NovelToon NovelToon
I Want You

I Want You

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romantis / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mapple_Aurora

Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.

Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.

Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.



Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18

“Kenapa kamu nanya sama aku? Gilsha yang memulai keributan, seolah dia sedang menegaskan kalau kamu pacar dia.” Jawab Rada kesal, enak saja Gavin marah padanya padahal kan Gilsha yang memulai.

Alis Gavin bertaut tidak senang. “Aku nggak punya pacar. Jadi bisa jelaskan kenapa kamu mengatakan itu pada Gilsha?”

Rada masih berdiri di hadapan Gavin, tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh Gavin. Namun saat ia sedang mencari jawaban yang tepat, ponsel Gavin berdering. Nama di layar membuatnya sejenak menghela napas. Mama.

Gavin menatap layar sebentar sebelum mengangkat panggilan itu.

“Iya, Ma?” Suaranya berubah lembut.

Dari seberang terdengar suara wanita dengan nada ceria dan sedikit tergesa. “Gavi, kamu lagi di kantor kan? Ajak Rada juga ya, Mama mau kalian berdua langsung ke butik Maison Livia. Kita fitting baju tunangan dan baju pengantin hari ini.”

Gavin menatap Rada cukup lama untuk membuat gadis itu menegang.

“Fitting?” Tanyanya pelan, memastikan ia tidak salah dengar.

“Iya! Tadi malam kan sudah di bilang pernikahan kalian digelar minggu depan. Mama dan Bunda Rada akan mengurus semua detailnya, jadi kalian tenang saja. Sekarang tinggal pilih baju yang cocok. Oh ya, jangan lama-lama, Mama sudah di butik.”

Panggilan berakhir begitu saja, menyisakan keheningan.

“Kita ke butik sekarang buat fitting baju, mama udah nunggu.” Kata Gavin mencoba untuk tetap tenang agar Rada tidak tahu bahwa perasaannya tengah membuncah di dada.

Rada membeku di tempat. “Fitting? Jadi kita beneran nikah? Padahal kita belum—”

“—menyiapkan apa pun?” potong Gavin tenang. Ia menatapnya tanpa emosi berarti, meski di balik tatapan itu hatinya justru berdebar. “Sepertinya kedua keluarga sudah menyiapkan segalanya untuk kita.”

“Ini gila. Aku bahkan belum mengiyakan untuk secepat ini.” Rada mendengus, frustasi

Gavin menyandarkan tubuh pada meja, menatapnya tanpa berkedip. “Kalau kamu ingin menolak, seharusnya kamu bilang kemarin, Rada. Sekarang semuanya sudah berjalan.”

Nada suaranya dingin tapi lembut di ujungnya, seperti ada sesuatu yang berusaha ia tahan. Sementara Rada memelototinya, wajahnya memerah karena kesal.

“Aku tidak percaya ini terjadi secepat itu…” Rada mengusap wajahnya. “Bagaimana mungkin aku fitting baju pengantin dengan pria yang baru kukenal seminggu?”

Gavin tersenyum tipis—senyum samar yang lebih terlihat seperti kebiasaan menahan perasaan. “Mungkin karena kita memang tidak butuh waktu lama.”

“Tidak butuh waktu lama untuk apa?” Rada menatapnya tajam.

Gavin berjalan melewatinya, mengambil jas dari sandaran kursi dan mengenakannya perlahan.

“Untuk menjadi suami istri.”

Nada tenangnya membuat Rada terdiam beberapa detik, tidak tahu harus menjawab apa.

Sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, Gavin membuka pintu dan menoleh sekilas. “Ayo. Mama tidak suka menunggu. Pekerjaanmu bisa diselesaikan besok.”

“Gavin!” panggil Rada, suaranya terdengar antara marah dan panik. Namun pria itu hanya menatapnya dengan wajah datar tapi lembut, entah bagaimana ada rasa puas yang samar di baliknya.

“Kalau kamu terus diam di sana, Mama bisa datang ke kantor,” katanya tenang. “Dan percayalah, itu akan jauh lebih memalukan.”

Dengan langkah panjang, Gavin meninggalkan ruangannya, sementara Rada hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk — marah, bingung, tapi juga canggung karena tidak tahu bagaimana menghadapi situasi yang begitu absurd dan cepat.

Namun di balik ekspresi tenang itu, Gavin sebenarnya sedang menahan senyum kecil. Ia tidak pernah menyangka, takdir akan berpihak padanya secepat ini.

Terpaksa Rada mengikuti Gavin masuk ke dalam lift, tentu saja dengan tetap menjaga jarak aman. Ia merasa bersyukur hanya ada mereka berdua dalam lift sehingga gosip tadi pagi tidak akan bertambah bahan bakarnya.

Lift berhenti di lantai dasar dengan suara ting yang lembut. Gavin melangkah lebih dulu, sementara Rada mengekori di belakangnya dengan wajah kesal dan pikiran yang masih kusut. Ia bahkan belum memutuskan apakah akan benar-benar pergi ke butik, tapi Gavin berjalan terlalu cepat untuk disanggah.

Begitu pintu lift terbuka sepenuhnya, langkah Rada terhenti. Gilsha berdiri tak jauh dari sana mengenakan setelan blazer merah menyala, rambutnya terurai rapi, dan mata tajamnya langsung menatap ke arah mereka.

Udara seketika terasa menegang.

Gilsha tersenyum kaku, tapi sorot matanya menusuk ke arah Rada.

“Sepertinya aku tahu kenapa Bapak CEO kita jarang muncul di lantai kantor akhir-akhir ini,” katanya dengan nada manis yang penuh sindiran.

Rada membalas dengan tatapan datar. Ia tidak berniat berdebat, tapi wajah Gilsha membuat darahnya naik. “Kalau kamu tidak punya urusan penting, minggir. Kami sedang terburu-buru.”

Gilsha melangkah mendekat. “Kamu bicara seolah—”

Namun sebelum kalimat itu selesai, Gavin menatap tajam. Hanya satu pandangan datar dari pria itu sudah cukup membuat langkah Gilsha terhenti.

“Gilsha,” panggilnya datar. “Aku tidak ingin mendengar ada percakapan yang tidak perlu di area publik perusahaan.”

Gilsha sempat membuka mulut, tapi Gavin melanjutkan dengan nada dingin. “Dan satu lagi. Rada adalah tamu keluarga kami hari ini. Aku tidak ingin ada perlakuan tidak sopan dari siapa pun terhadapnya.”

Tatapan itu membuat darah Gilsha mendidih, tapi ia tidak berani membantah. Jika bukan karena ada Gavin, mungkin sudah sejak tadi ia menjambak rambut Rada tanpa peduli siapa yang menonton. Tapi di depan semua orang, dengan karyawan lain mulai melirik dari jauh, Gilsha hanya bisa tersenyum manis, senyum yang dipenuhi racun.

“Tentu saja, Pak Gavin,” katanya lembut, tapi rahangnya menegang. “Saya mengerti.”

Gavin mengangguk tipis dan berjalan melewatinya tanpa menoleh lagi. Rada mengikuti dari belakang, namun sempat berbisik pelan di telinganya, cukup untuk membuat Gilsha hampir meledak.

“Kalau aku jadi kamu, aku berhenti mempermalukan diri sendiri.”

Gilsha mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, menahan diri agar tidak benar-benar menyerang. Ia hanya bisa memandangi punggung Rada yang berjalan elegan di samping Gavin, dengan rasa benci membara yang sulit ia sembunyikan.

Begitu mereka keluar dari gedung, Rada mendengus kesal. “Aku benar-benar benci situasi ini.”

Gavin membuka pintu mobil untuknya tanpa ekspresi. “Setidaknya kamu tidak dijambak,” katanya datar.

“Kamu menikmati ini ya?” tanya Rada menatap tajam.

Gavin menatap balik sebentar, ada senyum samar yang menawan di wajahnya. “Mungkin sedikit.”

Rada mendengus pelan, tapi masuk ke mobil tanpa berkata apa-apa lagi. Dan sepanjang perjalanan menuju butik, hanya diisi keheningan.

Hanya butuh waktu tiga puluh tujuh menit untuk sampai di butik. Mobil hitam elegan itu berhenti di depan sebuah butik megah bertuliskan Maison Livia Bridal & Couture, butik langganan kalangan atas Jakarta. Dari luar saja, sudah terlihat lampu kristal yang berkilauan di balik kaca besar, dan aroma lembut bunga peony menyambut siapa pun yang masuk.

Begitu Rada dan Gavin melangkah ke dalam, suara langkah mereka disambut oleh tawa lembut dua wanita yang sudah menunggu.

“Oh, akhirnya kalian datang juga!” seru Lauren dengan semangat, begitu melihat mereka. Ia langsung berjalan menghampiri Rada dan memeluknya erat, begitu erat hingga Rada hampir kehilangan keseimbangan.

“Sayang, Mama kangen sekali padahal baru semalam kita makan malam bersama,” katanya dengan nada manja.

Rada tersenyum kikuk sambil menatap sekilas Gavin yang hanya berdiri di belakangnya, menyembunyikan tawa di balik wajah datarnya.

“Ehm… saya juga senang bertemu lagi, Tante.”

“Panggil Mama saja, sayang. Tidak perlu Tante. Kan sebentar lagi kamu jadi bagian keluarga kami,” ujar Lauren sambil menggenggam tangan Rada, matanya berbinar penuh kebahagiaan.

Dari arah sofa butik, Bunda Rada juga bangkit, anggun dengan gaun pastel dan tas kecil di tangannya. “Kalian datang juga. Kami sudah tidak sabar memulai.”

“Ayah dan Papa Gavin sedang mengurus urusan vendor,” tambahnya santai. “Sementara itu, kita pilih baju pengantin dan resepsi dulu.”

Rada menelan ludah pelan. “Sebentar, Bun… sekarang?”

“Ya, sekarang dong,” jawab Lauren riang. “Kita harus cepat. Semua desainer sudah standby. Kamu tinggal pilih saja mana yang cocok. Kalau bisa fitting hari ini juga, minggu depan tinggal retouch terakhir.”

Gavin menatap ibunya sejenak, lalu menoleh ke Rada. “Tidak usah khawatir. Aku akan menunggu di sini,” katanya pelan, lalu duduk di sofa kulit putih di area fitting, memandangi ruangan dengan ekspresi tenang yang nyaris profesional padahal hatinya berdebar setiap kali Rada berjalan ke arahnya.

Butik itu begitu elegan. Dindingnya dihiasi cermin besar berbingkai emas, rak-rak penuh kain satin dan renda putih menggantung lembut. Di sudut ruangan, dua desainer membawa beberapa gaun dengan potongan berbeda, dari klasik, modern, hingga gaya mermaid yang lebih berani.

Mama Lauren menepuk tangan kecilnya gembira. “Nah, Rada coba ini dulu ya. Yang off-shoulder ini cantik sekali, cocok dengan kulitmu yang cerah. Atau yang silk satin ini, lebih elegan dan ringan.”

Bunda Rada ikut tertawa lembut. “Rada biasanya tidak suka gaun terlalu terbuka, Ren. Tapi pilihan warna putih tulangnya bagus sekali.”

Rada hanya bisa tersenyum canggung, matanya berpindah dari satu gaun ke gaun lain, sementara Gavin diam-diam memperhatikannya dari sofa. Setiap gerakan kecil gadis itu, dari saat ia menyentuh kain hingga tersenyum tipis pada ibunya, seolah membuat waktu melambat bagi Gavin.

Desainer butik kemudian berkata sopan, “Baik, Nona Rada, mungkin kita bisa mulai dengan yang ini. Silakan ke ruang ganti di sebelah sana.”

Rada menoleh ke arah para ibu yang tampak antusias.

“Baiklah…” katanya pelan, menyerah pada situasi.

Sebelum masuk ke ruang ganti, ia sempat melirik Gavin yang duduk santai dengan kaki bersilang, matanya tidak lepas darinya.

“Berhenti menatapku seperti itu,” gumam Rada lirih saat melewatinya.

Gavin menatapnya dengan ekspresi netral tapi bibirnya melengkung samar. “Sulit kalau yang kulihat menarik.”

Rada langsung mendengus, pipinya sedikit memanas. “Ugh, aku tahu aku akan menyesal datang hari ini,” gumamnya sebelum menghilang ke balik pintu ruang ganti.

Lauren dan Istina hanya saling pandang sambil tersenyum lebar, seperti dua orang ibu yang melihat rencana besar mereka berjalan sempurna.

...۝۝۝...

1
Lunaire astrum
💯
Lunaire astrum
Bagus juga. Nanti baca lagi, mau ke warung dulu
Ega
Suka sama karakter Gavin🥰🥰🥰
Ega
cowok kyak El nih nyebelin banget deh😏
Adit monmon
cinta dlm diam ya vin🤭
Nda
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!