NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30

Mobil meluncur mulus menuju tujuan berikutnya, membawa koper kecil berisi gaun hitam dan setelan jas yang baru saja dibungkus dengan kertas kado mewah. Suasana dalam mobil tetap tegang, tetapi ada getaran berbeda yang tak terucap. Mereka berhenti di depan façade megah sebuah salon eksklusif, hanya dikenali oleh kalangan tertentu. Huruf-huruf neon sederhana bertuliskan "L'Atelier" berkilau samar.

Begitu masuk, wewangian bergaya Perancis—campuran mawar, oud, dan lilin—menyambut mereka. Interiornya didominasi marmer putih, cermin-cermin berbingkai emas, dan pencahayaan hangat yang membuat setiap kulit terlihat sempurna.

"Wah, Mbak Karmel! Sudah lama tidak jumpa!" Sapaan itu datang dari seorang pria paruh baya bergaya impeccable, rambutnya dicat abu-abu platinum rapi. Namanya Marco, stylist kepala yang sudah melayani keluarga Jayawardhana dan Karmel selama tahun. Gerakannya luwes, penuh gestur teatrikal khas dunia fashion. Matanya langsung menyorot ke gaun sederhana yang masih dikenakan Karmel, seolah sudah membaca skenario lengkapnya.

Renzi, tanpa basa-basi, menepuk punggung Karmel lembut ke arah Marco. "Make over dia, ya," perintahnya, suara datar tapi final.

"Siap, Pak Renzi," jawab Marco dengan senyum profesional, namun matanya berbinar melihat kanvas yang akan ia kerjakan—Karmel, dengan tulang pipi tinggi, mata besar, dan rambut hitam lebat yang butuh sentuhan ahli.

Karmel dipersilakan duduk di kursi rias seperti singgasana. Renzi, setelah memastikan Marco mengerti "bahasa"-nya—yang berarti penampilan harus sempurna, glamor, namun tidak murahan—hanya memberi anggukan singkat. "Aku kembali sejam lagi," ujarnya pada Karmel, lalu berbalik dan pergi meninggalkan salon tanpa penjelasan. Langkahnya pasti, menghilang di balik pintu kaca matte.

Karmel menghela napas, menyerahkan dirinya pada proses yang ia tahu tak bisa ditolak.

Marco dan timnya bekerja seperti orkestra yang terlatih. Jari-jari terampil Marco menyisir rambut Karmel, menganalisa teksturnya. "Kita buat soft waves, ya, Mbak. Natural tapi elegant," bisiknya sebelum memulai. Sementara itu, seorang makeup artist dengan kuas-kuas halus mulai bekerja di wajahnya. Bedak foundation menutupi sedikit lingkaran hitam di bawah mata, concealer menyamarkan bekas kelelahan. Warna-warna netral—coklat tanah, peach lembut, dan highlighter mutiara—diaplikasikan dengan presisi. Alisnya yang sudah bagus dibentuk ulang sedikit, memberikan kesan lebih tajam namun tetap feminin. Bibirnya diolesi lipstik matte warna nude yang hampir sama dengan warna bibir aslinya, tetapi lebih penuh dan menggoda.

Proses blow dan styling rambut memakan waktu. Setelah rambutnya bersih dan harum, alat pengeriting yang panas membentuk gelombang-gelombang longgar dan hidup yang jatuh natural di bahu dan punggungnya. Beberapa helai dikunci dengan pin tak terlihat agar terlihat acak-acakan elegan.

Setelah proses rias wajah dan rambut selesai, Marco membimbing Karmel ke ruang ganti privat. Gaun hitam itu dikenakan. Sutra crêpe yang dingin awalnya menyentuh kulitnya, lalu dengan cepat menyesuaikan suhu tubuhnya. Marco dengan cekatan mengikat tali di leher dan menata belahan samping agar pas. Sepatu heels hitam dengan tali pergelangan kaki yang ramping disematkan. Sebuah clutch hitam kecil diselipkan di tangannya.

Saat Karmel berbalik menghadap cermin panjang, napasnya tertahan.

Dia melihat seorang wanita yang berbeda. Riasan wajahnya menyempurnakan kecantikan alaminya tanpa terlihat berlebihan—matanya lebih dalam, bibirnya lebih menggoda. Rambutnya yang berombak menambahkan aura sensual yang effortless. Dan gaun itu… gaun itu benar-benar menyulapnya. Siluet tubuhnya yang indah—pinggang ramping, lekuk payudara yang proposional, pinggul yang berayun—terpampang sempurna. Kulitnya yang pucat kontras dramatis dengan warna hitam pekat, terlihat seperti marmer halus. Gaun yang tadinya terasa seperti baju zirah perlawanan, kini justru menjadi senjata yang mematikan. Dia terlihat cantik, seksi, dan sangat berkuasa.

Namun, Renzi belum juga muncul. Karmel duduk di area lounge, mulai kesal. Jam sudah menunjukkan waktu yang ditentukan. Apakah ini bagian dari permainannya? Membuatnya menunggu, merasa tidak penting?

Tepat saat kesabaran Karmel hampir habis, pintu utama salon terbuka.

Renzi masuk.

Dan Karmel, hampir tanpa sengaja, menahan napas.

Rambut Renzi yang biasanya dibiarkan sedikit panjang dan acak, kini dipotong rapi. Potongan undercut yang pendek di sisi, dengan bagian atas yang disisir rapi ke belakang, menonjolkan garis rahangnya yang tajam dan tulang pipinya yang tinggi. Tampak lebih fresh, lebih muda, namun sekaligus lebih berwibawa. Dia telah berganti pakaian. Jasnya bukan lagi yang tadi—ini adalah setelan dua kancing berwarna charcoal grey yang hampir hitam, terbuat dari wol superfine, dipadukan dengan kemeja putih tanpa dasi dan sepatu oxford hitam. Warna jasnya sengaja dipilih senada dengan gaun hitam Karmel, menciptakan kesan coordinated couple yang sangat disengaja.

Dia berhenti beberapa langkah dari Karmel, matanya—yang kini tampak lebih terang dan tajam dengan potongan rambut barunya—menyapu penampilan Karmel dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tapi di kedalaman mata hitam itu, ada kilatan kepuasan, kekaguman, dan sesuatu yang lebih gelap—keinginan yang dibungkus es. Bibirnya meruncing sedikit, hampir seperti senyuman.

"Ayo…" ajaknya akhirnya, suaranya lebih dalam dari biasanya. Dia mengulurkan tangannya, telapak tangan terbuka, sebuah tawaran sekaligus perintah yang tak terucap.

Tanpa sadar, seolah terhipnotis oleh penampilannya yang tampan memukau dan aura otoritas yang memancar kuat, Karmel menurut. Tangannya yang dingin menyentuh telapak tangan Renzi yang hangat. Dia merasakan sentakan listrik kecil yang familiar. Jari-jari Renzi menutup dengan erat di sekeliling tangannya, mengunci.

"Perfecto!" seru Marco dari belakang, berseri-seri. "Pasangan yang sempurna! Like a dream!"

Pujian itu membuat Karmel tersadar, tetapi tangannya sudah terlanjur tergenggam. Renzi memandunya keluar dari salon, meninggalkan decak kagum para staff di belakang.

Di dalam mobil yang sepi, Karmel duduk di samping Renzi yang mengemudi. Gaunnya yang ketat membuatnya harus duduk dengan postur sempurna. Keharuman wangi mereka—parfum woody Renzi dan wewangian floral Karmel—bercampur di udara ber-AC.

"Kita mau kemana sih?" tanya Karmel, mencoba mengembalikan kendali atas situasi.

"Kepernikahan Herry," jawab Renzi singkat, matanya fokus di jalan.

"Hah? Herry nikah?" seru Karmel, benar-benar terkejut. Ekspresi sinis muncul. "Cewek mana yang rugi dapet dia?" Sindirannya tajam, dia tahu betul reputasi Herry sebagai playboy.

Renzi terkekeh, suara rendah yang bergema di kabin sempit. "Itu pacar Herry dari jaman kuliah," jelasnya. "Hubungan mereka… complicated."

"Kalau aku tau, aku bakal selamatin itu cewek," gerutu Karmel, memandang keluar jendela.

"Hey! Herry nggak sejahat itu," bela Renzi, tapi nadanya ringan.

"Cuma sama bejadnya kayak kamu!" balas Karmel cepat, memutar wajahnya menghadap Renzi, mata hijau hazelnya menyala.

Renzi terkekeh lagi, kali ini lebih panjang, seolah menikmati serangannya. "Tau nggak, harusnya kemarin Herry ada pesta lajang. Tapi batal karena aku…"

Tiba-tiba, suaranya terhenti. Raut wajahnya sedikit berubah, seperti teringat sesuatu yang tidak ingin dibagikan. Dia ingat malam itu dengan jelas— harusnya malam itu dia dan harry bisa menikmati minuman, model Rusia yang sudah dipesan, hari akhir single untuk Herry. Dan kemudian, gambaran Karmel di lobi, tertawa dengan Bima, yang membuatnya meninggalkan segalanya, mengurung diri dalam kemarahan dan kecemburuan yang membara. Dia tak mungkin mengatakannya.

"Apa?" tanya Karmel, penasaran melihat jeda yang tak biasa dari pria yang selalu punya kata-kata itu.

"Karena model yang kita pesan ternyata nggak bisa dateng karena sakit," ujar Renzi, cepat, suaranya kembali datar. Sebuah kebohongan yang mulus, dilontarkan tanpa kedip mata.

Karmel mendecak, memutar wajahnya kembali ke jendela. "Dasar cowok brengsek!" serunya, suara penuh cibiran.

Dalam diam, Renzi mengepal setir sedikit lebih kencang. Dia melihat pantulan Karmel di kaca jendela—cantik, seksi, dan sangat jauh. Dia telah membawanya keluar, mendandaninya, membuat mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna. Tapi di dalam mobil ini, dengan kebohongan yang baru saja dia ucapkan dan kecemburuan yang masih membara di dadanya, jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang hanya bisa diseberangi dengan lebih banyak manipulasi, atau mungkin, dengan sebuah kebenaran yang terlalu berbahaya untuk diakui.

***

Mobil Renzi meluncur masuk ke dalam area porte-cochère hotel berbintang yang megah. Lampu kristal berkilauan seperti hujan intan dari langit-langit yang tinggi. Suara orkestra yang memainkan lagu-lagu jazz klasik menyambut mereka sebelum pintu kaca geser otomatis terbuka. Ballroom-nya adalah sebuah dunia lain. Langit-langitnya dihiasi ratusan lampu gantung kristal Swarovski yang memantulkan cahaya keemasan. Tirai-tirai sutra putih setinggi langit-langit jatuh berlipat-lipat dramatis, dikelilingi oleh taman bunga hidup—mawar putih, peony, dan hydrangea biru—yang seolah tumbuh langsung dari lantai marmer. Setiap meja dihiasi taplak linen putih, perak berkilau, dan pusat bunga yang tinggi. Ini adalah pernikahan dongeng.

Karmel, yang tangannya masih tergandang erat oleh Renzi, merasakan sebuah sentakan di hatinya. Bukan hanya kekaguman pada kemewahan, tapi sebuah iri yang dalam, menusuk, dan tidak terduga. Matanya, yang tersembunyi di balik riasan sempurna, berkaca-kaca sesaat. Dia membayangkan dirinya berdiri di sana, di pelaminan yang diterangi cahaya hangat, mengenakan gaun putih, bukan gaun hitam yang sensual ini. Dia membayangkan pelukan, janji seumur hidup, tatapan penuh cinta. Kapan aku bisa merasakan pesta seindah ini? pikirnya, rasa pedih menggelitik tenggorokannya. Duduk di pelaminan bersama orang yang benar-benar mencintaiku... Pandangannya tanpa sadar beralih ke profil Renzi di sampingnya. Pria yang tampan, licik, dingin, dan yang membuatnya terjebak dalam lingkaran rasa sakit dan hasrat ini. Apakah mungkin?

Renzi, seolah merasakan pandangannya, menoleh. Matanya yang tajam menangkap kilatan kerapuhan di mata Karmel sebelum wanita itu cepat-cepat memalingkan wajah. Sebuah kepuasan samar terasa di dadanya. Dia merasakan getarannya. Dia tahu keinginannya.

Dengan tangan masih tergenggam, Renzi memandu Karmel menyusuri karpet merah yang mengarah ke panggung utama, yang disulap menjadi sebuah taman surgawi dengan latar belakang bunga hidup yang membentuk lengkungan megah. Di sana, Herry dan Marina berdiri.

Herry, yang biasanya tampak santai dan tak serius, kini terlihat gagah dan berwibawa dalam setelan tuxedo hitam dengan bow tie putih. Di sebelahnya, Marina memancarkan kecantikan yang lembut namun memukau dalam gaun pengantin ball gown dengan renda halus dan train yang panjang. Senyum mereka tulus dan bahagia.

"Selamat, bro," ujar Renzi, melepaskan genggaman pada Karmel untuk menyalami Herry erat. Ada bahasa tak terucap di tatapan mereka—sebuah pengakuan bahwa kehidupan berubah.

"Thank you, bro," balas Herry, suaranya lebih hangat dari biasanya. Matanya kemudian beralih ke Karmel yang berdiri sedikit di belakang Renzi, dan dia menyeringai khas. "Buruan nyusul," bisiknya, hanya untuk Renzi dan Karmel.

Karmel melangkah maju. "Selamat, Her," ucapnya, memeluk Herry dengan cepat. Saat berdekatan, bisiknya tajam dan penuh canda pahit di telinga Herry, "Baik-baik ke istri lo yang salah pilih suami ini."

Herry hanya terkekeh, getar tawanya terasa di bahu Karmel. "Thank you, Mel. Cepet-cepet deh, sama Renzi," balasnya, menyipitkan mata penuh arti.

Karmel tak membalas. Hanya menyunggingkan senyum tipis yang terpaksa sebelum mundur.

Giliran Renzi menyalami Marina. "Selamat ya, Mar," ucapnya, dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya, menunjukkan keakraban lama.

"Thank you, Renzi," jawab Marina, matanya berbinar. "Kamu kapan nyusul?" tanyanya, polos.

Renzi terkekeh, sedikit tertahan. "Kapan-kapan," jawabnya, mengelak.

"Dasar!" Marina memukul bahu Renzi dengan lembut, sebuah gestur akrab dari sahabat yang sudah saling mengenal sejak kuliah.

Karmel kemudian maju. "Selamat ya. Kamu terlihat sangat cantik," ucapnya tulus. Marina membalasnya dengan pelukan hangat. "Terima kasih, mbak. Kamu juga luar biasa." Tatapannya ramah, tanpa sedikitpun penilaian atau sikap sinis yang sering Karmel dapatkan dari lingkaran Renzi.

Setelah kedua mempelai turun dari panggung kecil untuk menerima tamu lainnya, Herry menarik Marina sedikit ke samping, di balik rangkaian bunga yang tinggi. Matanya mengikuti Karmel dan Renzi yang berjalan menuju meja mereka.

"Cewek yang tadi," bisik Herry, "Itu yang bisa naklukin Renzi."

Marina mengerutkan keningnya yang halus. "Masa sih? Renzi kan playboy parah. Ganti-ganti cewek kayak ganti baju."

"Ayo, kita taruhan," goda Herry, senyum nakalnya kembali. "Kalau aku menang, kamu harus mau kasih aku sepuluh anak."

Marina mendecak dan segera mencubit paha Herry. "Gila, ya, kamu!" desisnya, wajahnya memerah.

Tapi di balik candaan itu, Herry sangat serius. Sebagai sahabat Renzi sejak kecil, dia telah menyaksikan segala pola dan permainan Renzi. Dia telah melihat bagaimana Renzi menghancurkan hubungan tanpa bekas, memanipulasi orang dengan mudah, dan menjaga hatinya tertutup rapat. Tapi malam di lobi JMG, wajah Renzi yang hancur saat melihat Karmel dengan Bima, dan fakta bahwa Renzi membatalkan pesta lajangnya hanya untuk merencanakan 'penculikan' hari ini—itu semua adalah tanda-tanda yang tak pernah dilihat Herry sebelumnya. Karmel bukan hanya sekedar mainan. Dia adalah badai yang masuk tanpa izin ke dalam benteng es Renzi, dan mulai mencairkannya dari dalam. Dan Herry, dengan naluri tajamnya, sangat yakin dengan prediksinya. Pertaruhannya dengan dirinya sendiri semakin menarik untuk disaksikan.

1
Lia Amelia
up lagi dong😁
Nona Lebah: Kasih ulasan berbintang dulu dong kak yg panjang. Biar aku semangatt nulisnya
total 1 replies
🍄🍄Jamur
tim ibu nani yang suka orang kaya 🤭
🍄🍄Jamur
ikan cucut lanjut
🍄🍄Jamur
rensi udah keliatan cemburuan
🍄🍄Jamur
genit banget Renzi. tapi gemes
🍄🍄Jamur
kalo nggak gini nggak bakal balik 🤭
🍄🍄Jamur
makin seru
🍄🍄Jamur
tengilnya rensi bikin gemes
🍄🍄Jamur
sukaaaak
🍄🍄Jamur
😍
🍄🍄Jamur
paling suka karakter cowok badboy kayak Renzi 😍
Anonymous
emaknya Rayyan perlu bergaul sama emaknya Karmel, the real emak2 bertahan hidup wkwkwkkk
Yahh begitulah pemirsaa benci tp cinta ya begini, kalo ada yg nyalahin Karmel mungkin blm pernah ngerasain benci tp cinta ya
🍄🍄Jamur: bnr bgt. hdp hrs realistis. kalo ada yg kaya bgt. knp hrs milih yg kaya aja 🤣🤣🤣🤭🤭🤭
total 3 replies
Dessy Rinda
up dong kak thor🙏
Ridho Meram
Next
Forta Wahyuni
jd males bacanya, pemeran wanitanya walau cerdas tpi tetap harga dirinya bisa diinjak2 oleh lelaki jenius tapi murahan.
muna aprilia
lanjut 👍
Forta Wahyuni
hebat Renzi bilang karmel murahan n dia tak tau diri krn tunjuk satu lg menunjuk tepat ke mukanya bahwa dia juga sampah. lelaki jenius tapi burungnya murahan n bkn lelaki yg berkelas n cuma apa yg dipki branded tapi yg didalam murahan. 🤣🤣🤣🤣
Forta Wahyuni
knapa critanya terlalu merendahkan wanita, harga diri diinjak2 n lelakinya boleh masuk tong sampah sembarangan. wanitanya harus tetap nerima, sep gk punya harga diri n lelaki nya jenius tapi burungnya murahan. 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!