kerjanya. Semua gosip dan hinaan itu terasa begitu nyata, seolah semua orang berhak menghakiminya.

****

Sore itu, langkah Novia terasa berat. Setiap tapak kakinya di jalanan kota seolah memikul beban berlipat ganda. Di telinganya, kata-kata Bu Rita di ruang guru masih terngiang, menusuk-nusuk hatinya: "Mandul... cari perhatian... tidak berguna." Gunjingan itu bercampur aduk dengan bayangan Diana, mantan mertuanya, yang juga melontarkan hinaan serupa. Hati Novia benar-benar hancur, seolah tak ada lagi ruang untuk menampung rasa sakit.

Sesampainya di depan rumah orang tuanya, Novia terkesiap. Sebuah mobil sedan hitam terparkir rapi di sana. Dan tak lama kemudian, pintu mobil terbuka, menampakkan sosok Kenzi, pria yang menolongnya saat kecelakaan tempo hari. Ia turun dengan senyum ramah, membawa sebuah bingkisan besar di tangannya.

"Bu Novia!" sapa Kenzi riang, melangkah cepat menghampiri Novia yang masih terpaku. "Saya kebetulan lewat sini, dan ingat Anda. Saya sudah ke bengkel tadi pagi."

Novia mengerutkan dahi, bingung. "Bengkel? Ada apa, Pak Kenzi?"

Novia mengerutkan dahi, bingung. "Bengkel? Ada apa, Pak Kenzi?"

"Motor Anda," jawab Kenzi. "Sudah selesai diperbaiki. Saya sudah melunasinya juga."

Mata Novia membelalak kaget. "Apa?! Pak Kenzi, kok... kenapa repot-repot?" Hatinya langsung merasa tidak enak. Ia tak menyangka Kenzi akan sejauh ini membantunya.

Kenzi tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa, Bu Novia. Anggap saja sebagai bentuk pertanggungjawaban saya karena sempat membuat Anda kaget waktu itu." Ia kemudian mengulurkan bingkisan yang dibawanya. "Ini, ada sedikit buah tangan. Tadi sempat mampir ke toko buah."

Novia menatap bingkisan berisi berbagai macam buah-buahan segar itu, lalu menatap Kenzi. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sangat terbantu dan tersentuh dengan kebaikan Kenzi. Namun di sisi lain, ia merasa sangat tidak enak hati. Ia baru saja diusir dari rumah tangganya, menyandang status janda secara agama, dan kini ada pria lain yang begitu baik padanya. Ia tak ingin ada kesalahpahaman atau fitnah baru.

"Terima kasih banyak, Pak Kenzi," ucap Novia, suaranya pelan. "Tapi... Bapak tidak seharusnya melakukan ini. Terlalu merepotkan."

"Tidak merepotkan sama sekali, Bu Novia," jawab Kenzi lembut. "Saya tulus ingin membantu. Lagipula, saya yakin Anda sedang butuh dukungan saat ini." Kenzi mengucapkan kalimat terakhir itu dengan nada penuh pengertian, seolah ia tahu semua yang sedang Novia alami.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!