Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Lima
Dua puluh menit berlalu sejak Brian meninggalkan UKS, meninggalkan ruangan yang sunyi dan hanya diisi oleh suara kipas tua yang berputar dengan lambat di langit-langit. Ketika engsel pintu kembali berderit, Qilla refleks membetulkan posisi tidurnya dan memejamkan mata rapat-rapat, berharap itu Brian yang kembali.
Tapi harapannya langsung buyar seketika ketika suara yang masuk bukan suara pria datar yang biasa dia dengar dari Brian.
"Qilla, bangun sebentar ya," ucap siswa laki-laki itu lembut, sambil meletakkan obat dan segelas air di meja kecil di sebelah ranjang Qilla. "Ini ada obat dari Ibu Azizah. Beliau bilang kamu pusing, jadi harus diminum sekarang. Bu Azizah lagi sibuk, jadi gue yang disuruh anterin."
Qilla membuka matanya perlahan, dan wajahnya terlihat kecewa. "Oh... iya, makasih," gumamnya dengan senyum tipis, tanpa semangat.
Siswa itu tersenyum kecil melihat wajah qilla yang ternyata lebih manis dari yang dia bayangkan. Qilla memang dikenal sebagai siswi yang bandel, brandalan, manis, cantik, dan menggemaskan. Banyak yang menyukainya, tapi tak satu pun yang berhasil menaklukkan hati gadis brandalan itu.
"Sama-sama, jangan lupa diminum ya," ucapnya. Qilla hanya mengangguk singkat sebagai respons.
"Yaudah, gue pernah dulu. Semoga cepat sembuh," ucapnya lagi.
"Terima kasih," balas Qilla. Siswa itu hanya tersenyum dan melambaikan tangan sebelum menghilang dari ruangan.
Begitu siswa itu pergi dan pintu tertutup kembali, Qilla mendesah panjang dan berat, seperti hidupnya sendiri yang penuh beban. Pandangannya mengarah ke langit-langit ruangan, seolah mencari jawaban atau pelarian dari segala yang membelenggu pikirannya.
"Mas Brian tuh ya... kenapa nggak bisa romantis dikit aja? Nggak usah berlebihan, cukup manggil gue sayang atau istri aja pas di sekolah. Masa iya, kayak orang asing terus?" gerutunya pelan, dengan nada suara yang lebih kesal daripada sedih.
Gadis itu memeluk boneka kelinci kecil di sisi ranjang, Qilla menempelkan pipinya ke kepermukaan yang dingin, mencari kenyamanan dalam keheningan. Wajahnya memancarkan rasa sebal dan frustasi, seolah semua kekesalannya tidak ada habisnya.
"Kesal banget, sumpah! Gue ini istrinya, lho. Bukan mantan, bukan orang asing, bukan orang yang bisa diperlakukan kayak gitu aja. Tapi sikapnya? Datar, dingin, kayak nggak kenal sama sekali, anjir. Masa iya, di sekolah kayak gini terus? Cik, parah banget!" gerutunya sambil mengerucutkan bibirnya, hampir seperti merajuk pada udara.
Setelah diam sebentar, Qilla tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya. Dengan gerakan malas, dia minum obat yang ada di depannya, lalu meraih tas kecilnya dengan tangan yang masih terlihat lesu.
"Udah ah, ngarep dia balik kayak nungguin chat balasan yang nggak bakal datang. Mending gue pulang, istirahat sambil mikirin kenapa gue bisa jatuh cinta sama makhluk es kayak dia," gumamnya pelan, dengan nada yang terdengar lelah dan kesal.
Qilla pun melangkah keluar dari UKS, meninggalkan ruangan dengan hati yang masih penuh kesal dan jengkel, serta sedikit rasa kecewa yang tak terucap.
Beberapa menit setelah Qilla meninggalkan UKS, Ibu Azizah kembali masuk ke ruangan sambil membawa botol obat cair dan termometer baru. Namun, guru itu terkejut saat mendapati ranjang yang sudah kosong, tanpa tanda-tanda Qilla masih ada di sana.
"Lho, Qilla kemana?" Ibu Azizah bertanya pada dirinya sendiri, kemudian dengan cepat keluar dari UKS untuk mencari gadis itu.
Tak lama kemudian, Brian kembali dengan langkah santai. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, namun sorot matanya langsung tertuju pada Ibu Azizah yang tampak panik. Wanita paruh baya itu sibuk mencari sesuatu, raut wajahnya dipenuhi kegelisahan. Kerutan di dahinya memperjelas kecemasan yang sulit disembunyikan.
"Bu Azizah, bagaimana kondisi Qilla?" tanya Brian tanpa menyinggung apa pun yang sedang dilakukan wanita paruh baya itu. Brian memang bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan yang bukan kepentingannya.
"Itu dia, Pak. Barusan saya masuk ke UKS, tapi dia sudah tidak ada. Saya tadi menyuruh salah satu siswa untuk membawakan obat untuknya, tapi sekarang entah ke mana," jelas Bu Azizah dengan wajah gelisah.
Brian menghela napas berat. Tanpa banyak bicara, pria itu segera mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik cepat.
> "Kamu di mana?"
Tak ada balasan. Ekspresinya mulai menunjukkan kekhawatiran, meskipun sikapnya tetap tenang seperti biasanya. Dengan langkah cepat namun penuh kendali, Brian memeriksa setiap ruangan satu per satu.
Setelah memastikan bahwa Qilla tidak ada di lingkungan sekolah, pria itu segera keluar dan berjalan cepat menuju mobilnya.
"Astaga... sayang, kamu di mana?" gumamnya pelan, matanya mulai menunjukkan kecemasan.
Tanpa menunda lebih lama, Brian menyalakan mesin dan membawa mobilnya keluar dari area parkiran sekolah, melaju dengan kecepatan terkontrol, seolah waktu tak ingin memberinya kesempatan untuk tenang.
***
Di sisi lain.
Qilla sudah berada di dalam kamarnya. Gadis itu berbaring sambil menatap langit-langit. Matanya sayu, tubuh masih terasa lelah, dan pikirannya tak menentu. Ponselnya tergeletak di meja, dalam mode senyap—tak dia sentuh sejak tadi.
"Mengapa semuanya harus seperti ini?" gumamnya lirih, sambil menarik selimut hingga menutupi bahu. Qilla merasa kesal dan sedih, tapi berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.
Beberapa menit kemudian, suara mobil terdengar berhenti di depan rumahnya.
Qilla bangkit perlahan dan mengintip dari balik gorden. Matanya langsung membulat saat melihat siapa yang keluar dari mobil.
Brian.
Qilla buru-buru kembali ke tempat tidur, menutup mata, berpura-pura tidur meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Terdengar ketukan pelan di pintu, disusul suara ibunya dari luar kamar.
"Qilla, suami kamu datang, nak. Dia nyariin kamu."
Qilla menoleh cepat ke arah pintu, lalu berteriak pelan, panik sendiri. "Bilang aja aku tidur, Bu!"
Tapi belum sempat nyonya Bella membalas, pintu kamarnya sudah terbuka perlahan. Brian masuk sambil membawa tas sekolah milik Qilla yang tertinggal di kelas.
Tatapannya langsung jatuh pada sosok istrinya yang setengah pura-pura tidur, setengah benar-benar merasa tak enak badan.
"Lain kali kalau mau pulang sendiri, kabarin mas, sayang. mas bukan cenayang, jadi mas nggak bisa tahu kalau kamu pergi tanpa bilang."
Qilla membuka mata, menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara kesal dan rindu.
"Aku capek... dan sepertinya mas nggak pernah benar-benar mengerti aku," ucapnya pelan dengan suara yang bergetar.
Brian meletakkan tas Qilla di meja, lalu duduk di sisi ranjang. Pria itu menarik napas, menatap Qilla dalam-dalam.
"Mas sangat mengerti, sayang. Tapi mas mungkin tidak pandai menunjukkannya. Mas ada di sini bukan sebagai guru kamu, tapi sebagai suami kamu. Mas khawatir sama kamu, sayang."
Qilla tertunduk. Tak ada balasan. Hanya keheningan yang terasa berat di antara mereka.
Brian berdiri, bersiap untuk pergi. Tapi sebelum melangkah keluar, pria itu menoleh kembali.
"Kamu itu keras kepala. Tapi justru itu yang bikin mas jatuh cinta sama kamu," ucapnya, sambil tersenyum lembut. "Istirahat ya, istriku yang cantik."
Dan seperti biasa… Qilla hanya bisa terdiam. Pipinya merona, dadanya sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal, malu, dan makin jatuh cinta.