Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mempu mematahkan semangat nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Ara segera memacu motornya menuju rumah karena tubuhnya terasa sangat lelah.
Setelah seharian beraktivitas di sekolah, ia belum sempat pulang dan malah menyempatkan diri bertemu dengan teman-temannya.
Di tengah perjalanan, Ara melihat ada keributan. Beberapa orang tampaknya sedang terlibat perkelahian.
Ara mendesah kesal karena perjalanan pulangnya terhambat.
Tanpa pikir panjang, Ara dengan sigap turun dari motornya dan membantu seorang pria yang tampak dikeroyok beberapa preman berbadan kekar.
"Gak apa-apa, sekalian olahraga. Badan ini cepat sekali lemas," batinnya sambil menyiapkan diri. Ara melangkah maju dan langsung melayangkan tendangan ke salah satu preman dari belakang hingga pria itu tersungkur.
Perkelahian terhenti sesaat. Para preman kini memandang ke arah Ara yang tiba-tiba mengganggu urusan mereka.
"Weh, ada cewek cantik di sini," ujar salah satu preman botak sambil memasang senyum mesum.
"Anak kecil, mending pulang aja deh. Daripada nanti malah jadi mainan kami, hahahaha," celetuk preman lainnya, disertai tawa mengejek.
"Bos, cewek ini lumayan juga, nih," timpal seorang preman berkumis tipis kepada pemimpin mereka yang berambut gondrong.
"Aku sebenarnya mau pulang. Tapi kalian justru menghalangi jalanku," sahut Ara dingin sambil menatap mereka dengan tatapan tajam. Nyali para preman sedikit ciut melihat sorot matanya yang penuh keberanian.
"Mending ikut sini aja sama om, yuk. Mau gak main sama om?" gertak preman botak sambil mencoba menyentuh wajah Ara. Namun, sebelum tangannya mencapai wajah Ara, suara patah tulang terdengar jelas.
Krekk!
Tangan preman itu kini sudah tak berbentuk sempurna, membuat semua orang di situ terkejut dan bergidik.
"Kurang ajar, bocah ini! Serang dia!" teriak bos preman, memberi perintah kepada anak buahnya. Perkelahian pun tak bisa dihindari. Ara harus melawan lima orang preman berbadan besar seorang diri.
Bug!
Krekk!
Bug!
Krekk!
Beruntun pukulan demi pukulan Ara layangkan. Satu per satu para preman tumbang, dengan tangan mereka yang dipatahkan oleh Ara tanpa ampun. Akhirnya, kelima preman itu terkapar tak berdaya di aspal, merintih kesakitan sambil memegangi tubuh mereka masing-masing.
Ara berdiri dengan tenang sambil menatap para anggota geng yang baru saja datang. Tak ada ekspresi takut sedikit pun di wajahnya, meskipun mereka hadir dengan jumlah cukup banyak. Sikapnya yang dingin membuat suasana semakin tegang.
Sebelumnya, Ara telah mengusir para preman yang mengeroyok seorang pria. Dengan suara tajam, ia berkata agar mereka pergi sebelum dirinya benar-benar bertindak lebih jauh. Tanpa pikir panjang, para preman lari meninggalkan tempat itu, takut dengan keberingasan gadis kecil tersebut.
Setelah suasana reda, Ara menghampiri pria yang tadi menjadi sasaran pengeroyokan. "Gimana keadaan lo?" tanyanya dengan suara datar tanpa emosi.
Pria itu mengangguk pelan. "Gue gak papa. Makasih udah nolongin gue," jawabnya dengan nada yang sama dinginnya, menunjukkan kesamaan karakter di antara keduanya.
Ara berjongkok dan mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya. Dengan hati-hati, ia membalut luka pada lengan pria tersebut, yang jelas terkena goresan pisau.
Sementara Ara sibuk menutup lukanya, pria itu memperhatikan gadis di depannya. Wajah Ara begitu memesona dari jarak dekat. Kulitnya putih seperti susu, pipi chubby, mata bulat berwarna hazel, dan bibir tipis merah merona. Kecantikannya terlihat begitu istimewa.
Ara menyelesaikan bantuannya dan tanpa sengaja menangkap tatapan pria itu yang terus memperhatikannya. Ia pun akhirnya melihat wajah pria tersebut lebih jelas. Sangat tampan, dengan kulit putih, hidung mancung, alis tebal, bibir yang sedikit penuh namun seksi, serta rahang tegas yang membuat wajahnya tampak memikat.
Keduanya tersadar dari lamunan masing-masing hampir bersamaan. Ara segera berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba suara mesin motor terdengar mendekat. Beberapa motor berhenti di sekitar tempat mereka. Ara mengarahkan pandangannya ke rombongan geng yang baru tiba—geng Bruiser.
"Boss, lo baik-baik aja? Maaf banget, kita terlambat," ujar Gavin sambil menghampiri pria itu dengan raut wajah penuh rasa bersalah.
"Iya, Boss, siapa sih yang udah berani kroyok lo?" Lucas ikut bertanya seraya mengamati situasi di sekitarnya hingga pandangannya tertuju pada Ara yang masih berdiri tenang. Melihat kehadiran gadis itu, Lucas tampak terkejut.
"Lo ya yang udah hajar bos gue?" Lucas menunjuk Ara sambil menatap penuh kewaspadaan. Semua anggota langsung mengalihkan perhatian mereka ke gadis tersebut.
"Wah, bener-bener lo ya! Gavin lo pukulin sampai begini, sekarang si Boss juga lo hajar!" Alvin menyuarakan kekesalannya melihat situasi tersebut, tak habis pikir bagaimana gadis kecil itu bisa membuat keributan sedemikian rupa.
"Lo ngapain, Ra? Nggak cukup apa mukulin temen gue?" seru Arga dengan nada tinggi ke arah Ara. Tapi Ara tetap tenang sambil memasang ekspresi datar, menatap mereka semua. Ternyata, Arga belum juga kapok meskipun sebelumnya sudah dihajar habis-habisan oleh Ara.
"Iya tuh, si Gavin udah babak belur gara-gara lo. Sekarang malah lo hajar lagi temen gue. Percuma aja gaya lo berubah, tapi kelakuan lo makin ngawur," gerutu Ryan yang ikut kesal dengan Ara.
"Stop. Gue bukan dipukulin dia, tapi dia yang nyelamatin gue," jawab Gio, yang sejak tadi diam saja, akhirnya angkat bicara untuk membela Ara.
DEG.
Semua terkejut mendengar pengakuan Gio. Ternyata Ara bukan memukuli teman mereka, justru sudah menyelamatkan Gio. Mereka pun sadar telah salah menilai Ara.
"Udah, gue cabut," kata Ara santai sambil membalikkan badan dan berjalan menuju motornya. Ia segera menghidupkan motornya lalu melesat pergi melewati geng Bruiser yang masih terpaku di tempat.
"Kalian kenal sama tuh cewek?" tanya Gio yang mulai penasaran kepada teman-temannya.
"Ya gimana nggak kenal. Dia satu sekolah sama kita. Lagi pula, dia juga adiknya Arga dan Arka," jawab Lucas menjelaskan.
"Hmm," balas Gio singkat sambil menghela napas pelan.
"Bawa si Bos ke markas aja buat diobatin. Bonyoknya parah gitu," ucap Alvin menyadarkan teman-temannya yang lain.
Akhirnya, mereka semua bergegas menuju markas sambil membawa Gio. Sesampainya di sana, Gio langsung diobati oleh Lucas. Selama proses itu, wajah Lucas tampak meringis seolah mengerti rasa sakit Gio. Sebaliknya, Gio hanya duduk diam dengan ekspresi datar tanpa menunjukkan rasa sakit sedikit pun.
Bisa-bisanya si bos nggak meringis sama sekali pas gue obatin. Udah kayak tembok itu ekspresinya," keluh Lucas setelah selesai mengurus luka-luka Gio.
"Jadi tuh cewek beneran adik kalian berdua sekaligus satu sekolah sama kalian?" tanya Gio kemudian, masih penasaran.
"Iya," jawab Arga singkat dan terkesan dingin, seperti menyimpan ketidaksukaan terhadap adiknya sendiri. Gio mengerutkan kening, bingung melihat sikap Arga tersebut.
Lucas yang memahami situasi pun mulai menjelaskan, "Bos, gini ya... Arga itu benci banget sama Ara karena dulu penampilannya cupu banget, dekil pula. Nah, setelah dia berubah penampilannya jadi lebih keren menurut dia sendiri, dia malah mulai nge-bully Vania, adiknya kita. Lo pasti tahu, kan. Terus si Gavin sama Arga bisa babak belur begini ya karena ulah Ara juga. Jadi wajar kalau Arga dan keluarga, terus kita semua di sini, nggak ada yang suka sama dia."
Teman-temannya mengangguk setuju mendengar cerita Lucas, sementara Gio terdiam memikirkan semuanya. Ucapan Lucas terus terngiang di kepalanya.
"Ada yang nggak beres nih. Kayaknya nggak mungkin Ara bersikap seperti itu kalau nggak ada penyebabnya," batin Gio mencoba mencerna semuanya. Entah kenapa, hanya dengan membayangkan wajah Ara saja, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Sementara itu, Ara sudah sampai di mansion tempat tinggalnya. Suasana rumah tampak sepi ketika ia masuk ke dalam.
"Baguslah," gumam Ara dalam hati. Dia hanya ingin istirahat dan benar-benar malas menghadapi drama keluarganya.
Sesampainya di kamar, Ara langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur king size miliknya yang empuk. Dengan cepat, ia pun tertidur dan menyelam ke dalam mimpi yang menunggu di alam bawah sadarnya.
Pukul 7 malam, Ara bangun dan segera membersihkan diri untuk bersiap makan malam.
Ia mengenakan piyama beruang berwarna cokelat, dengan rambut yang dicepol seadanya.
Ara turun ke ruang makan, namun suasana masih sepi.
"Bagus," pikirnya, "setidaknya malam ini ia bisa menikmati ketenangan."
"Non Ara, makan malamnya sudah siap. Orang tua Non dan kakak Non sedang tidak ada, mereka pergi semuanya," ujar Bi Ina kepada Ara.
"Iya, nggak apa-apa, Bi. Bibi sudah makan?" tanya Ara sambil melihat Bi Ina yang sedang mengisi piring makan untuknya.
"Sudah, Non," jawab Bi Ina sambil menyelesaikan tugasnya.
"Kalau begitu, Ara makan dulu ya, Bi," kata Ara singkat.
Setelah selesai makan, Ara berpamitan kepada Bi Ina untuk segera naik ke kamar dan tidur.
"Bi, Ara ke atas dulu ya, mau tidur," ujar Ara saat Bi Ina tengah membereskan meja makan.
"Iya, Non, tidur yang nyenyak ya," balas Bi Ina dengan senyuman hangat.
"Iya, Bi," balas Ara sambil tersenyum kecil, lalu melangkah menuju kamarnya.
Rasa kantuk masih menemani Ara.
Sesampainya di kamar, ia langsung merebahkan tubuh di atas kasur king size-nya, bersiap menyambut hari esok yang mungkin akan dipenuhi oleh drama baru.
"Good night, dunia tipu-tipu," ucapnya pelan sebelum memejamkan mata.