MENIKAHI Mr. Arrogan

"Maaf, Arka! Tapi aku tak bisa bertemu denganmu. Kenaan melarangku," ucap Hana. Karena sebentar lagi ia dan Kenaan akan menikah, maka Hana tak akan bertemu Arka sementara waktu. Ia tak ingin hidupnya semakin rumit dengan bertemu Arka meski ingin.

"Tidak apa, semoga semuanya lancar! Ingat, teruslah berkabar denganku meski kita tidak akan bertemu karena aku pasti akan mengkhawatirkanmu." suara berat Arka di seberang sana membuat Hana bergetar menahan tangis.

"Baik, aku pasti akan berkabar denganmu! Bukankah kamu adalah pelindungku," ujar Hana.

"Aku tahu, sudah! Jangan menangis, jangan sampai kamu menyesali keputusanmu sayang! Berbahagialah," ujar Arka.

Hana mengangguk, meski mungkin anggukannya tak akan mampu dilihat oleh Arka karena saat ini mereka hanya bertelepon bukan video call.

Tut.

Telepon mati, Hana menangis sejadinya. Saat sendiri, ia mengeluarkan semua sisi rapuhnya meski diluar sana berusaha terlihat tegar.

Tok tok tok...

Hana bangkit, mengusap wajahnya dengan kasar, lalu membuka pintu apartemennya.

"Masuk!" ucap Hana tanpa mau berbasa-basi lebih dulu kepada managernya.

Marisa hanya mengangguk, ia mengikuti Hana kemudian duduk di sofa berhadapan dengan mantan boss-nya itu.

"Surat pengunduran diriku," ujar Marisa meletakkan map di atas meja to the point.

"Tidak perlu, kamu cukup menghilang jauh dari hadapanku selamanya!" ujar Hana.

"Han, aku melakukan itu juga demi kebaikan kamu!" alibi Marisa.

"Kebaikan? Sejak kapan kamu tahu kebaikan tentangku?" tanya Hana.

Marisa diam, ia tak mungkin berkata jujur pada Hana kalau Velys yang membayarnya untuk itu.

"Oke, aku minta maaf dan permisi!" ujar Marisa.

"Silahkan keluar!" titah Hana, berjalan lebih dulu membuka sandi apartemennya dan mempersilahkan Marisa keluar. Namun, tanpa sengaja ia menatap wanita berpakaian seksi menekan bell apartemen Kenaan.

Setelah memastikan Marisa pergi, Hana segera masuk. Ia tak ingin terlalu kepo dengan apa yang dilakukan Kenaan di apartemennya sana.

"Bahkan aku sulit menemukan orang yang benar-benar tulus di sekitarku," gumam Hana menyedihkan. Ia memilih tidur dan tak memikirkan apapun.

Lain halnya dengan Kenaan, ia berusaha memejamkan mata tapi tak bisa dan malah memikirkan Hana. Apa sikapnya keterlaluan? Tapi Hana pantas mendapatkannya karena bukan hanya berhubungan dengannya tapi juga dengan Arka.

Lantas ia meminta Andin datang ke apartemennya.

Ting.

Pintu apartemen terbuka, Andin mengulas senyumnya.

"Tuan," sapa Andin menunduk hormat. Bagaimanapun pria di hadapannya adalah penyelamatnya.

"Duduk," titah Kenaan.

Andin mengangguk, ia duduk di hadapan Kenaan.

Berhubungan dengan laki-laki kaya tak membuat Andin berharap banyak. Bagi Andin, Kenaan mengeluarkannya dari sebuah agen wanita malam membuat Andin sangat bersyukur.

"Mau minum?" tawar Kenaan, ia bangkit dan mengambil sesuatu di dapur mini miliknya lalu kembali membawa dua botol minuman dan gelas.

"Temani aku minum, atau kalau kamu tidak mau bisa langsung pulang!"

"Baik, Tuan!"

Andin hanya bisa menatap Kenaan tanpa berani melakukan apapun. Laki-laki itu memiliki sikap yang berubah-ubah. Boleh hari ini berbaik hati, bisa jadi besok menjadi petaka untuknya. Jadi Andin memilih memakai jalur aman.

"Sini..." Kenaan menepuk pahanya, mengisyaratkan agar Andin mendekat dan duduk di pangkuannya.

Meski ragu, ia akhirnya menurut.

"Tapi Tuan, berita di luar itu..."

"Sst... Jangan dengarkan gosip di luaran sana. Jelas-jelas itu hanya berita palsu. Mendekatlah!" pinta Kenaan setelah menghabiskan setengah botol redwine. Suara lembutnya tak mampu membuat Andin menolak meski sebenarnya ia sudah tau, laki-laki itu sebentar lagi akan menikah.

"Tuan, apa anda butuh yang lain?"

Kenaan menggeleng, ia hanya ingin ditemani mabuk. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia justru tak bergaiwrah dengan wanita lain. Pikirannya hanya ada Hana, padahal jelas ia tak menyukai wanita itu.

***

Pagi jam tujuh, Hana sudah siap. Marry menelpon jika ia harus membangunkan Kenaan dan mengajaknya mencoba gaun pernikahan. Dengan ragu menekan bell, akan tetapi terkejut saat melihat wanita lain keluar dari apartemen Kenaan bersamaan dengan sang pemilik yang membuka pintunya.

Andin tersenyum canggung lalu melangkah begitu saja sementara Kenaan dalam keadaan yang entah. Rambut acak, bau alkohol dan hanya memakai celana pendek.

"Ada apa?" ketus Kenaan.

"Tante Marry memintaku datang ke butik bersamamu, apa kamu sibuk sekarang? Barangkali kamu capek setelah semalaman bekerja keras," sindir Hana.

"Aku masih mengantuk, kamu pergi saja sendiri. Lagian ini hari libur, waktunya aku istirahat!" tegas Kenaan.

"Oke, kamu tenang saja! Aku tidak akan bilang sama Tante Marry kalau ada wanita lain yang tidur di apartemenmu! Kita impas," kesal Hana. Melangkah begitu saja meninggalkan Kenaan yang terbengong karena kesadarannya yang belum pulih.

"Apa dia cemburu, heh?" Kenaan menyeringai. Semalam ia hanya meminta Andin menemaninya minum, dan wanita itu tidur di kamar yang berbeda. Ada dua kamar di apartemen Kenaan. Meski begitu, ia tak ingin menjelaskan apapun pada Hana.

Kenaan masuk kemudian kembali tidur.

Sementara Hana sedang menunggu taksi di bawah, tak berselang lama ia mendapat taksi dan menuju alamat butik yang dikirim oleh Marry.

"Ck! Dunia ini nggak adil," gumamnya menatap sedih pada kaca mobil.

"Dunia ini cukup adil kok, kitanya saja yang kadang salah memilih langkah," sahut sopir taksi itu yang sedari tadi memperhatikan Hana dari balik kaca depan.

Hana diam, tak menyahuti perkataan laki-laki muda yang jadi sopir taksi itu.

"Mbak-nya, model yang lagi viral itu ya?" tanya sopir taksi.

Hana terkejut, seketika meraba wajahnya dan menyadari jikalau ia lupa memakai masker.

"Hya, kamu benar!" singkat Hana.

"Tapi saya bukan lagi model, lebih tepatnya mantan." Hana memaksa senyum.

Laki-laki itu seolah tahu, wanita belakangnya sedang sedih jadi ia hanya diam mengangguk-angguk.

"Mau diantar kemana Mbak?"

"Butik Zara!"

Sopir itu mengangguk, lalu mempercepat laju mobilnya.

"Kembaliannya buat kamu, Mas!" ucap Hana.

"Makasih Mbak, kalau kita bertemu lagi boleh ya minta foto?"

Hana mengangguk, sopir itu menutup kaca taksinya lalu kembali melaju dengan perasaan senang.

Hana memasuki butik ternama itu dengan ragu. Marry hanya mengirim alamat, ia bahkan seperti orang linglung karena hanya datang sendiri.

"Dengan Mbak Hana Devina?" tanya pelayan butik itu memastikan.

Hana mengangguk, lalu pelayan itu menuntunnya ke sebuah tempat.

Dimana gaun-gaun cantik berderet terpampang disana.

"Silahkan, Mbak Hana mau pilih yang mana!" ucap Pelayan dengan seulas senyum.

Hana melihat gaun itu satu persatu, memperhatian setiap detailnya. Meski pernikahanya dengan Kenaan atas dasar terpaksa, ia berharap hanya akan menikah sekali seumur hidup. Tiba-tiba terdiam, memikirkan kehidupan malangnya setelah ini.

"Apa keputusanku sudah benar. Membebaskan keluarga yang sebenarnya bukanlah rumah tempatku kembali." Ingatannya menerawang saat ia masih SMA dimana Mamanya pergi dari rumah. Hal itu menyiksa psikis Hana dan membuatnya trauma. Kehadiran Mama tiri yang baik dan Papa yang menyakinkannya membuat Hana sedikit pulih. Namun, dibalik kata baik tak ada kebaikan yang benar-benar tulus ia dapatkan.