NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 - Antara Doa dan Tembaga

Udara pagi di kaki Gunung Barumba terasa lebih segar dibanding hawa lembap di dalam goa.

Embun menetes di ujung daun, dan kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan.

Raka melangkah perlahan, menatap hutan lebat di satu sisi dan hamparan tanah terbuka di sisi lain.

Ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang, ke arah mulut goa yang perlahan tertutup bayangan kabut.

Dengan kedua tangan ia menautkan telapak sebuah tanda terima kasih bagi sosok-sosok tak terlihat yang telah memberi mereka keselamatan.

“Terima kasih,” bisiknya pelan.

Yarun’ru Beta berdiri di sampingnya, ikut menautkan kedua tangan di dada.

Namun matanya menatap tajam ke arah goa itu, seolah mengingat sesuatu yang berat.

“Bukan hanya karena kita diselamatkan,” ucap Yarun’ru lirih, “tapi karena kita tidak terjebak bersama mereka yang masih memuja nama ayahku.”

Ia menarik napas panjang, menatap hutan di depan.

“Lakantara telah berubah menjadi tempat di mana manusia melupakan siapa dirinya.

Mereka menyamakan Yarun Rahu Ama sebagai Tuhan dan aku tak ingin menjadi bagian dari itu.”

Raka menatapnya sejenak, lalu menepuk bahu Yarun’ru pelan.

“Mungkin, yang di dalam sana bukan hanya mereka yang terkurung oleh goa dan jeruji kayu,” katanya. “Kadang penjara itu justru ada di dalam pikiran.”

Yarun’ru mengangguk pelan, ekspresinya sendu namun tegas.

“Dan kita baru saja keluar dari keduanya.”

Angin bertiup membawa aroma tanah basah.

Dari kejauhan, samar-samar terdengar kicauan burung yang seolah menyambut kebebasan mereka.

Mereka melangkah menuruni lereng timur, meninggalkan mulut goa yang perlahan tenggelam di balik kabut, menuju perjalanan baru di antara hutan terbuka.

Udara di kaki Gunung Barumba masih terasa lembap, meski sinar matahari mulai menembus sela pepohonan.

Embun yang tadi menggantung di daun perlahan mengering, meninggalkan kilau bening di ujung rumput.

Namun ketika mereka menuruni jalur berbatu menuju lembah, hawa sejuk itu mulai hilang.

Tanah di bawah kaki berubah warna dari coklat gelap yang lembap menjadi retak halus.

Rumput di sekitarnya telah menguning, menandakan musim kesembilan hampir berakhir dan siklus kesepuluh segera datang.

Beberapa pohon di pinggiran lembah tampak sebagian menggugurkan daunnya perlahan.

Meski masih ada sisa kelembapan dari kabut gunung, udara di lembah mulai terasa kering tampaknya dalam waktu dekat akan menuju kering total.

Raka menarik napas panjang, mencium aroma tanah yang mulai berubah perpaduan antara lembab sisa hujan dan panas kemarau yang datang.

Walau masih berada di bawah naungan awan kanopi abadi, udara terasa kering.

Awan hanya menggantung tanpa menurunkan hujan, dan tanah di bawahnya telah kehilangan daya lembap.

Rumput menguning, daun-daun rapuh, seolah alam sedang menahan napas menunggu datangnya hujan pertama.

Yarun’ru berjalan diam cukup lama. Napasnya tampak berat bukan karena lelah, melainkan karena pikirannya masih terbayang kata-kata dari Lakantara pertanyaan yang tak sanggup ia jawab waktu itu.

Raka melirik sekilas, lalu berkata perlahan tanpa menoleh,

“Apa yang membuatmu terdiam?.”

Yarun’ru menunduk sedikit. “Mereka bicara dengan keyakinan yang teguh… seolah semua ucapan mereka benar adanya. Aku… tidak bisa menjawab.”

Raka berhenti sejenak, menatap tanah yang mulai merekah halus seperti urat kering di antara lumut lembap.

“Itu ada di dalam wahyu lisan,” katanya lirih.

“Setiap anak-anak Azael terlahir akan terus menggoda manusia dalam hal duniawi. Artinya mereka bukan setan yang datang dalam wujud api atau bayangan… tapi lewat pikiran dan keyakinan yang menyimpang.”

Yarun’ru terdiam. Kata-kata itu seperti menembus dadanya.

“Jadi… mereka yang menganggap Yarun Rahu Ama sebagai Tuhan itu juga bagian dari godaan Azael?”

Raka mengangguk pelan.

“Bukan cuma mereka. Kita semua digoda. Bedanya, mereka memilih untuk percaya bahwa godaan itu adalah cahaya.”

Yarun’ru terdiam cukup lama sebelum akhirnya bertanya, suaranya pelan namun penuh rasa ingin tahu,

“Kalau begitu, Raka… kenapa Azael terus dibiarkan menggoda manusia? Bukankah Sang Pencipta kita Maha Kuasa? Seharusnya Ia bisa memberantas Azael agar bumi menjadi damai.”

Raka tidak langsung menjawab. Ia memandangi cakrawala yang diselimuti awan pucat.

Angin dari lereng gunung meniup rambutnya perlahan. Setelah beberapa langkah, barulah ia berkata,

“Azael dulunya bukan makhluk hina.”

“Ia menyembah Sang Pencipta bahkan lebih lama dari banyak makhluk cahaya. Ia naik hingga tingkat yang sangat tinggi, sejajar dengan para Rahel.”

Yarun’ru menoleh, matanya tampak penasaran.

Raka melanjutkan,

“Tapi saat Bapak pertama kita, Adam, diciptakan dari tanah, kesombongan tumbuh di dalam dirinya. Ia berkata dirinya lebih mulia karena diciptakan dari api. Dan dari kesombongan itu, lahirlah kehancurannya.”

Langkah mereka berhenti di tepi. Di bawah sana, lembah tampak kering, tanah mulai merekah, dan angin membawa aroma panas dari arah timur.

“Sejak saat itu,” kata Raka, menatap ke bawah, “Azael diusir dari langit tertinggi ke yang terendah. Namun sebelum pergi, ia bersumpah akan menggoda anak-anak manusia sampai akhir semesta.”

Yarun’ru menunduk, suaranya nyaris tak terdengar,

“Jadi, penderitaan manusia… adalah akibat sumpah itu?”

Raka menggeleng perlahan.

“Bukan, Yarun’ru. Justru karena keberadaan Azael, hidup manusia memiliki makna. Dunia ini adalah tempat ujian tempat di mana kita belajar menjadi makhluk yang layak kembali ke alam asal, ke hadapan Sang Pencipta.”

Angin berhenti sesaat. Di sela keheningan, hanya terdengar gemerisik dedaunan kering yang jatuh perlahan dari pohon di atas mereka.

Raka menatap jauh ke depan, dan di wajahnya tampak sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keyakinan sebuah kesadaran.

Yarun’ru terdiam lama setelah mendengar penjelasan Raka. Tatapannya kosong ke arah lembah, seolah mencoba memahami makna yang baru saja diungkapkan.

Namun dalam hatinya masih ada satu pertanyaan yang mengganjal.

“Raka,” ujarnya akhirnya, pelan, “kalau Azael tidak berwujud, bagaimana manusia bisa melawannya? Bagaimana menghadapi sesuatu yang tak terlihat, tapi bisa menjerat hati kita?”

Raka menatapnya, lalu tersenyum kecil. Ia mengangkat pandangan ke langit yang diselimuti awan kanopi abadi.

“Setiap manusia, selalu berada di antara dua sisi,” ucapnya tenang. “Kita dikelilingi oleh dua kekuatan satu dari cahaya, satu dari kegelapan. Rahel membimbing dari sisi kanan, Azael menggoda dari sisi kiri.”

Ia kemudian meletakkan tangannya di dada.

“Pilihan selalu ada di sini,” katanya. “Jika manusia mengikuti jalan yang benar, ia berdiri di sisi Rahel. Jika tergoda oleh bisikan keburukan, maka ia berada di sisi Azael.”

Yarun’ru menunduk, merenungkan kata-kata itu.

“Jadi, pertempuran itu… bukan di luar diri,” gumamnya, “tapi di dalam pikiran.”

Raka mengangguk.

“Benar. Dalam setiap diam, setiap ragu, ada dua bisikan yang bertarung. Azael tak perlu menampakkan wujud, cukup menanamkan keinginan di hati manusia. Dan hanya mereka yang sadar, yang mampu membedakan suara siapa yang sedang berbicara.”

Angin berhembus pelan, membawa serpihan daun kering melewati kaki mereka.

Di kejauhan, burung-burung melintas, menandakan musim sedang berubah.

Namun bagi Yarun’ru, perubahan yang paling besar justru terjadi di dalam dirinya pada pemahaman tentang arti kebenaran yang baru saja ia dengar.

Setelah berjalan cukup jauh tanpa sepatah kata, hanya bunyi langkah di tanah yang mulai retak halus, Yarun’ru Beta akhirnya bersuara.

Nada suaranya berat, seperti menahan pergulatan batin yang lama.

“Raka…” katanya pelan, “aku mulai mengerti tentang Azael dan dua sisi manusia.

Tapi ada hal yang masih mengganjal di pikiranku.”

Ia menatap lurus ke depan, ke arah kabut tipis yang perlahan terangkat dari lembah.

“Bagaimana jika Para Rasi sendiri gagal menyadarkan manusia dari godaan Azael? Bukankah sebagian dari mereka juga bisa tersesat? Ayahku sendiri Yarun Rahu Ama pernah menjadi pembawa cahaya, tapi kini lebih mirip sosok Azael yang nyata di dunia. Padahal, peringatan sudah berkali-kali disampaikan.”

Raka tidak langsung menjawab.

Ia berjalan beberapa langkah lagi, menunduk, menatap tanah di bawah kaki tanah yang mulai pecah seperti urat halus di kulit bumi.

Akhirnya ia berkata dengan suara tenang namun dalam:

“Jawabannya sederhana, Yarun’ru. Para Ranu yang diutus di setiap bangsa hanya membawa kabar dan peringatan.

Mereka tidak memaksa, karena kehendak bukan milik mereka tapi milik Sang Pencipta.”

Ia menatap ke kejauhan, di mana cahaya matahari mulai menembus sela awan kanopi abadi.

“Begitu pula Para Rasi. Mereka hanyalah penerus ajaran Ranu Lahu, pembawa pesan, bukan pengendali nasib manusia.

Tugas mereka hanya menyampaikan, sejauh bumi dan hati manusia mau mendengar.”

Yarun’ru menatap tanah di bawah mereka, mendengarkan setiap kata itu dengan seksama.

“Lalu… bagaimana bila pesan itu ditolak?” tanyanya lirih.

Raka menghela napas pelan.

“Maka tanah yang mereka pijak akan kehilangan berkahnya,” jawabnya.

“Jika diterima, bumi menjadi hijau dan subur.

Tapi bila ditolak, azab akan sampai bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai akibat dari pilihan manusia sendiri.”

Hening kembali menyelimuti di antara mereka.

Hanya suara angin dan gemerisik daun kering yang jatuh, seolah bumi turut mendengarkan percakapan dua pengembara yang membawa rahasia zaman.

Yarun’ru Beta menatap Raka dengan rasa ingin tahu yang belum juga reda.

“Jadi siapa Tuhanmu?” tanyanya pelan.

“Maksudku… sebutan nama Tuhanmu. Aku lahir di Lakantara tidak pernah mendapat bimbingan Rasi selain Rasi P’rana di penjara bawah tanah. Pengetahuan kami… terbatas.”

Raka mengangkat kepalanya menatap langit samar di balik dahan pohon.

“Ranu Lahu mewariskan ajaran Wahyu Lisan,” ujarnya tenang.

“Sebuah ajaran yang mengenalkan Sang Pencipta tanpa menyebut nama, karena nama itu terlalu suci untuk diucapkan manusia.

Nama itu bukan untuk dipanggil, tapi untuk dihormati dalam perbuatan dan hati yang jujur.

Ranu Lahu melarang menyebut nama Sang Pencipta, sebab nama adalah batas, dan Ia tak memiliki batas.

Manusia hanya mengenalnya lewat bisikan napas dan cahaya hati, bukan melalui suara lidah.”

Yarun’ru Beta berjalan tanpa rasa lelah.

Setiap langkahnya terasa ringan, seolah beban yang dulu menekan dadanya telah luruh bersama kabut gunung.

Kata-kata Raka masih terngiang di telinga tentang Sang Pencipta, tentang pilihan, tentang makna menjadi manusia.

Untuk pertama kalinya, pikirannya terasa damai.

Tanpa sadar, mereka telah mencapai langit Maruyung.

Cahaya senja merambat di balik pepohonan, mewarnai pucuk daun dengan kilau keemasan.

Yarun’ru mengumpulkan beberapa ranting kering, menyalakan api unggun kecil di antara batu-batu datar.

Raka duduk di sampingnya, dan mereka berbagi makanan sederhana dengan hati yang lega.

Api berkeredap, menari di wajah mereka berdua.

Untuk sesaat, dunia terasa sunyi tanpa perang, tanpa gelar, tanpa beban masa lalu.

Sanu’ra kini sudah di tanah kelahirannya, di dalam tembok ketiga Lakantara.

Dari atas jembatan batu, ia memandang ke bawah air tampak mengalir tenang, seperti sungai yang membelah kota.

Namun sebenarnya itu adalah kanal laut, mengitari tembok-tembok besar dan bermuara kembali ke selatan.

Di sepanjang arus kanal, puluhan perahu dayung melintas membawa hasil bumi dari berbagai negeri.

Ada perahu dari timur yang sarat muatan bijih tambang dari Kerajaan Tambangga, perahu dari selatan yang mengangkut arang hitam dari suku Yaka, dan gerobak besar yang datang dari arah barat, ditarik kerbau, penuh timang kebanggaan dari Tanah Timangga.

Udara dipenuhi suara gemericik air bercampur teriakan para kuli pelabuhan dan ringkikan kerbau.

Bau garam laut, logam panas, dan arang terbakar berpadu jadi aroma khas jantung perdagangan Lakantara.

Rana Karu yang berdiri di sisi Sanu’ra berkata dengan nada tenang namun tegas,

“Akan lebih aman bila perahu kita berlabuh di tembok ketiga.

Tempat itu dijaga oleh para tentara. Para pendayung dan pedagang tak akan berani berbuat macam-macam bila melihat panji militer Lakantara.”

Sanu’ra mengangguk pelan.

Ia tahu maksud Rana Karu bukan hanya soal keamanan, tapi juga soal wibawa.

Di Lakantara, nama tentara selalu menimbulkan rasa gentar.

Bahkan para pedagang yang biasa menawar keras pun akan menunduk bila melihat senjata Lakantara.

Kini tiba waktunya Sanu’ra berpakaian jubah panjang dari tenun serat murbei untuk siap menghadap Yarun Rahu Ama.

Ia ditandu oleh empat lelaki perkasa menuju gerbang keempat gerbang besar berlapis tembaga dan juga temboknya yang memantulkan cahaya matahari seperti bara yang menyala

Wilayah di balik gerbang itu adalah dunia para bangsawan.

Suara tawa lembut dan percakapan sopan terdengar di mana-mana. Rumah-rumah tinggi berdiri megah, tiga lantai terbuat dari kayu jati kayu termahal dan paling dihormati di seluruh Lakantara.

Beberapa bangsawan tampak bersantai di bawah pohon rindang, duduk di atas tikar halus sambil menikmati makanan dan minuman manis.

Anak-anak muda bermain lempar anak panah ke target rotan, sementara yang lain berbincang tentang perdagangan, tanah, dan kehormatan keluarga.

Perhiasan berkilau menghiasi tubuh mereka gelang, kalung, cincin, hingga ikat rambut dari logam berukir baik dari perunggu, tembaga dan timah.

Bagi mereka, kilau logam bukan hanya keindahan, tapi tanda darah biru.

Rata-rata para bangsawan mengenakan jubah panjang dari serat tenun murbei kain termewah di Lakantara.

Setiap helainya diwarnai dengan rupa warna yang indah: merah tanah, hijau daun, dan kuning lembut yang berkilau di bawah cahaya matahari.

Bagi mereka, pakaian bukan sekadar pelindung tubuh, melainkan lambang kemuliaan.

Benang-benang halus itu dijalin oleh tangan para penenun terbaik di Lakantara, konon hanya bisa dipesan langsung oleh keluarga bangsawan atau Sura.

Saat Sanu’ra melintas di atas tandu, jubah-jubah itu berkibar pelan tertiup angin, memantulkan kilau cahaya dari perhiasan tembaga dan perunggu yang menghiasi tubuh mereka.

Tiba-tiba suara berat memecah hiruk pikuk pelataran, “SANU!!”

Suara itu membuat empat lelaki penandu berhenti seketika.

Semua kepala menoleh, mencari sumbernya.

Bahkan angin yang tadi berhembus pelan seakan ikut membeku.

Sanu’ra menegakkan tubuh di atas tandu, jantungnya berdegup keras.

Ia mengenali suara itu tapi tak percaya suara itu datang dari sini.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!