Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM YANG MENGIKAT
Udara malam Jakarta menyambut Maya dengan kelembapan yang melekat di kulit. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kuning pucat di aspal basah, sisa hujan sore tadi. Dia melangkah keluar dari pintu belakang restoran, masih mengenakan seragam hitam sederhana, apron tergantung di tangan. Langkahnya berat, tubuhnya lelah, tapi pikirannya sama sekali belum tenang.
Sudah hampir dua tahun ia bekerja di restoran itu—mulanya hanya untuk bertahan hidup, demi membayar kos dan kebutuhan Nayla. Gajinya tidak besar, tapi cukup menutupi biaya sehari-hari. Dia memilih restoran ini bukan tanpa alasan: letaknya cukup dekat dengan kos, dan pemiliknya ramah, tidak mempermasalahkan jam kerja fleksibel yang kadang harus ia ubah karena urusan pengadilan.
Namun malam ini, setelah sidang yang cukup menegangkan tadi siang, tubuhnya seolah berjalan otomatis. Pikirannya terus kembali pada ekspresi Reza di ruang sidang—terpojok, mencoba menyangkal tuduhan bahwa ia telah meninggalkan Maya dan Nayla hampir empat tahun penuh tanpa kabar. Semua saksi yang diajukan Adrian begitu memukul telak. Dan hakim tampak memandang serius, bahkan menjadwalkan sidang lanjutan untuk mengusut lebih dalam.
Maya menghela napas panjang. Dia tahu ini belum akhir. Masih ada jalan panjang yang harus ia tempuh. Dan Adrian… lelaki itu… pikirannya kembali melayang pada tatapan dingin Adrian di ruang sidang. Tatapan yang entah kenapa, di luar semua tegasnya, selalu membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Ponselnya bergetar. Sebuah nomor yang sudah ia hafal tanpa perlu melihat layar.
"Kamu sudah selesai kerja?" suara Adrian terdengar di ujung sana, dalam, dingin, tapi ada nada yang membuat tubuhnya menegang.
"Baru saja keluar," jawabnya, berusaha terdengar biasa saja.
"Ke apartemenku. Sekarang." Bukan pertanyaan. Bukan ajakan. Perintah.
Maya terdiam sesaat, menatap ke langit malam. Seharusnya ia pulang ke kos, mandi, lalu tidur. Besok pagi dia harus mengantar Nayla ke sekolah sebelum sidang lanjutan. Tapi entah kenapa, tubuhnya bergerak mengikuti kata-kata Adrian, bukan pikirannya.
Pintu apartemen Adrian terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Lelaki itu berdiri di sana, kemeja putihnya hanya dikancingkan sebagian, memperlihatkan garis otot di dadanya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi wajahnya tetap setajam pisau.
"Masuk."
Begitu pintu tertutup, Maya merasakan udara berbeda menyelimutinya. Adrian tidak langsung bicara soal sidang. Dia hanya memandang, berjalan mendekat, langkahnya mantap. Maya mundur selangkah, tapi punggungnya segera menempel pada dinding.
"Hari ini kamu terlihat… terlalu banyak menahan diri di sidang," ucap Adrian pelan, tapi sorot matanya meneliti.
"Aku—aku hanya mengikuti yang kamu bilang. Jangan terpancing," jawabnya, napasnya mulai cepat.
"Bagus. Tapi sekarang… aku tidak mau kamu menahan diri."
Adrian menunduk, bibirnya hanya beberapa sentimeter dari telinganya. Suara beratnya seperti menggema di kepalanya. Maya merasakan setiap detik hening di antara mereka menggerogoti pertahanannya. Lalu sentuhan hangat itu datang—tangan Adrian menyentuh rahangnya, mengangkat wajahnya agar menatap tepat ke mata lelaki itu.
"Kamu datang ke sini bukan hanya karena aku pengacaramu, kan?"
Maya menelan ludah, tidak menjawab. Tapi tatapannya sudah cukup untuk memberi jawaban.
Ciuman pertama datang cepat, menuntut, seperti Adrian ingin menghapus jarak dan waktu sekaligus. Maya sempat mencoba mengatur napas, tapi tangannya sudah berada di bahu Adrian, tubuhnya mengikuti dorongan lelaki itu menuju sofa.
Setiap sentuhan Adrian terasa seperti campuran dominasi dan penguasaan. Jarinya bergerak perlahan di sepanjang lehernya, lalu ke bahunya, membuat Maya mengerang pelan. Lelaki itu tahu persis titik-titik yang membuatnya kehilangan kendali.
"Kamu tidak keberatan kalau malam ini kita melupakan semua soal sidang sebentar?" bisiknya di sela napas berat.
Maya hanya bisa mengangguk, tubuhnya sudah lebih dulu menjawab.
Pakaian menjadi penghalang yang mereka lepaskan tanpa banyak kata. Suara gesekan kain, napas terputus-putus, dan detak jantung yang terasa sampai ke telinga memenuhi ruangan. Adrian menunduk lagi, kali ini lebih lama, mengecap rasa yang sudah pernah ia cicipi sebelumnya—tapi kali ini, ada lebih banyak intensitas, lebih banyak kepemilikan.
Maya tidak hanya diam menerima. Ada momen di mana ia menarik leher kemeja Adrian, membalas ciuman itu dengan gairah yang sama. Tangannya bergerak di punggungnya, merasakan otot yang tegang. Mereka seperti saling menguji batas, siapa yang akan menyerah duluan.
Waktu terasa memanjang. Dunia di luar apartemen itu menghilang. Hanya ada dua orang yang terikat oleh sesuatu yang lebih rumit dari sekadar kesepakatan.
Saat akhirnya tubuh mereka mereda, Maya berbaring di sofa, napasnya masih berat. Adrian duduk di tepi, satu tangannya memegang gelas air, memberikannya pada Maya.
"Minum," ucapnya singkat.
Maya menerima, meminum beberapa teguk.
"Besok… kamu siap untuk sidang lanjutan?" tanyanya, suaranya serak.
"Aku selalu siap. Pertanyaannya, kamu siap untuk menghadapi semua yang akan terungkap?" Adrian menatapnya tajam.
Maya mengerjap, mencoba memahami maksudnya.
"Maksudmu…?"
"Hakim akan mengizinkan kita memanggil saksi tambahan. Dan ini berarti, beberapa hal yang kamu sembunyikan juga akan keluar," jawab Adrian, nada suaranya seolah menguji.
Maya menunduk, merasa dadanya mengencang. Rahasia tentang Nayla—yang belum ia ungkap bahkan pada Adrian—berputar di pikirannya. Tapi malam ini, ia memilih diam.
"Besok kita fokus pada kelemahan Reza dulu," katanya pelan.
Adrian tidak memaksa. Dia hanya mengangguk, lalu berdiri.
"Tidur di sini saja. Aku tidak mau kamu kelelahan besok."
Maya memandang punggung Adrian yang menjauh, dan dalam hatinya, ia tahu—hubungan mereka sudah melewati batas yang tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.
kamu harus jujur maya sama adrian.