Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05
Singgih menyusuri jalan kecil di antara pepohonan yang menjulang. Sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Daisy masih mengikutinya, meski dengan jarak yang tertinggal jauh.
Wajah Daisy memucat. Rasa-rasanya ia tak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Kakinya melemah; dan ketika pijakannya tak lagi kuat, tubuhnya doyong ke depan; tahu-tahu dalam gerakan cepat Singgih berhasil menangkap lengan Daisy.
"Kita istirahat dulu."
"Nggak..." Daisy menggeleng. "Gimana kalau penculik itu menangkapku lagi?"
"Aku yang akan menghadapi mereka."
"Harusnya tadi kamu hadapi mereka. Daripada lari begini. Bikin capek. Dan, sekarang kita tersesat," lenguh Daisy.
Daisy kembali berjalan, tetapi langkahnya menjadi limbung. Sekali lagi Singgih menangkap kedua lengan Daisy.
"Masih bisa jalan?"
"Masih." Daisy menunjukkan sikap kesal tak kentara.
Singgih membiarkan Daisy berjalan sendiri hingga di beberapa langkah kecil ke depan, tubuh Daisy terhuyung dan terduduk di atas tanah. Terdengar gerutuan dari gadis itu.
"Mama... aku mau pulang..." rengek Daisy.
Singgih berjongkok dengan punggung membelakangi Daisy. "Naik."
"Aku masih bisa jalan..."
"Oke." Singgih mengangguk paham. "Kalau jatuh harus bangun sendiri. Aku nggak akan membantumu."
Tangan Daisy meraih lengan Singgih yang hendak beranjak berdiri. "Bantu aku."
Singgih kembali berjongkok. Senyum tipis mengembang dari balik bahunya.
Daisy mulai melingkarkan lengan di bahu Singgih. Sejurus kemudian ia sudah berada di punggung laki-laki itu. Ini pertama kalinya ia digendong oleh laki-laki. Tubuhnya mendadak kaku dan...
Deg-degan macam apa ini?
Mengutip dari kata-katanya Gendis, katanya, kalau jantung berdegup kencang karena seorang laki-laki, dan itu merupakan salah satu gejala jatuh cinta.
Daisy tertawa mencemooh dalam batin. Membantah tegas pada dirinya bahwa tak mungkin hatinya secepat ini menambat pada seorang laki-laki. Rasanya tak mungkin juga kan, ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Daisy mengamati Singgih. Tanpa sadar ia bernapas di balik telinga Singgih yang sontak membuat Singgih meremang geli.
"Hei." Suara Daisy memecah keheningan hutan. "Daripada membawaku ke kantor polisi, mending bawa aku ke tempat makan. Dari kemarin aku belum makan. Pagi tadi cuma makan roti. Itu juga belum kenyang," curhatnya. "Terus aku harus berlari. Udah kayak orang lari maraton aja. Makanya aku capek banget. Kakiku gemetaran. Dan, sekarang kepalaku pusing."
Tahu-tahu Daisy menyandarkan kepalanya di atas bahu Singgih.
Singgih mengesiap kaget. Meski tak nyaman, tetapi ia membiarkan gadis itu bersandar di bahunya.
"Aku bisa membuatkanmu masakan seadanya. Itu pun kalau kamu mau."
"Mau..." Suara Daisy terdengar menipis di keheningan hutan. "Kok aku malah ngantuk begini...?"
Mata Daisy memejam dengan sendirinya.
*
Singgih mengamati Daisy yang tidur di atas ranjang melalui ambang pintu. Merasa yakin bahwa gadis itu baik-baik saja, ia lantas menutup pintu dari luar.
"Berikan tepuk tangan buat pahlawan kita." Reas bertepuk tangan dari arah meja makan.
Singgih tak suka dengan lelucon Reas. Ia menarik kursi di depan Reas. "Dia menawariku seratus juta kalau membebaskannya dan memberikan tambahan seratus juta lagi kalau aku bisa mengantarnya pulang."
"Woow." Takjub Reas. "Dia pasti anak orang kaya. Dengan uang segitu kamu bisa ke Jerman." Mendadak ia jadi antusias.
Ekspresi datar Singgih menyiratkan bahwa ia ragu dengan usulan rencana Reas. Bertahan di sini aja sulit, apalagi harus bertahan di negeri orang. Sama aja aku mencari jarum di tumpukan jerami.
"Tahu nggak?" Reas menggigit ketan bakar. "Kita datang jauh-jauh dari Semarang ke sini, terus kamu ketemu gadis dua ratus juta itu." Ia menelan kunyahannya. "Itu namanya takdir."
Singgih mengambil ketan bakar, menggigitnya, lalu mengunyah perlahan sembari berpikir.
"Semua jalan dan yang kita lakukan sudah diatur oleh Allah. Kalau kita nggak ke sini, kamu nggak akan bisa bertemu dengan cewek dua ratus juta itu. Artinya, kamu diberikan jalan untuk menemukan Ajeng."
Kepala Singgih mengangguk membenarkan perkataan Reas.
Sebulan lalu, setelah Singgih kembali dari Jakarta, ia tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Tapi kali ini ia bekerja lebih keras untuk mengumpulkan uang demi bisa ke Jerman mencari Ajeng.
Seminggu lalu, Singgih dan Reas mengangkut dan mengantar barang ke rumah Nek Ipon―kerabatnya Fadil, sekaligus untuk membantu Nek Ipon yang tinggal seorang diri.
"Aku bergabung ke grup sekolah dan bertanya-tanya tentang Ajeng. Mereka hanya bilang kalau Ajeng mengambil sekolah kedokteran, lalu pindah ke Jerman. Hanya itu yang mereka tahu. Katanya, Ajeng juga memutus kontak dengan teman-temannya."
"Tahu kenapa Ajeng menghilang begitu saja?"
Singgih menuntut penjelasan Reas.
"Karena dia merasa bersalah."
"Yaah, dan dia berhasil membuat hidupku sepahit ini." Singgih tersenyum getir.
"Ajeng dan Rolan sudah terlalu lama hidup enak. Sekarang saatnya kamu meminta hakmu. Kamu pernah bilang ingin hidup tenang dan mendapatkan pekerjaan, kan? Setiap rakyat di negeri ini berhak mendapatkan keadilan." Reas mengobarkan api semangat. "Ingat, Gih. Aku akan selalu mendukungmu."
"Makasih."
"Aku selalu ada untukmu."
"Aah, geli." Singgih meremang geli.
Reas mengekeh.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨