NovelToon NovelToon
Numpang Jadi Pacar Kamu Dong, Bang!

Numpang Jadi Pacar Kamu Dong, Bang!

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Trauma masa lalu / Cintamanis / Cinta Murni / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca

Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—

“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”

Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.

Diam.

Nggak nyaut sepatah kata pun.

Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭

Malu? Jelas.

Tapi sialnya, malah keterusan.

Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.

Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.

Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...

Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!

Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku bukan aset kalian

Matanya terpaku pada baris pertama, pada sebuah janji yang ditulis Kevin kepada dunianya yang sunyi, sebuah janji yang kini terasa seperti belati yang menusuk langsung ke jantung penyesalannya. Tulisan itu, yang dibuat bertahun-tahun lalu, adalah sebuah manifesto dari jiwa yang terluka parah.

Suara adalah musuh. Keheningan adalah perisai. Aku tidak akan pernah membiarkan musuh itu masuk lagi.

Kertas itu terasa rapuh di antara jemarinya, tetapi kata-kata di atasnya seolah terbuat dari baja. Aru akhirnya mengerti. Ini bukan kebohongan. Ini adalah sumpah. Sumpah seorang prajurit yang babak belur di medan perang traumanya sendiri, yang membangun benteng keheningan untuk bertahan hidup. Dan Aru, dengan kebisingannya, dengan tuntutannya, dengan egonya yang terluka, telah datang dan menuduh prajurit itu pengecut karena bersembunyi di balik bentengnya.

Rasa bersalah yang tadi terasa seperti tsunami kini surut, meninggalkan pantai hati yang porak-poranda namun anehnya… jernih. Penyesalan itu tidak hilang, tetapi ia mengeras, berubah dari air mata yang membakar menjadi baja yang dingin. Ia tidak lagi ingin menangisi kebodohannya. Ia ingin menebusnya.

Ia melipat kertas itu dengan hati-hati, menyimpannya bersama notes terakhir yang ia temukan, pengakuan cinta Kevin yang sunyi. Dua kepingan jiwa itu kini menjadi miliknya untuk dijaga. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkannya lagi. Terutama dirinya sendiri.

Ketukan di pintu kamarnya terdengar tajam, memecah keheningan yang baru saja ia mulai hargai.

“Non Aru?” suara Bi Inah, asisten rumah tangga mereka.

“Nyonya Nadira dan Den Sion menunggu di ruang makan. Katanya mau membahas persiapan.”

Persiapan. Kata itu terdengar seperti ejekan. Persiapan untuk pengorbanan dirinya di altar ambisi Nadira. Beberapa jam yang lalu, ia mungkin akan berjalan ke sana seperti domba menuju pembantaian. Tapi sekarang tidak lagi.

“Bilang sama mereka, aku datang,” jawab Aru, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. Datar, tenang, dan tanpa getar.

Ia bangkit, berjalan menuju cermin. Pantulan gadis dengan mata bengkak dan rambut merah muda yang kusam balas menatapnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya. Api yang hampir padam itu kini menyala kembali, bukan dengan kobaran liar yang impulsif, melainkan dengan nyala biru yang stabil dan panas. Nyala api dari sebuah tujuan.

***

Aroma teh melati yang manis dan menyesakkan memenuhi ruang makan. Nadira duduk dengan postur sempurna di kepala meja, senyumnya dipoles seperti porselen mahal. Di seberangnya, Sion bersandar santai di kursinya, memainkan ponsel dengan satu tangan, memancarkan aura arogansi yang begitu kental hingga hampir bisa Aru cicipi.

“Nah, ini dia calon pengantin kita,” sapa Nadira dengan nada riang yang dibuat-buat saat Aru masuk.

“Sini, sayang. Duduk di sebelah Sion. Mama sudah siapkan beberapa contoh undangan. Desainnya klasik dan elegan, cocok sekali untuk menyatukan dua keluarga besar seperti kita.”

Aru tidak bergerak menuju kursi yang ditunjuk. Ia memilih kursi di seberang mereka, menciptakan jarak fisik yang jelas. Ia meletakkan kedua tangannya di atas meja, menatap ibu tiri dan saudara tirinya itu secara bergantian.

“Aduh, kok di situ? Kayak mau rapat saja,” komentar Sion tanpa mengangkat wajah dari ponselnya.

“Santai aja kali, Ru. Sebentar lagi kita kan jadi suami-istri.”

“Aku nggak akan menikah denganmu, Sion,” kata Aru.

Keheningan seketika jatuh di atas meja. Cangkir teh yang sedang diangkat Nadira berhenti di udara. Sion akhirnya menurunkan ponselnya, tatapannya tajam dan tidak percaya.

“Apa katamu?” desis Sion.

“Aku. Nggak. Akan. Menikah. Denganmu,” ulang Aru, setiap kata diucapkan dengan penekanan yang dingin dan terukur.

“Pertunangan ini batal. Semuanya batal.”

Nadira meletakkan cangkirnya dengan hentakan pelan. Senyumnya lenyap, digantikan oleh ekspresi dingin yang Aru kenal betul.

“Aruntala, jangan mulai lagi. Ayahmu sudah setuju. Ini demi kebaikanmu.”

“Ini demi kebaikan kalian,” koreksi Aru.

“Ayah setuju karena dia pikir aku hancur dan butuh diselamatkan. Aku memang sempat hancur, tapi aku nggak butuh diselamatkan oleh kalian.”

Sion tertawa, tawa mengejek yang serak.

“Oh, jadi sekarang kamu udah kuat lagi? Gara-gara apa? Udah berhasil hubungin si bisu itu lagi?”

Nama panggilan itu membuat sesuatu di dalam diri Aru mengeras.

“Jangan sebut dia seperti itu.”

“Kenapa? Tersinggung?” tantang Sion, mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Lo itu bodoh atau apa, sih, Ru? Lo masih ngarepin penipu itu? Dia udah ninggalin lo. Dia kabur kayak pengecut setelah semua kebohongannya kebongkar.”

“Dia nggak kabur,” balas Aru tenang.

“Dia memberiku ruang. Sesuatu yang nggak pernah kalian ngerti artinya.”

“Cukup!” bentak Nadira, suaranya kini tajam seperti pecahan kaca.

“Keputusan sudah dibuat, Aru. Kamu akan bertunangan dengan Sion dua minggu lagi. Suka atau tidak suka. Pesta ini akan menjadi cara terbaik untuk membersihkan namamu setelah skandal memalukan dengan pria cacat itu.”

“Satu-satunya yang memalukan di sini adalah kalian berdua,” balas Aru, tatapannya tak gentar.

“Dan aku nggak akan membiarkan kalian menggunakan aku untuk membersihkan apa pun.”

Amarah berkilat di mata Sion. Ia bangkit dari kursinya, tangannya menggebrak meja hingga piring-piring bergetar.

“Lo pikir lo punya pilihan? Ayah lo ada di genggaman nyokap gue! Perusahaan juga! Lo itu cuma aset, Aru! Aset yang harusnya nurut!”

“Aku bukan aset,” bisik Aru, seulas senyum tipis yang dingin tersungging di bibirnya.

“Dan kamu… kamu bukan apa-apa selain anak manja yang bersembunyi di balik rok ibumu.”

Tamparan kata-kata itu mendarat telak di ego Sion. Wajahnya memerah padam. Ia berjalan mengitari meja, mendekati Aru dengan langkah mengancam. Nadira hanya menonton, seolah menikmati pertunjukan.

“Jaga mulut lo, Aru,” geram Sion, berdiri menjulang di samping Aru. “Lo pikir karena gue suka sama lo, gue bakal terus-terusan manis?”

Aru mendongak, menatapnya lurus di mata tanpa berkedip.

“Kamu nggak suka sama aku. Kamu cuma suka sama apa yang bisa aku berikan.”

Sion tersenyum sinis, senyum yang membuat perut Aru mual.

“Oke. Lo mau main keras? Boleh. Gue emang nggak bisa maksa lo jalan ke altar. Tapi gue bisa bikin alasan kenapa lo bakal lari ke altar sambil nangis-nangis.”

Ia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke telinga Aru. Napasnya yang berbau kopi basi terasa panas di kulit Aru.

“Lo masih peduli sama si bisu itu, kan?” bisiknya, suaranya rendah dan penuh racun.

“Lo pikir gampang buat bikin hidup orang kayak dia jadi neraka? Dia punya kafe, kan? Punya bisnis. Sayang banget kalau tiba-tiba ada masalah sanitasi, atau masalah izin, atau mungkin… kebakaran kecil yang nggak disengaja.”

Tubuh Aru menegang. Ini bukan lagi tentang pernikahan. Ini adalah ancaman langsung pada Kevin.

“Dia juga investor, kan?” lanjut Sion, menikmati setiap detik ketakutan yang ia coba tanamkan.

“Reputasi itu rapuh, Ru. Satu berita bohong di media, satu tuduhan palsu tentang penipuan… sahamnya bisa anjlok. Semua yang udah dia bangun susah payah di dalam keheningannya itu… bisa gue hancurin jadi debu cuma dengan beberapa panggilan telepon.”

Sion menegakkan tubuhnya, menatap Aru dengan tatapan penuh kemenangan. Ia mengira ancaman itu akan menghancurkan Aru, membuatnya memohon.

Tapi ia salah besar.

Ancaman itu tidak menanamkan rasa takut. Ancaman itu justru menyiram bensin ke dalam api biru di jiwa Aru, membuatnya berkobar menjadi neraka. Aru perlahan bangkit dari kursinya, kini berdiri berhadapan dengan Sion, tinggi mereka hampir sejajar.

Ia tertawa.

Bukan tawa histeris atau tawa getir. Itu adalah tawa yang jernih, dingin, dan penuh dengan penghinaan. Tawa yang membuat senyum kemenangan di wajah Sion goyah.

“Kenapa lo ketawa?” tanya Sion, bingung dan marah.

“Aku ketawa karena kamu,” jawab Aru, senyumnya masih terpasang.

“Ancamanmu itu… murahan, Sion. Sama kayak kamu. Kamu pikir aku takut? Kamu pikir aku bakal nyerahin hidupku buat ngelindungin Kevin dari pengecut kayak kamu?”

Ia maju selangkah, memaksa Sion mundur selangkah.

“Dengerin aku baik-baik. Kamu sentuh dia seujung rambut pun, kamu coba rusak bisnisnya sekecil apa pun… aku nggak akan cuma batalin pertunangan ini.”

Matanya berkilat, memancarkan tekad yang belum pernah Sion atau bahkan Nadira lihat sebelumnya.

“Aku akan hancurkan kamu. Aku akan gali semua kebusukanmu dan ibumu, aku akan bongkar semuanya di depan Ayah. Aku akan pastikan kalian nggak punya apa-apa lagi untuk dipegang. Kamu mau coba-coba?”

Sion terdiam, terperangah oleh perubahan drastis Aru.

Aru tidak menunggu jawaban. Ia berbalik, menatap Nadira yang kini tampak sedikit cemas untuk pertama kalinya.

“Permainannya selesai, Tante,” ucap Aru dengan nada tegas.

“Aku nggak akan lari lagi.”

Tanpa sepatah kata pun lagi, ia berjalan keluar dari ruang makan, meninggalkan keheningan yang tegang dan dua predator yang baru saja menyadari bahwa mangsa mereka kini telah memiliki taring.

Di dalam kamarnya, Aru tidak menangis. Adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Ia menyambar ponselnya dari atas nakas. Tangannya tidak gemetar. Pikirannya jernih. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ini bukan lagi hanya tentang menyelamatkan dirinya sendiri. Ini tentang bertarung untuk orang yang telah mengajarinya arti keheningan.

Jarinya dengan cepat menekan sebuah nama di daftar kontak. Panggilan itu tersambung.

“Nu?” sapanya begitu suara Danu terdengar di seberang.

“Gue butuh bantuan lo. Sekarang juga.”

“Ru? Lo kenapa? Suara lo…”

“Gue nggak apa-apa, Nu. Gue lebih dari nggak apa-apa,” potong Aru, tatapannya tertuju pada tumpukan notes Kevin di atas karpet bendera perangnya.

“Dengerin. Gue mau lo cari semua informasi yang bisa lo temuin tentang Nadira dan Sion. Transaksi keuangan, catatan perusahaan, apa pun yang mencurigakan selama mereka ada di PT Buana Jaya. Gue mau semua amunisinya.”

“Amunisi? Buat apaan, Ru? Lo mau ngapain?” tanya Danu cemas.

Aru berjalan ke jendela, menatap langit Jakarta yang kelabu dengan mata menyala.

“Sion baru saja mengancam akan menyakiti Kevin,” katanya, suaranya dingin seperti es.

“Dia salah pilih lawan. Gue akan bertarung, Nu. Gue akan bertarung demi Kevin, dan gue akan pastikan mereka yang hancur lebih dulu.”

1
Vtree Bona
seru ka lanjut yah kak thor
Vtree Bona
lanjut kaka,,,,,, semangat 💪
Vtree Bona
songgong amat tuh manusia,,,,,di bikin dari apa sech
Vtree Bona
lanjut kaka
Realrf: Oke 😍
total 1 replies
Vtree Bona
lanjut kak,,,,,kek nya bakal seru banget nih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!