Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Ratu Sejagad Bintang
“Namun, apa kegunaan Permata Telaga Bintang itu, Guru?” tanya Titir Priya bernada lembut kepada Sambar Bintang.
“Aku yakin putri kalian ini sudah menjadi manusia abadi. Namun, aku tidak mengetahui segala pengetahuan. Mungkin saja ada hal tidak aku ketahui yang membatalkan pengetahuanku. Jadi, Permata Telaga Bintang ini bertujuan sebagai penguat,” jelas Sambar Bintang tanpa rincian, tidak seperti daftar belanjaan emak-emak.
Kakek berpakaian serba hijau tua itu lalu maju dan berhenti hanya sejangkauan tangan dari Ani Saraswani yang masih berlutut.
Tanpa berkata-kata lagi, Sambar Bintang lalu menempelkan permata biru di tangannya ke tengah-tengah dahi putih bersih Ani Saraswani. Gadis cantik jelita itu hanya diam, seolah-olah pasrah dengan mata tetap terbuka.
Posisi itu tiba-tiba membuat Ani Saraswani teringat satu wajah lelaki tampan berbibir merah. Wajah yang pernah menikmati bibir dan wajah cantiknya di malam pertama pernikahannya. Gambar adegan itu, bahkan rasanya, sangat teringat di mata benak Ani. Meski demikian, wajahnya tetap dingin sebeku patung es.
Cass!
Ingatan itu seketika buyar saat jari Sambar Bintang menekan Permata Telaga Bintang agar lebih melekat di dahi Ani Saraswani. Tekanan itu membuat sepasang mata si gadis menyala biru, tapi hanya sejenak. Persis seperti kendaraan modern yang menyala ketika kuncinya dipasang.
Meski Permata Telaga Bintang sempat bersinar lebih terang dan sepasang matanya menyala biru, tetapi Ani tidak merasakan sakit atau hawa apa pun. Seperti minum teh tawar, rasanya tidak semanis warnanya.
Akhirnya sinar pada liontin dan mata Ani padam. Permata Telaga Bintang sudah tidak bersinar lagi, tapi keberadaan permata itu kian mempercantik ratu yang sudah mati itu. Namun, ada yang berbeda dengan sepasang mata gadis itu.
Kini sepasang mata itu terkesan lebih menarik karena pupilnya berubah warna menjadi biru muda. Warna hitamnya hanya setitik di tengah. Ani tidak tahu itu.
“Apakah sekarang pandanganmu normal, Ani?” tanya Sambar Bintang pelan kepada si gadis. Dia tidak perlu bicara keras karena Ani hanya sejangkauan di depannya.
Terkesiap sepasang mata biru indah itu seusai mendengar pertanyaan si kakek. Pasalnya, Ani Saraswani melihat dua pemandangan. Satu pemandangan nyata yang ada di depannya, yang satu lagi pemandangan yang samar seperti bayangan hologram.
“Aku melihat pemandangan lain yang tidak senyata tempat ini. Ada dua makhluk besar bukan manusia dan bukan binatang,” jawab Ani Saraswani.
“Pemandangan lain yang kau lihat adalah Telaga Bintang. Dua makhluk itu adalah dua Raja Bintang yang aku penjarakan di dalam Telaga Bintang. Dia sudah menjadi budak. Nanti kau akan bisa memperjelas pandanganmu dan bisa berbicara dengan mereka. Dengan Permata Telaga Bintang ini, kau akan bisa memenjarakan makhluk siluman atau jin dan sejenisnya. Jika mereka sudah terpenjara, maka mereka akan menjadi budakmu. Aku tidak perlu mengajarimu caranya, nanti kau akan mengetahui sendiri dan menguasai cara mainnya,” jelas Sambar Bintang agak panjang.
“Terima kasih, Guru,” ucap Ani.
Galang Digdaya yang sudah kehilangan ketajaman pendengarannya, tidak mampu mendengar jelas apa yang dibicarakan oleh guru dan putrinya.
“Karena kau sudah aku anugerahi Permata Telaga Bintang, maka kau aku anugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang!” seru Sambar Bintang dengan suara kencang, terkesan dia memang sengaja agar semua orang yang berada di tempat terpencil itu mendengar. Lalu katanya lagi, “Gelar keratuanmu kelak akan membuatmu kembali menjadi seorang ratu yang jauh lebih berkuasa. Kau akan menjadi wanita yang tidak terkalahkan. Aku jamin itu. Jika ternyata aku salah, aku akan berhenti menjadi lelaki muda.”
“Sumpah apa itu, Guru?” celetuk Galang Digdaya sewot.
“Hahahak…!” tawa terbahak Sambar Bintang.
Sementara di posisi yang jauh, Surina dan kelompok pengawalnya sudah tertawa lebih dulu, tetapi tidak pakai speaker karena khawatir tawa mereka justru membuat sang guru tersinggung. Faktanya justru kakek bungkuk itu tertawa jauh lebih heboh.
Nyai Bale dan Cira Keling hanya tersenyum melihat si kakek tertawa.
“Sudah selesai. Sekarang pergilah, kerjakan apa yang kalian mau!” teriak Sambar Bintang sambil berbalik meninggalkan Ani Saraswani.
Si kakek lalu melakukan gerakan tangan seperti menggenggam sesuatu di udara tanpa terlihat ada sesuatu yang digenggam.
Prak prak prak…!
Kecuali Sambar Bintang, semuanya dikejutkan oleh suara pecah sesuatu yang banyak sekali. Seperti suara petasan pengantin sunat, tapi bukan pengantin yang disunat.
Mereka kompak menengok dengan ekspresi wajah terkesiap setelah melihat apa yang meledak dan insiden apa yang berlaku. Terlebih-lebih Cira Keling yang doyan kepeng.
Di kediaman Sambar Bintang ada lima pohon randu yang tinggi. Dua pohon terbesar dan tertinggi dianggap sebagai bapak dan ibu, sementara tiga pohon lainnya dianggap anaknya.
Uniknya, semua pohon memiliki banyak batok kelapa utuh yang menggantung menggunakan benang. Nah, kelapa-kelapa itulah yang berledakan tanpa terlihat ada yang meledakkannya. Muncullah ratusan kepeng yang tersimpan di dalam para batok kelapa.
Saking banyaknya koin-koin kepeng emas dan perak yang berjatuhan, sampai-sampai area rumput di bawah kelima pohon randu tersebut dipenuhi oleh tumpukan koin emas dan perak.
Sekedar info, itu adalah harta simpanan Kerajaan Pasir Langit yang hanya diketahui oleh Galang Digdaya selaku mantan raja kerajaan tersebut. Harta itu disimpan secara rahasia. Selain Galang Digdaya dan Sambar Bintang, hanya beberapa prajurit khusus yang tahu tentang harta rahasia tersebut. Rencananya, Galang Digdaya akan menggunakan harta tersebut sebagai modal untuk membangun kekuatan dan merebut kembali kerajaannya.
“Surina, kumpulkan semua kepeng itu!” perintah Galang Digdaya.
“Baik, Gusti!” sahut Surina patuh.
Wanita berusia kepala tiga itu lalu mengajak rekan-rekannya untuk bekerja mengumpulkan kepeng-kepeng emas yang berserak. Pastinya itu pekerjaan yang menyenangkan.
“Mohon maaf, Gusti,” ucap Cira Keling seraya menjura hormat dari tempatnya. Dia sangat gemas ingin menyentuh kepeng emas sebanyak itu. “Itu sangat banyak, apakah aku tidak diperkenankan untuk membantu?”
“Tidak. Kau hanya akan menyentuh kepengmu sendiri setiap puncak purnama,” jawab Galang Digdaya yang membuat Cira Keling menarik kedua sudut bibirnya tanda kecewa.
Di saat para pengawal perempuan sedang mengumpulkan harta tersebut, Sambar Bintang melakukan rapat khusus dengan Galang Digdaya, Titir Priya dan Ani Saraswani.
Meski meyakini tidak akan ada manusia lain yang mengancam di wilayah yang diangkeri tersebut, Nyai Bale dan Cira Keling tetap ditugaskan untuk berjaga.
“Kesaktian Ani sudah mumpuni untuk bisa membalas dan merebut kembali Pasir Langit. Lebih baik Ani menyerang langsung ke Ibu Kota,” kata Galang Digdaya merujuk pada ibu kota Kerajaan Pasir Langit.
“Tapi kesaktian Ani masih sangat baru. Apakah tidak berbahaya jika terburu-buru?” kata Titir Priya.
“Setidaknya Ani harus memiliki satu pasukan. Lihatlah, kalian semua wanita. Kau tidak usah ikut-ikutan mengikuti putrimu, Galang. Kau tinggal di sini saja. Mungkin masih ada cara untuk memberimu kesaktian,” kata Sambar Bintang.
“Baik, Guru,” ucap Galang Digdaya patuh. Lalu katanya, “Kau bisa mengambil pasukan perbatasan, Ani.”
“Baik, Ayahanda,” ucap Ani Saraswani yang kini telah memakai pakaian warna kuning yang lebih tertutup.
“Jadikan Nyai Bale sebagai orang kepercayaanmu,” kata Sambar Bintang menyarankan.
“Baik, Guru,” ucap Ani lagi.
“Kau telah dinobatkan sebagai Ratu Sejagad Bintang. Kau harus mengubah penampilanmu agar lebih layak dan lebih berwibawa di mata semua pihak,” kata Titir Priya.
“Benar itu. Jangan seperti ayahmu. Hahahak…!” kata Sambar Bintang lalu tertawa terbahak sendiri.
Galang Digdaya hanya menarik kedua sudut bibirnya dengan pandangan malas kepada gurunya.
“Lebih baik kita pergi dulu ke Perguruan Tunas Mahkota untuk mencari tahu keberadaan Tirta Gambang,” usul Titir Priya, menyebut nama putranya yang menghilang saat terjadi perang di Kerajaan Pasir Langit.
“Tidak usah mengurusi anak itu lagi,” tolak Galang Digdaya.
“Bagaimanapun Tirta adalah anak yang aku lahirkan, Kakang Prabu,” kata Titir Priya dengan nada agak meninggi. “Aku akan pergi sendiri ke Perguruan Tunas Mahkota untuk mencari Tirta.”
“Terserah kau!” kata Galang Digdaya dengan wajah merajuk.
“Sayang sekali di sini tidak ada kamar untuk menyelesaikan masalah suami istri. Hehehe!” celetuk Sambar Bintang yang direaksi oleh Titir Priya dengan senyuman kecut. (RH)