NovelToon NovelToon
七界神君– Dewa Penguasa Tujuh Dunia

七界神君– Dewa Penguasa Tujuh Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan / Perperangan
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.

Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.

Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.

Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Xuanyan menatap pria berambut merah itu dengan penuh kewaspadaan. Tangannya diam di atas meja, namun pikirannya bekerja cepat. Perlahan ia alirkan Qi ke matanya, mencoba memeriksa aura tubuh orang itu.

Tidak ada yang aneh.

Tidak ada fluktuasi Qi iblis.

Bahkan… pria itu tampak sangat normal, tenang, penuh dengan hawa manusia biasa.

Xuanyan menghela napas pelan dalam hati.

“Mungkin aku terlalu khawatir. Banyak orang datang dan pergi di Linhai… hanya karena rambutnya merah, aku tak boleh buru-buru menuduh.”

Ia kembali menunduk, menyelesaikan semangkuk mie pedasnya dengan tenang. Rasa pedas yang membakar lidahnya justru membuat pikirannya lebih jernih.

Tak lama, pria berambut merah itu berdiri, melangkah keluar kedai dengan santai. Langkahnya ringan, tidak seperti seorang kultivator, melainkan benar-benar seperti rakyat biasa.

Xuanyan menoleh ke arah dapur. “Rou.”

Gadis itu segera menghampirinya dengan wajah tersenyum. “Ada apa, Xuanyan?”

“Tadi, orang yang barusan keluar… siapa dia?”

“Oh, itu Tuan Mo Yun.” Lian Rou menepuk kedua tangannya sambil tersenyum kagum. “Dia seorang penyair. Kadang datang ke kedai ini, bahkan pernah membuatkan syair untukku.”

Xuanyan mengangkat alis. “Syair?”

Wajah Lian Rou memerah. Ia menggigit bibir, tampak malu. Namun setelah ditunggu sejenak, ia akhirnya mengucapkan dengan suara pelan, seperti merapal doa:

“Bunga muda yang baru mekar, lembut merekah di bawah sinar bulan.

Belum ternoda oleh angin, belum layu oleh hujan.

Pesonanya tak tertandingi, segar dan murni,

menanti tangan yang tepat untuk memetiknya dengan hati.”

Xuanyan terdiam. Kata-kata itu terdengar indah, bahkan ia pun bisa merasakan pesona dari bait tersebut. Namun ada sesuatu yang menusuk hatinya… perasaan tak nyaman.

Ia tersenyum samar. “Indah sekali. Terima kasih, Rou.”

Dengan cepat ia merogoh kantong, mengeluarkan beberapa koin perak, lalu meletakkannya di meja. “Untuk makanannya.”

Rou buru-buru menggeleng. “Tidak usah sebanyak itu! Kau sudah cukup…”

Namun Xuanyan hanya tersenyum tipis dan berdiri. “Anggap saja hadiah kecil. Semoga suatu hari nanti kau bisa benar-benar berkelana.”

Wajah Rou memerah, matanya berbinar. “Kalau begitu… datanglah lagi ya, Xuanyan.”

Xuanyan hanya mengangguk, lalu melangkah keluar dari kedai.

Udara malam masih ramai dengan obrolan warga. Dan di sana—di depan kedai—Xuanyan kembali melihat pria itu. Mo Yun, si penyair berambut merah, sedang membeli manisan dari seorang pedagang tua.

Ia tampak akrab, bercanda ringan dengan pedagang itu. Sesekali, beberapa gadis muda yang lewat berhenti hanya untuk mendengarnya bersyair. Suara Mo Yun merdu, setiap bait yang ia lantunkan membuat orang-orang terpesona.

“Remaja bak kuncup mawar,

harum dan segar, penuh harapan.

Dunia keras, namun engkau lembut,

biarlah syair melindungimu dari luka.”

Warga bertepuk tangan kagum. Bahkan beberapa gadis remaja tampak tersipu, wajah mereka merah padam.

Xuanyan menatapnya lama. Ia pun hampir ikut larut dalam keindahan syair itu. Tapi kemudian—hatinya bergetar.

Di balik keindahan itu, ia merasakan sesuatu. Sangat tipis, hampir tak terdeteksi, tapi jelas.

Setiap bait syair yang diucapkan Mo Yun… membawa jejak Qi iblis yang samar.

Mata Xuanyan menyipit. “Jadi… memang bukan halusinasiku.”

Ia menunggu sebentar, lalu akhirnya melangkah maju.

“Permisi, Tuan.”

Mo Yun menoleh dengan senyum ramah. Rambut merahnya memantulkan cahaya lampion, membuatnya tampak seperti api yang menari di kegelapan. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan muda?”

Xuanyan menatapnya tajam. “Seorang penyair… kenapa datang ke kota kecil seperti Linhai? Bukankah dunia luar lebih ramai?”

Mo Yun terkekeh pelan. “Sudah menjadi tugasku menyebarkan kebahagiaan. Aku lahir di desa kecil, jadi… bukankah sewajarnya aku membalas budi pada tempat-tempat sederhana seperti ini?”

Nada suaranya hangat, tulus, membuat orang-orang di sekitarnya makin mengaguminya.

Xuanyan menatapnya lekat-lekat. “Aku dengar syairmu… ada makna khusus di baliknya?”

“Oh?” Mo Yun tersenyum lebih lebar. “Kau juga pecinta syair rupanya. Hm… syair tentang bunga muda yang baru mekar. Aku menyukainya, karena bunga muda lebih indah, segar, dan… memiliki ketertarikan sendiri.”

Xuanyan terdiam. Kata-kata itu terdengar biasa… namun di telinganya, terasa menjijikkan. Karena ia teringat korban-korban Meiyun: gadis muda, perawan, semua masih segar, semua ‘bunga muda’.

Ia menatap wajah Mo Yun yang tetap berseri-seri. Namun semakin lama ia menatap, semakin kuat perasaan aneh itu tumbuh.

“Ada apa, Tuan muda?” Mo Yun memiringkan kepala, tampak kebingungan.

Xuanyan menggeleng perlahan. “Bukan apa-apa.”

“Ah.” Mo Yun tersenyum lagi. “Kalau begitu, maafkan aku. Aku harus pamit, ada jadwal membacakan syair di tempat lain. Semoga kita bertemu lagi.”

Ia membungkuk ringan, lalu melangkah pergi dengan anggun.

Warga masih menatapnya penuh kagum, beberapa gadis bahkan berlari kecil mengikutinya sambil tertawa riang.

Xuanyan berdiri di tempatnya, wajahnya tanpa ekspresi. Namun di sudut bibirnya… tersungging senyum tipis.

Karena saat Mo Yun berbalik untuk terakhir kalinya, Xuanyan melihatnya jelas—

di mata pria itu, sesaat tampak cahaya merah gelap, seperti kobaran api neraka yang hanya bisa dilihat oleh mata seorang kultivator.

Xuanyan melangkah mengikuti Mo Yun dari kejauhan. Malam semakin larut, dan lampion-lampion di sepanjang jalan bergoyang tertiup angin malam. Keramaian kota Linhai mulai mereda, menyisakan suara serangga dan langkah kuda pedati yang melintas.

Mo Yun berjalan santai, sesekali menyapa warga yang masih beraktivitas. Senyumnya ramah, tutur katanya halus, seolah ia adalah pria sempurna tanpa cela. Namun justru itulah yang membuat Xuanyan semakin waspada.

“Manusia biasa tidak bisa menyembunyikan Qi iblis. Bahkan kultivator pun akan kesulitan melakukannya dengan sempurna. Namun pria ini… dia menutupinya seolah-olah itu hal alami.” Xuanyan menatap punggung Mo Yun sambil menahan napas.

Setelah beberapa saat, Mo Yun berhenti di depan sebuah penginapan yang cukup mewah untuk ukuran kota Linhai. Ia berbicara sebentar dengan resepsionis, lalu menaiki tangga menuju lantai atas.

Xuanyan menunggu sejenak, memastikan tidak ada yang memperhatikan, sebelum masuk ke penginapan itu. Namun saat ia melangkah ke dalam dan memandang ke arah tangga… sosok Mo Yun sudah tidak terlihat.

“Menghilang?” alis Xuanyan berkerut. Ia berjalan cepat menuju meja resepsionis.

“Permisi,” ucapnya datar, menatap resepsionis dengan sorot tajam. “Apakah ada orang berambut merah yang baru saja masuk ke sini?”

Resepsionis itu tampak sedikit terkejut, lalu tersenyum. “Ah, maksud Anda Tuan Mo Yun?”

Xuanyan mengangguk pelan.

“Beliau baru saja masuk ke kamar dan sedang beristirahat. Sudah menjadi rutinitasnya. Setiap malam ia kembali ke sini setelah berkeliling melantunkan syair.”

Xuanyan menyipitkan mata. “Asal-usulnya? Dari mana ia datang?”

Resepsionis itu menegakkan badan, tampak senang bisa bercerita. “Tuan Mo Yun tiba di Linhai sekitar lima tahun lalu. Saat itu, kota ini sedang kacau karena serangan para kultivator iblis. Banyak orang ketakutan, tidak ada yang merasa aman. Tapi semenjak ia datang… segalanya berubah.”

“Berubah?” Xuanyan mengulang dengan nada datar.

“Benar,” resepsionis itu mengangguk mantap. “Setiap syair yang ia lantunkan membawa ketenangan. Orang-orang yang tadinya takut keluar rumah kini bisa tersenyum lagi. Bahkan banyak warga berkata, Tuan Mo Yun jauh lebih berguna daripada asosiasi kultivator yang seharusnya melindungi kota ini.”

Xuanyan terdiam. Semakin banyak yang ia dengar, semakin besar rasa tidak percayanya. Bagaimana mungkin seorang penyair biasa bisa membawa rasa aman yang seharusnya lahir dari pedang dan kekuatan?

“Apakah dia kultivator?” Xuanyan akhirnya bertanya.

Resepsionis tertawa kecil, menggeleng. “Tidak sama sekali. Beliau sendiri pernah bilang, ia tidak memiliki bakat untuk menjadi kultivator. Setiap hari hanya berkeliling kota, membacakan syair, lalu pulang beristirahat. Kehidupannya sederhana, tulus, dan tidak pernah menuntut apa pun.”

Kata-kata itu terdengar jujur. Bahkan tatapan resepsionis penuh rasa hormat dan kekaguman. Xuanyan bisa merasakannya—itu bukan kebohongan.

Ia menghela napas pelan, lalu mengeluarkan beberapa keping perak, meletakkannya di meja. “Untuk informasi ini.”

Resepsionis membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih, Tuan muda.”

Xuanyan menoleh ke arah lorong lantai atas, tepat ke pintu kamar yang disebut sebagai kamar Mo Yun. Ia berdiri beberapa saat, tatapannya tajam, seolah mencoba menembus pintu itu dengan mata batinnya.

Namun setelah cukup lama, ia berbalik dan keluar.

Saat langkahnya menjauh dari penginapan, Xuanyan bergumam dalam hati.

“Ini lebih sulit dari yang kupikirkan. Apa aku terlalu waspada? Mungkin dia benar-benar hanya penyair biasa… tapi tidak. Qi iblis yang kurasakan itu nyata, meski sangat samar. Tidak mungkin aku salah. Sesuatu sedang disembunyikan.”

Wajahnya berubah muram.

“Sebaiknya aku kembali. Aku perlu bertanya pada Meiyun soal Yan Mo lebih lanjut. Jika benar ada kaitannya, aku tidak boleh terlambat.”

Xuanyan mempercepat langkahnya, meninggalkan penginapan itu.

Di dalam kamar nomor tujuh lantai atas, lampu minyak redup menyinari ruangan sederhana. Tirai jendela tertutup rapat, angin malam berdesir lembut.

Mo Yun duduk di kursi kayu, jari-jarinya memainkan sebuah kipas lipat yang tampak usang. Ia tersenyum tipis, matanya memandang kosong ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Xuanyan.

“Bocah itu menarik,” bisiknya lirih. “Tatapannya tajam, hatinya jernih. Dia tidak mudah diperdaya oleh syairku.”

Ia menutup kipasnya perlahan, suara lipatan bambu terdengar jelas dalam kesunyian kamar. Senyumnya melebar, penuh arti.

“Sepertinya… dia mencurigai aku.”

Mata Mo Yun berubah gelap sejenak, sebelum kembali bersinar ramah seperti biasa.

"Tapi apa yang bisa dilakukan oleh bocah Qi Refining? Aku hanya akan bertindak seperti biasanya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!