NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 32: Ilmu Pedang yang Mengguncang Langit Fana

Kabut tipis menggantung di puncak Gunung Pedang Terbang. Udara pagi menggigit kulit, sementara angin membawa aroma besi dan batu dari lembah di bawah.

Liang Chen berdiri di sisi tebing, di hadapan jurang yang seolah tak berujung. Kesunyian Malam tergantung di punggungnya, bilahnya bergetar pelan, merespons aura samar yang memenuhi puncak itu.

Guru Kui Xing berdiri tidak jauh darinya, mengenakan jubah sederhana berwarna kelabu. Matanya menatap jauh ke langit timur, tempat matahari baru saja menembus kabut dengan sinar pucat. Dalam diam itu, ia tampak seperti sosok yang menyatu dengan gunung.

“Chen’er,” suara Guru Kui Xing memecah kesunyian, tenang namun berat. “Kau sudah mempelajari cara menahan amarah, menyalurkannya, dan mengendalikannya. Tapi hari ini, kau akan belajar sesuatu yang tidak bisa diajarkan dengan kata-kata.”

Liang Chen menunduk sedikit. “Apakah ini tentang Ilmu Pedang yang Guru sebut sebelumnya?”

Guru Kui Xing berbalik perlahan. Tatapannya tajam seperti bilah pedang yang telah diasah seribu kali. “Ya. Ilmu Pedang Pembantai Bintang. Seni pedang yang tidak diciptakan oleh manusia fana, tapi oleh tangan Asura Pertama sendiri.”

Liang Chen menahan napas. Nama itu sudah beberapa kali disebut gurunya, Asura Pertama, sosok mitos yang diyakini menghancurkan benua dengan satu tebasan. Tapi baru kali ini ia akan mempelajari sesuatu yang benar-benar berasal dari warisan tersebut.

Guru Kui Xing melangkah maju, berdiri di hadapan Liang Chen. “Dunia menganggap Asura hanya tahu membunuh. Mereka tidak pernah mengerti bahwa pembunuhan hanyalah kulit luar dari pemahaman yang lebih dalam.” Ia mengangkat telapak tangan kanan, mengumpulkan energi merah pekat di sana.

“Asura tidak membunuh untuk darah. Ia menghancurkan agar sesuatu yang baru bisa lahir. Itu sebabnya pedang ini disebut Pembantai Bintang. Ia bukan pedang pembunuh manusia, ia pedang yang mengguncang langit.”

Energi merah di telapak tangan Guru Kui Xing berputar perlahan, berubah menjadi bentuk bilah tipis yang melayang di udara. Liang Chen melihatnya dengan mata membelalak; bilah itu tidak terbuat dari logam, tapi dari energi yang berdenyut seperti jantung.

Guru Kui Xing memandang bilah itu dalam diam sebelum melanjutkan, “Setiap bintang di langit adalah lambang kekuatan, takdir, dan nasib. Asura Pertama menciptakan teknik ini untuk menolak takdir. Dengan pedang ini, ia menebas rantai yang mengikat langit dan bumi.”

Liang Chen mendengarkan tanpa bergerak, tapi jantungnya berdetak cepat. Kata-kata itu seolah menyentuh sesuatu di dalam dirinya, sebuah luka lama yang masih membara.

Guru Kui Xing memutar tubuhnya menghadap jurang. “Ada tujuh gerakan dalam Ilmu Pedang Pembantai Bintang. Setiap gerakan mewakili satu bintang yang pernah dihancurkan oleh Asura Pertama. Gerakan pertama disebut Bintang Jatuh.”

Ia mengangkat tangan. Bilah energi merah di tangannya mulai bergetar hebat, lalu ia mengayunkannya ke depan.

Hanya satu gerakan.

Langit seolah retak.

Suara ledakan bergema di udara, memantul ke seluruh lembah. Kabut di sekitar mereka tersibak menjadi dua, meninggalkan garis lurus di udara, seperti belahan tipis di kain langit itu sendiri.

Liang Chen terpaku. Ia bahkan tidak sempat mengikuti arah ayunan itu. Dalam sekejap, bilah energi lenyap, hanya menyisakan hembusan angin yang membawa aroma ozon dan darah besi.

Guru Kui Xing menurunkan tangannya perlahan. “Gerakan itu menggabungkan tiga hal: kekuatan, kecepatan, dan kendali penuh atas amarah. Energi Pembantaian tidak boleh dibiarkan mengamuk. Ia harus dipadatkan, dikompresi, dan dilepaskan dalam satu titik. Seperti bintang yang jatuh, indah, cepat, dan menghancurkan.”

Liang Chen menggenggam gagang pedangnya. “Guru… bagaimana aku bisa melakukan itu?”

“Dengan memahami batas tubuhmu sendiri,” jawab Guru Kui Xing. “Ilmu ini tidak diciptakan untuk orang yang hidup damai. Ia hanya bisa digunakan oleh mereka yang pernah kehilangan segalanya, karena untuk memanggil kekuatan bintang, kau harus tahu rasanya tenggelam dalam kegelapan.”

Angin bertiup lebih kencang. Liang Chen merasakan udara di sekitarnya menjadi berat, seolah menunggu langkah pertamanya. Ia menatap pedangnya, lalu menatap gurunya.

Guru Kui Xing memberi isyarat kecil dengan kepala. “Cobalah. Biar langit menyaksikan apakah darahmu benar-benar layak menurunkan bintang.”

Liang Chen menarik napas dalam. Energi Pembantaian dari Pondasi Besi-nya mulai bergerak. Rasanya seperti lautan api di bawah kulit, mendesak untuk dilepaskan. Ia mengangkat Kesunyian Malam dan menatap jurang di hadapannya.

Untuk pertama kalinya sejak tragedi Desa Hijau, Liang Chen merasa bahwa pedang di tangannya bukan hanya alat untuk membalas dendam, melainkan jembatan antara dirinya dan langit.

Dan di antara keheningan itu, ia berjanji dalam hati:

“Kalau aku harus belajar menghancurkan bintang, aku akan melakukannya bukan untuk kemuliaan, tapi untuk membakar jalan menuju kebenaran.”

Liang Chen berdiri diam di tepi jurang. Angin gunung memukul wajahnya, membawa dingin yang menggigit,

namun tubuhnya terasa panas dari dalam. Energi Pembantaian yang bersarang di meridiannya mulai bergejolak, berputar seperti pusaran darah yang hidup. Kesunyian Malam di tangannya bergetar, seolah ikut mendengar bisikan dari dalam dirinya sendiri.

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya, tenang seperti batu karang. “Jangan terburu-buru. Rasakan napas langit dan bumi di sekitarmu. Pedang Asura tidak bergerak karena niat membunuh, tetapi karena dunia mengizinkan tebasannya.”

Liang Chen menutup matanya. Ia mendengar gemerisik kabut, desiran dedaunan yang terhempas angin, bahkan denyut darah di dalam tubuhnya sendiri. Setiap denyut terasa seperti suara langkah di lorong gelap, menuju sesuatu yang lebih dalam, tempat di mana amarah dan ketenangan bersatu.

Ia mengangkat pedang perlahan. Ujung bilah hitam itu menangkap cahaya mentari yang redup, memantulkannya seperti bintang yang berusaha menembus awan kelam. Energi Pembantaian mulai berkumpul di sekeliling bilah, membentuk aura merah pekat yang berdenyut lembut, lalu bergetar tak terkendali. Liang Chen menggigit bibirnya.

“Guru… ia menolak dikendalikan.”

Guru Kui Xing berjalan mendekat, suaranya datar. “Tentu saja. Energi Pembantaian tidak diciptakan untuk patuh. Ia hanya tunduk pada kemauan yang lebih keras darinya. Jika kau ingin menguasainya, kau harus lebih kejam dari api yang membakar dirimu sendiri.”

Liang Chen menahan napas dan mencoba lagi. Ia mengingat latihan-latihan sebelumnya: menyalurkan api ke dalam wadah, menahan amarah tanpa membiarkannya tumpah, melumpuhkan tanpa membunuh. Semua itu berpadu dalam satu kesadaran dingin di pikirannya.

Energi merah di pedangnya berdenyut, lalu menipis menjadi garis halus, seperti nafas yang dikekang. Liang Chen membuka matanya, sepasang mata hitam pekat yang kini memantulkan sinar samar kemerahan.

Ia mengayunkan pedangnya.

Suara tebasan bergema pelan, seperti desah petir di kejauhan. Namun hasilnya hanya percikan kecil energi merah yang menyebar ke udara dan lenyap seperti asap. Liang Chen mengerang pelan, napasnya berat.

Guru Kui Xing tidak bergerak. “Gagal?”

“Energi itu lepas terlalu cepat,” jawab Liang Chen dengan suara serak. “Aku mencoba menahannya, tapi begitu aku ayunkan, semuanya meledak.”

Guru mengangguk pelan. “Karena kau masih berperang melawan dirimu sendiri. Kau memaksa Energi Pembantaian untuk diam, padahal ia diciptakan untuk mengalir. Kendali bukan berarti menahan, Chen’er. Kendali adalah arah.”

Liang Chen menggenggam gagang pedangnya lebih erat. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena semangat dan frustrasi yang saling bertarung di dalam dadanya. Ia menatap ke langit, melihat bintang samar di siang hari yang kelabu.

“Guru,” katanya dengan suara rendah, “bagaimana Asura Pertama menciptakan gerakan ini? Bagaimana ia menahan kekuatan sebesar itu tanpa hancur?”

Guru Kui Xing menatap jurang. “Ia tidak menahannya. Ia membiarkan bintang itu jatuh menembus dirinya, lalu membiarkan tubuhnya hancur. Hanya dengan cara itu ia memahami bahwa kekuatan tidak pernah dimiliki, hanya dipinjam untuk sekejap.”

Liang Chen membeku. Kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya.

Guru Kui Xing menatapnya lurus. “Jika kau ingin belajar Bintang Jatuh, kau harus siap hancur setiap kali mengayunkannya.”

Liang Chen menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Aku mengerti.”

Ia menutup matanya sekali lagi. Energi Pembantaian dalam tubuhnya mulai bergerak, lebih teratur, lebih halus, namun tetap liar seperti naga yang baru ditangkap. Ia memusatkannya di telapak tangan kanan, lalu di sepanjang bilah pedang.

Tubuhnya mulai gemetar, seolah setiap meridian menolak beban energi itu. Kulitnya berdenyut merah samar, urat-uratnya menegang. Liang Chen berlutut, tapi tidak melepaskan pedang.

Guru Kui Xing tidak menghentikannya. Ia hanya menatap dengan mata yang dalam, seperti sedang menyaksikan sesuatu yang sudah ia ketahui akan terjadi.

Tepat ketika Liang Chen hendak kehilangan keseimbangan, ia membuka matanya. Dalam pandangan kabur itu, ia melihat sekilas wajah ibunya, senyuman lembut yang memintanya untuk hidup. Dalam detik berikutnya, ia mengayunkan pedangnya.

Udara bergetar.

Kabut di sekelilingnya tersibak.

Tebasannya belum sempurna, tetapi meninggalkan jejak merah di udara, panjang dan halus seperti lintasan bintang di malam gelap.

Liang Chen tersungkur ke lutut, terengah. Pedangnya menancap di tanah, dan telapak tangannya berdarah. Tapi di antara rasa sakit itu, ada senyum samar di wajahnya.

Guru Kui Xing mendekat. “Bagus. Kau sudah membuat bintang pertama bergeser. Tapi ingat, satu ayunan berarti satu luka. Jika kau tidak siap menanggung seribu luka, jangan bermimpi menjatuhkan bintang yang kedua.”

Liang Chen mengangguk pelan. Matanya berkilat dingin, tapi di dalamnya tersimpan sesuatu yang baru, bukan hanya dendam, melainkan pemahaman.

Malam turun dengan pelan di puncak gunung. Langit berubah menjadi kelam keunguan, dan hanya satu bintang pertama yang muncul di langit, menggantung di atas kepala Liang Chen seperti mata yang mengawasinya. Di bawah cahaya bintang itu, Kesunyian Malam bersandar pada lututnya, bilahnya masih berlumur darah dari telapak tangannya sendiri.

Ia mengatur napas. Setiap tarikan udara terasa berat, setiap embusan terasa seperti bara yang keluar dari dadanya. Energi Pembantaian di tubuhnya masih mengamuk, belum jinak sepenuhnya setelah tebasan pertama tadi.

Namun Liang Chen tidak mencoba menghentikannya. Ia membiarkan energi itu mengalir, menelusuri jalur meridiannya, merasakan bagaimana ia menari di bawah kulit seperti makhluk hidup yang mencari jalan keluar.

Guru Kui Xing duduk di batu besar tak jauh darinya, memandangi muridnya dalam diam. Hanya suara angin yang menemani, disertai gemerisik daun dan detak api unggun kecil yang baru ia nyalakan. Wajah tua itu terlihat muram, tapi matanya menyimpan kilatan bangga yang tidak bisa disembunyikan.

“Chen’er,” katanya akhirnya, pelan tapi tegas. “Kau sudah melihat bintang jatuh. Sekarang, katakan padaku: apa yang kau rasakan ketika pedangmu memotong udara?”

Liang Chen membuka matanya. Pandangannya kabur sejenak, lalu fokus pada pedang hitam di tangannya. “Aku merasakan hancur, Guru. Seolah tubuhku retak dari dalam. Tapi... di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang aneh.”

“Apa itu?”

“Kelegaan.” Liang Chen menatap ke arah langit. “Untuk pertama kalinya, aku merasa amarah di dadaku berhenti menjerit. Ia... tenang, meskipun hanya sekejap.”

Guru Kui Xing mengangguk. “Itu karena kau telah membiarkan api membakar tanpa menolak panasnya. Pedang Asura tidak pernah membunuh untuk memuaskan amarah. Ia membunuh untuk menenangkan amarah itu. Perbedaan kecil, tapi di situlah garis antara manusia dan iblis ditarik.”

Liang Chen menunduk. Kata-kata itu mengalir seperti arus dingin di hatinya. Ia teringat kembali wajah-wajah orang yang dibunuh di depan matanya, darah yang mengalir di tanah, dan janji yang ia buat di bawah langit merah malam itu. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia tidak ingin membalas dengan amuk. Ia ingin mengakhiri dengan tenang.

Ia menggenggam Kesunyian Malam lebih erat. Ujung pedang bergetar samar, seolah menanggapi perubahan dalam pikirannya.

Guru Kui Xing berdiri, melangkah mendekat. “Sekarang, kita lanjutkan.”

Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah sebatang pohon pinus besar di tepi jurang.

“Gunakan gerakan yang sama. Tapi kali ini, jangan keluarkan Energi Pembantaian sekaligus. Biarkan ia menetes perlahan di setiap gerakan, seperti air yang memotong batu. Satu tetes, satu luka. Itulah rahasia Bintang Jatuh.”

Liang Chen mengangguk, berdiri dengan tubuh yang masih gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menyalurkan Energi Pembantaian dari inti tubuhnya. Rasanya seperti membuka gerbang neraka kecil di dalam dada, tapi kali ini ia menahannya dengan kesadaran yang tajam.

Tangan kanannya terangkat. Kesunyian Malam tampak lebih gelap dari biasanya, seolah menyerap cahaya di sekitarnya. Aura merahnya tidak meledak, hanya berdenyut halus seperti jantung yang berdetak di bawah kulit.

Liang Chen mengayun.

Gerakannya cepat tapi halus, seperti kilatan petir yang disembunyikan di balik awan. Tidak ada ledakan, tidak ada teriakan energi. Hanya suara angin yang terbelah, dan cahaya bintang di langit bergoyang samar, seolah tersentak oleh sesuatu yang tak terlihat.

Pohon pinus besar itu diam sejenak, lalu batangnya terguncang. Seketika, bagian atasnya meluncur turun perlahan, terbelah sempurna dari ujung ke akar. Liang Chen masih berdiri di tempat, napasnya tenang, mata tertuju pada pedang yang kini memancarkan cahaya merah tipis seperti garis luka di udara.

Guru Kui Xing tersenyum tipis. “Itu dia.”

Liang Chen menurunkan pedangnya, tangannya bergetar hebat. “Aku... berhasil?”

“Untuk pertama kalinya, ya. Tapi kau belum sepenuhnya menguasainya.” Guru Kui Xing mendekat dan menepuk bahunya. “Gerakan Bintang Jatuh bukan hanya tentang kecepatan dan kekuatan. Ini tentang arah niatmu. Jika niatmu goyah, bintang itu jatuh ke arah yang salah.”

Liang Chen menghela napas, menatap pedangnya. “Niat...”

“Ya.” Guru Kui Xing menatap bintang di langit. “Asura Pertama menghancurkan dunia karena ia kehilangan arah. Ia berpikir kekuatan adalah jawaban, padahal kekuatan hanyalah alat. Itulah mengapa aku menuntunmu, Chen’er. Agar pedangmu tidak menjadi kutukan yang sama.”

Hening sesaat. Hanya angin yang berputar di antara mereka. Liang Chen menatap gurunya lama, lalu menunduk dalam. “Guru, aku berjanji. Pedang ini tidak akan menjadi alat kehancuran. Ia akan menjadi penegak keadilan, dengan darahku sebagai jaminan.”

Guru Kui Xing menatapnya dengan pandangan berat, lalu mengangguk. “Keadilan yang kau cari akan membawamu jauh, tapi ingat: semakin tinggi kau terbang, semakin keras dunia akan menjatuhkanmu. Pastikan saat jatuh nanti, pedangmu tetap di tanganmu.”

Liang Chen tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku akan belajar terbang sambil menggenggam pedang.”

Guru Kui Xing tertawa pelan, suaranya bergema di tengah kabut malam. “Kau punya lidah yang tajam, seperti pedangmu. Baiklah, Pelajaran Hari Ini selesai.” Ia berjalan ke arah pondok. “Mulai besok, kau akan berlatih menyalurkan gerakan ini sambil bergerak. Bintang Jatuh tidak berhenti di langit diam. Ia menari di tengah badai.”

Liang Chen menatap punggung gurunya yang mulai menjauh. Ia menunduk pada Kesunyian Malam yang kini beristirahat di tangannya. Bilah hitam itu tampak hidup, seolah mendengarkan setiap detak jantungnya.

“Mulai sekarang,” bisiknya pelan, “kau dan aku akan belajar menghancurkan hanya apa yang pantas dihancurkan.”

Ia mengangkat wajahnya ke langit. Bintang yang tadi satu kini bertambah, berjajar di langit malam, berkelap-kelip seperti mata yang menonton dari atas. Liang Chen berdiri di bawahnya, tubuhnya diselimuti cahaya samar merah dari Energi Pembantaian yang telah terkendali sepenuhnya.

Dalam diam, ia tahu sesuatu telah berubah di dalam dirinya. Dendamnya kini tidak lagi membara liar. Ia telah menjadi bahan bakar yang tertata, api yang bisa diarahkan.

Guru Kui Xing berhenti di ambang pondok, menatap muridnya sekali lagi. “Bagus, Chen’er. Kau telah menyalakan bintang pertamamu. Sekarang waktunya membuat langitmu sendiri.”

Liang Chen menunduk dalam-dalam. “Aku akan melakukannya, Guru.”

Malam pun menutup bab itu dengan tenang. Di langit, bintang-bintang berkilau lebih terang, seolah memberi restu kepada murid muda yang baru saja belajar bagaimana membuat bintang jatuh tanpa kehilangan dirinya.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!