NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyelinap pergi

Hai, Angkasa. Aku harap kamu baik-baik saja. Aku khawatir karena kamu tiba-tiba menghilang……dan kata-kata itu, yang tertulis dengan tinta hitam di atas kertas putih beraroma vanila, adalah sebuah jembatan rapuh yang terbentang di atas jurang waktu.

Jembatan yang menghubungkan Angkasa-sang-pasien dengan Angkasa-sang-barista. Dua dunia yang seharusnya tidak pernah bertemu lagi.

“Waduh, surat cinta!” seru Gilang, menyeringai lebar dari ranjangnya. Rasa penasarannya mengalahkan rasa kantuknya.

“Cewek mana, nih, Kak, yang kena pelet lo? Kasihan banget seleranya.”

Lila tidak ikut tertawa. Ia hanya tersenyum tipis, tetapi matanya yang jeli menangkap getaran di tangan Angkasa saat pria itu memegang surat dari Mia. Ia melihat bagaimana rahang Angkasa mengeras, bagaimana napasnya tertahan sejenak.

“Cuma teman lama,” jawab Angkasa, suaranya lebih serak dari yang ia inginkan.

Ia melipat surat itu dengan hati-hati, seolah takut merusaknya, lalu memasukkannya kembali ke dalam amplop. Kebohongan pertama terasa seperti kerikil tajam di tenggorokannya.

“Dia… cuma nanya kabar.”

“Teman lama apa teman tapi mesra?” goda Gilang lagi, tak mau menyerah.

“Bocah, diam,” potong Angkasa, mencoba terdengar galak, tetapi gagal total.

Pikirannya sudah melayang jauh dari kamar 702. Ia bisa membayangkan tawa Mia, aroma kopi yang selalu gadis itu pesan, spiced latte dengan ekstra kayu manis, dan cara matanya menyipit saat tersenyum. Sebuah ilusi kebahagiaan yang terasa begitu nyata dan menyakitkan.

Lila sepertinya merasakan pergolakan itu.

“Sudah, Gilang. Jangan ganggu Mas Angkasa,” katanya lembut, mengalihkan perhatian adiknya.

“Waktunya minum obat.”

Perhatian mereka teralih, memberi Angkasa ruang untuk bernapas. Ia meletakkan paket itu di laci nakasnya, menyembunyikannya dari pandangan seolah benda itu adalah barang selundupan. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan gema yang ditinggalkannya di dalam hati.

Surat itu adalah sebuah undangan. Undangan untuk kembali ke kehidupan di mana satu-satunya masalahnya adalah bagaimana cara memulai percakapan dengan seorang gadis manis, bukan bagaimana cara bertahan hidup dari pabrik darah yang mogok kerja.

Keinginan itu tumbuh menjadi monster lapar di dalam dadanya. Keinginan untuk melarikan diri, walau hanya untuk satu jam. Keinginan untuk merasakan lagi menjadi Angkasa yang utuh, bukan pasien dengan gelang nama di pergelangan tangannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

Keesokan siangnya, kesempatan itu datang. Lila sedang sibuk dengan giliran kerjanya di bangsal lain, dan Gilang tertidur pulas setelah sesi fisioterapi yang melelahkan. Kamar 702 senyap, hanya diisi oleh bunyi teratur monitor jantung Gilang.

Inilah saatnya.

Dengan gerakan yang terasa seperti pengkhianatan, Angkasa duduk di tepi ranjangnya. Kepalanya sedikit pusing, tetapi ia mengabaikannya. Matanya tertuju pada selang infus yang menancap di punggung tangannya, sebuah rantai transparan yang mengikatnya pada kenyataan. Ia tidak punya waktu untuk memanggil perawat dan membuat alasan.

Tangannya gemetar saat ia menarik plester itu perlahan. Rasa perih yang tajam menyengat kulitnya saat jarum ditarik keluar. Setetes darah mengalir, ia menekannya cepat dengan kapas dari nakas. Sakitnya tidak seberapa dibandingkan dengan rasa bersalah yang menusuk-nusuk hatinya.

Ia mengenakan jaket hoodie yang sudah lama tak tersentuh, menarik tudungnya hingga menutupi sebagian wajahnya. Ia bergerak seperti pencuri di rumahnya sendiri, melangkah tanpa suara melewati ranjang Gilang, dan menyelinap keluar dari pintu.

Koridor rumah sakit terasa seperti labirin yang asing. Setiap perawat yang berpapasan dengannya membuat jantungnya berdebar kencang. Ia terus menunduk, berjalan cepat menuju lobi.

Saat pintu kaca otomatis terbuka dan udara Jakarta yang panas dan penuh polusi menerpa wajahnya, ia merasa seperti narapidana yang baru saja menghirup kebebasan. Baunya menyengat, tetapi itu adalah bau kehidupan.

Ia mencegat taksi, memberikan alamat kafe tempatnya bekerja dengan suara parau. Sepanjang perjalanan, ia menatap gedung-gedung yang berlarian di luar jendela. Dunia masih berputar seperti biasa. Orang-orang masih sibuk dengan hidup mereka. Hanya dunianya yang berhenti, terkurung di dalam empat dinding steril.

Saat tiba di kafe, lonceng kecil di atas pintu berbunyi, suara yang dulu begitu familier kini terdengar seperti gema dari masa lalu. Aroma biji kopi yang disangrai dan susu hangat langsung menyambutnya. Di sana, di meja sudut favoritnya, Mia sudah menunggu.

Gadis itu mengangkat kepala saat mendengar lonceng. Wajahnya yang cemas seketika berubah cerah.

“Angkasa!” serunya, senyumnya mekar seperti bunga di pagi hari.

Ia berjalan menghampiri meja itu, setiap langkah terasa berat.

“Hai, Mia.”

“Kamu ke mana aja? Aku khawatir tahu,” kata Mia, nadanya campuran antara lega dan sedikit kesal.

“Tiba-tiba ngilang gitu aja. Ditelepon nggak diangkat, di-chat juga nggak dibalas.”

“Maaf,” Angkasa duduk di hadapannya.

“Ada… urusan keluarga mendadak di luar kota. Aku nggak sempat pegang ponsel.” Kebohongan kedua. Lebih mudah diucapkan, tetapi meninggalkan bekas luka yang lebih dalam.

“Oh,” Mia tampak lega.

“Syukurlah kalau gitu. Kukira kamu kenapa-kenapa.” Ia menatap Angkasa lekat-lekat.

“Tapi kamu kelihatan pucat. Kurusan juga. Kamu sakit?” tanya Mia dengan tatapan penuh selidik.

Jantung Angkasa mencelos.

“Cuma kecapekan, kok. Perjalanannya lumayan jauh," kilahnya cepat.

Mia tampaknya menerima alasan itu.

“Ya sudah, kamu mau pesan apa? Biar aku yang traktir. Anggap aja perayaan kamu balik lagi.” Sebelum Angkasa sempat menjawab, Mia sudah memanggil barista.

“Mas, spiced latte satu, sama Americano kayak biasa, ya!”

Angkasa hanya tersenyum tipis. Gadis ini mengingat pesanannya. Sebuah detail kecil yang terasa seperti pelukan hangat. Untuk satu jam ke depan, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam ilusi itu. Ia bukan Angkasa si penderita Anemia Aplastik. Ia adalah Angkasa, barista pendiam yang sedang duduk di hadapan gadis yang ia sukai.

Mereka berbicara tentang hal-hal sepele. Tentang film baru, tentang tugas kuliah Mia yang menumpuk, tentang gosip terbaru di kafe. Tawa Mia mengisi kekosongan di dalam diri Angkasa. Untuk sesaat, ia lupa akan bau disinfektan, lupa akan kantong-kantong darah, lupa akan vonis waktu yang menggantung di atas kepalanya. Ini adalah kebahagiaan utuh yang palsu, dan ia menelannya bulat-bulat dengan rakus.

“Ibuku kemarin bawain oleh-oleh dari Singapura,” cerita Mia riang.

“Beliau itu, deh, paling tahu cara bikin aku senang. Walaupun sibuk banget, pasti selalu ada waktu buat aku.”

Angkasa hanya mengangguk, senyumnya sedikit kaku. Sebuah pisau tak terlihat kembali mengiris hatinya. Ia mendorong rasa sakit itu jauh ke dalam. Tidak hari ini. Hari ini ia hanya ingin bahagia.

Waktu berlalu terlalu cepat. Saat melihat jam di dinding, Angkasa sadar ia harus kembali sebelum ketiadaannya memicu alarm di rumah sakit.

“Aku harus pergi,” katanya, berusaha menyembunyikan nada enggan dalam suaranya.

“Yah, kok, buru-buru?” Wajah Mia tampak kecewa. “Kapan kita bisa ketemu lagi?”

“Nanti aku kabari,” janji Angkasa. Kebohongan lagi.

“Makasih buat kopinya.”

“Hati-hati, ya. Jangan ngilang lagi,” kata Mia sambil melambaikan tangan.

Angkasa hanya mengangguk sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan kehangatan dan cahaya di belakangnya. Perjalanan kembali ke rumah sakit terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Rasa lelah yang sedari tadi ia tekan kini menghantamnya seperti gelombang pasang. Kepalanya berdenyut, dan napasnya terasa lebih berat. Pelarian singkatnya telah menuntut bayaran dari tubuhnya yang rapuh.

Ia berhasil menyelinap kembali ke kamarnya tanpa ketahuan. Gilang masih tertidur. Dengan cepat, ia berganti pakaian rumah sakit dan merebahkan diri di ranjang, menarik selimut hingga ke dada, seolah kehangatan selimut bisa menyembunyikan jejak perbuatannya.

Namun, saat pintu kamar terbuka pelan beberapa saat kemudian, ia tahu ia tidak bisa bersembunyi.

Lila berdiri di ambang pintu. Wajahnya yang biasanya teduh kini tampak tegang. Kantong keresek berisi makanan yang biasa ia bawa tergantung lemas di tangannya. Matanya memindai ranjang Angkasa yang kosong tadi, lalu beralih padanya yang kini berpura-pura tidur.

Ia berjalan masuk tanpa suara, meletakkan kantong itu di meja. Keheningan di antara mereka begitu pekat, bisa diiris dengan pisau. Angkasa tetap memejamkan mata, berharap wanita itu akan pergi.

“Kamu dari mana?”

Suara Lila yang pelan dan bergetar memecah keheningan. Itu bukan pertanyaan marah. Itu adalah pertanyaan yang sarat akan kekhawatiran yang luar biasa.

Angkasa tidak punya pilihan. Ia membuka matanya perlahan dan menatap Lila. Wajah wanita itu pucat, matanya sedikit merah. Ia pasti sudah mencarinya ke seluruh penjuru rumah sakit.

“Aku…” Angkasa mencoba mencari kata-kata, tetapi lidahnya kelu. Tidak ada kebohongan yang cukup baik untuk menutupi perbuatan ini.

Lila tidak menunggu jawabannya. Ia melihat wajah Angkasa yang lebih pucat dari biasanya, bibirnya yang kembali membiru tipis, dan keringat dingin yang membasahi pelipisnya. Amarah yang mungkin sempat ada di hatinya menguap, digantikan oleh gelombang ketakutan yang mencengkram. Ketakutan akan kehilangan.

Ia melangkah maju, jarak di antara mereka terkikis dalam dua langkah cepat. Tanpa sepatah kata pun, ia mencondongkan tubuhnya dan memeluk Angkasa yang masih berbaring.

Bukan pelukan lembut. Itu adalah pelukan yang erat dan putus asa. Pelukan seseorang yang menemukan kembali sesuatu yang sangat berharga yang ia kira telah hilang. Angkasa membeku, terkejut oleh reaksi yang tak terduga itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh Lila, bisa mendengar napasnya yang tercekat di dekat telinganya.

Ia ingin membalas pelukan itu, ingin mengatakan maaf, ingin menjelaskan semuanya. Namun, saat ia menghirup aroma sampo bunga dari rambut Lila yang menyentuh pipinya, sebuah aroma lain yang asing namun familier menyeruak dari jaket yang ia kenakan.

Aroma manis dan hangat dari kayu manis dan kopi. Aroma spiced latte milik Mia.

Di tengah kehangatan pelukan Lila yang terasa seperti rumah, aroma pelariannya sendiri terasa seperti sebuah pengkhianatan yang menusuk tajam. Jantungnya yang berdetak lemah seakan berhenti.

1
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!