Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan
Dalam pengamatan singkat, Luis menyimpulkan bahwa Rian lebih cocok disebut sebagai pihak luar.
Bisa jadi Rian adalah agen rahasia, pemburu bayaran, atau mungkin hanya seseorang dengan kepribadian eksentrik yang tersesat di tempat yang salah.
Namun, dugaan terkuatnya: Rian adalah agen dengan suatu misi. Dugaan tersebut segera langsung dikonfirmasi dari mulut Rian sendiri, tanpa keraguan.
“Kalau kau benar Luis Serra…” ucap Rian santai, menatap lurus ke arah pria itu. “Kau pasti seorang ilmuwan. Dan… bolehkah laki-laki tampan ini meminta Amber yang kau miliki?”
Luis mengangkat satu alis, ekspresinya sulit dibaca. Namun sebelum sempat membuka suara, Rian melanjutkan dengan nada tenang namun tetap lugas: “Kalau tak bisa memberikannya, setidaknya beri aku petunjuk… di mana aku bisa menemukannya?”
Luis masih diam, dan Rian menambahkan cepat, seolah mengantisipasi pertanyaan berikutnya, “Dan kalau kau bertanya, untuk apa aku menginginkan Amber… tentu saja bukan untuk sesuatu yang merugikan masyarakat.”
Saling melepaskan jabatan tangan, Luis menatap Rian dengan pandangan setengah penasaran, setengah curiga.
Namun ada kilasan ketertarikan di sana, bukan pada kata-kata Rian yang penuh percaya diri, melainkan pada informasi yang ia miliki.
Luis akhirnya menyelipkan pistol ke balik jaketnya dan bersandar kembali ke batang pohon, menghembuskan asap rokok dengan pelan. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.
"Amigo, kau aneh. Tapi jelas tidak ada kaitannya dengan Sadler… dan aku bisa menghargai seseorang yang bicara to the point," ujar Luis sambil menunjuk Rian dengan dua jari yang memegang rokok. “Amber bukan hal sembarangan. Tapi... aku bisa membantumu.”
Rian mengangkat alis, tertarik.
“Sebagai gantinya,” lanjut Luis, “kau harus menjamin satu hal: bawa aku keluar dari desa ini dengan selamat. Aku punya informasi penting… dan terlalu banyak yang ingin membungkamku.”
Rian tersenyum miring, menyilangkan tangan. “Laki-laki tampan ini bukan pengawal pribadi, tapi... baiklah. Ini menjadi kesepakatan kita."
Luis terkekeh pelan. “Kau memang bukan pengawal, tapi gayamu seperti agen kelas satu. Semoga aku tidak menyesal.”
"Kau tidak akan menyesal membuat kesepakatan dengan laki-laki tampan ini," jawab Rian tanpa ragu.
Sebenarnya, Luis telah lebih dulu membuat kesepakatan serupa dengan Ada Wong dan atasannya, dengan imbalan berupa Amber serta data penelitiannya.
Tindakannya ini bukan bentuk pengkhianatan, melainkan langkah pencegahan- sekaligus jaminan, meski pada akhirnya Amber mungkin akan menjadi perebutan antara pihak Rian dan Ada.
Namun, mengingat Rian tidak mempermasalahkan informasi tentang lokasi Amber, bekerja sama dengannya bukanlah pilihan yang buruk.
"Ah, iya… Luis," ucap Rian santai, menyelipkan tangan ke saku. "Boleh aku bertanya… di mana aku bisa mendapatkan senjata api dan walkie talkie? Untuk alasan tertentu, aku kehilangan keduanya."
Luis menghembuskan asap rokok dari sudut bibirnya, lalu melirik Rian sekilas. "Hmm… aku tahu tempat yang tepat untuk itu."
Ia menjentikkan abu rokoknya dan mulai melangkah pelan, nada suaranya tetap santai, "Ikut aku, amigo."
Tanpa banyak bicara, Rian mengikuti dari belakang. Sesekali Rian melirik sekeliling dan dari saku kemejanya sebuah cermin kecil ia keluarkan. Seperti biasa, Rian memandangi wajahnya sendiri dengan bangga.
"Masih tampan," gumamnya pelan, nyaris seperti sebuah ritual. "Walaupun aku belum menggunakan sedikitpun cream wajah hari ini."
Luis menoleh sedikit ke belakang dan tertawa kecil. “Kalau kau mati karena terlalu sering bercermin di tengah desa penuh monster ini, aku tak akan heran.”
"Setidaknya wajahku masih utuh saat ditemukan," jawab Rian datar, lalu menyimpan kembali cerminnya.
"Haha," Luis tertawa kecil, dan terdiam sejenak, memikirkan sesuatu dalam benak.
"Amigo… apa kau mau tau? sebenarnya aku sudah punya kesepakatan serupa dengan seseorang," kata Luis pelan. "Seorang wanita… dan atasannya. Bayarannya: Amber dan data penelitianku."
Rian hanya mengangkat alis sedikit, tidak terkejut.
“Tapi jangan salah sangka,” lanjut Luis, menyilangkan tangan dan menatap langit di sela pepohonan. “Aku bukan mengkhianati siapa pun. Aku hanya memastikan satu hal: asuransi. Di dunia seperti ini, satu pihak tidak pernah cukup.”
Luis menurunkan pandangan, menatap Rian lagi. “Lagi pula, kau tadi bilang tak keberatan hanya dengan informasi, bukan? Kalau itu cukup bagimu… aku tak keberatan bekerjasama. Selama satu syarat tetap berlaku.”
“Keluar dari desa ini dengan selamat?” tebak Rian.
Luis tersenyum miring. “Tepat. Kau tampaknya tipe orang yang bisa bertahan lebih lama dari sebagian besar orang yang kukenal.”
Rian membalas senyuman itu dengan anggukan santai. “Laki-laki tampan ini selalu siap berurusan dengan kekacauan… selama tidak merusak wajahnya.”
Luis terkekeh kecil. “Sial, ini akan jadi perjalanan yang menarik.”
***
Beberapa waktu kemudian, setelah menempuh perjalanan sambil sesekali mengobrol ringan, Luis dan Rian akhirnya sampai di sebuah tempat: sebuah dermaga tua yang tampak lusuh dan berbau amis menusuk hidung.
Mereka berdua berjongkok di balik rerumputan rimbun, mengamati situasi dari kejauhan. Dermaga itu tampak seolah masih aktif digunakan para nelayan, namun semua itu hanyalah kedok.
Para Ganado yang berkeliaran di sana sekadar berpura-pura menjalankan aktivitas normal.
"Ada sepuluh Ganado," gumam Luis, menatap tajam ke arah dermaga. "Seharusnya tak terlalu sulit… tapi sebaiknya kita hindari saja mereka dengan diam-diam."
Luis menoleh ke samping, menatap Rian sejenak. "Amigo, kau kehilangan senjatamu, bukan? Untuk berjaga-jaga, tetaplah di sisiku dan..."
Belum sempat Luis menyelesaikan kalimatnya, Rian sudah berdiri dan melangkah keluar dari persembunyian.
Luis membelalakkan mata. "Amigo! Apa yang kau lakukan?!"
Rian menoleh sedikit, menampilkan senyum tipis penuh percaya diri. "Kesepakatan awal adalah laki-laki tampan ini melindungimu sampai keluar dari desa… bukan sebaliknya."
Dengan tenang, Rian mengambil belati bayonet dari tas pinggangnya dan menggenggamnya di tangan kanan.
Tangan kirinya dengan perlahan melepas kacamata berlensa sangat gelap itu, memperlihatkan sepasang mata biru cerah yang memancarkan ketenangan… dan bahaya.
Kacamata berlensa sangat hitam itu kini tersangkut santai di kerah kemejanya saat Rian terus melangkah dengan tenang ke dermaga, seperti seseorang yang hendak bergabung dalam piknik.
“Hei!” seru Rian ringan, tapi terdengar jelas. “Apa kalian keberatan jika laki-laki tampan ini membantu kalian?”
Para Ganado langsung menghentikan aktivitas mereka, menoleh dengan gerakan kaku. Tatapan mata mereka kosong… tak sepenuhnya manusiawi. Sorot gila mengintip dari balik pupil mereka, seolah roh mereka telah lama dikubur.
Beberapa detik hening, lalu mereka mulai bergerak.
Satu Ganado menggenggam tombak ikan panjang. Lainnya mencabut kapak dari balok kayu. Seorang lagi meraih pisau daging berkarat. Di antara mereka, satu membawa harpun tua dengan ujung logam berlumur darah kering.
“¡Intruso…!” desis salah satu dari mereka.
“¡No lo dejes escapar…!” teriak yang membawa harpun.
“¡Atrápalo…!” seru si pembawa kapak.
“¡Mátenlo!” geram yang menggenggam pisau daging, suaranya serak dan parau.
Rian hanya tersenyum kecil.
Dari balik rerumputan, Luis menghela napas berat. “Dios mío…” gumamnya, lalu berdiri dan menarik pistolnya, menodongkannya ke arah kerumunan Ganado. Wajahnya menunjukkan sedikit rasa jengkel, tapi juga kagum yang tersembunyi.
“Amigo, kau benar-benar tidak tahu arti kata ‘diam-diam’, ya?”
Tanpa menjawab, Rian hanya mengangkat bahu sejenak dan bersiap, bayonet di tangan bersinar singkat terkena pantulan cahaya matahari.
Suasana menegang.
Pertarungan tak terhindarkan.
Salah satu Ganado tiba-tiba melemparkan pisau daging ke arah Rian.
Bagi orang biasa, itu serangan mendadak. Tapi bagi pemilik Six Eyes, waktu seolah melambat. Lintasan pisau tampak jelas, segaris cahaya di udara.
Dengan satu gerakan gesit, Rian memutar tubuh dan menangkisnya menggunakan sisi bayonet di tangan kanannya. Pisau mental dan berputar ke tanah, menciptakan dentingan tajam.
Tak menunggu serangan lanjutan, Rian langsung menerobos maju, targetnya: Ganado pemegang harpun.
Serangan datang.
Harpun melesat lurus ke dadanya.
Terlambat.
Rian miring setengah langkah, menghindar dalam jarak nyaris mustahil. Lalu, secepat kilat, bayonetnya terangkat, menusuk lurus ke kepala Ganado. Bilahnya lalu bergerak ditarik kembali, dan memotong leher Ganado itu.
Sreet!
Ding!
[Membunuh Ganado +100 Poin sistem!]
Notifikasi itu bergema dalam pikiran Rian seiring Ganado itu tumbang ke tanah, darah memancar liar seperti air mancur merah.
Dengan gerakan terlatih, Rian menyimpan bayonet kembali ke tas pinggangnya. Disisi, lain Ganado dengan kapak siap menyerang.
Rian menunduk sedikit, meraih harpun yang barusan ia rebut, dan.
Dukk!
Harpun itu menembus kepala Ganado pemegang kapak tepat saat kapak itu akan terayun. Mayatnya terhuyung dan jatuh ke belakang, tanpa sempat menyentuh tanah dengan senjatanya.
Crot!
Ding!
[Membunuh Ganado +100 Poin sistem!]
Notifikasi itu menggema lagi dalam benak Rian, seiring darah menyembur ke udara. Ganado itu terhuyung dan tumbang ke belakang. Rian tanpa ragu merampas kapak si mayat, lalu menggenggamnya erat.
Dari sisi lain, Ganado lain melesat maju dengan harpun, siap menusuk.
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?