NovelToon NovelToon
Whispers Of A Broken Heart

Whispers Of A Broken Heart

Status: tamat
Genre:Beda Usia / Ibu Mertua Kejam / CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)

Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Rianti melangkah pelan keluar dari mobil, wajahnya masih pucat, tapi matanya sedikit tenang.

Di belakangnya, dr. Pratama menutup pintu mobil dan berjalan mendampinginya menuju teras rumah Mama Dewi.

Mama Dewi yang sedang menyiram tanaman langsung menoleh.

“Rianti…!” serunya kaget, segera berlari menghampiri dan memeluk putrinya erat.

“Ya Tuhan, kamu dari mana saja, Nak? Mama hampir gila karena khawatir!”

Rianti meneteskan air mata di bahu mamanya.

"Ma, maaf. Aku cuma butuh waktu sendiri.”

Tapi sebelum Mama Dewi sempat menjawab, suara berat memotong keheningan dari arah pintu rumah.

“Rianti?”

Rianti membeku. Perlahan ia menoleh dan di sana Bramantya berdiri dengan wajah tegang, matanya menatap tajam ke arah Pratama yang masih berdiri tak jauh di belakang istrinya.

Ketegangan langsung terasa.

“Bram…” ucap Rianti pelan, suaranya bergetar.

“Ma, dia dokter yang nolong aku. Aku sakit di bus.”

Pratama menunduk sopan.

“Benar, Pak Bramantya. Istri Anda saya temukan dalam kondisi lemah di perjalanan. Saya hanya menolong sesuai tanggung jawab saya sebagai dokter.”

Tatapan Bram tak bergeser sedikit pun dari wajah Pratama. Rahangnya mengeras, matanya dingin campuran antara marah, cemburu, dan lega.

“Terima kasih, Dokter,” katanya dengan suara datar namun tajam.

“Saya yang akan menjaga istri saya sekarang.”

Pratama hanya tersenyum tenang.

“Tentu. Tapi tolong pastikan beliau istirahat total. Saya sudah berikan obatnya di tas.”

Ia menatap Rianti sebentar, menambahkan lembut,

“Jangan keras kepala lagi, ya.”

Rianti mengangguk kecil dan tersenyum kecil ke arah Pratama.

“Terima kasih, Dok.”

Pratama kemudian berpamitan pada Mama Dewi, lalu meninggalkan halaman dengan langkah tenang.

Namun begitu mobilnya pergi, suasana berubah tegang kembali.

“Kamu pergi tanpa kabar, bikin aku setengah mati mencarimu… dan pulang bersama pria lain?” suaranya rendah tapi tajam.

Rianti menunduk, menahan perasaan yang campur aduk.

"Aku nggak bermaksud kabur dari kamu, Bram. Aku cuma butuh tenang.”

“Tenang?” Bram tertawa sinis. “Dan ketenangan kamu itu didapat dari lelaki lain?”

“Bram!” Mama Dewi menegur dengan nada tegas.

“Jaga bicaramu! Dokter itu menyelamatkan nyawa Rianti!”

Bram terdiam, tapi matanya masih penuh bara.

Ia menarik napas panjang, menatap istrinya yang masih pucat.

"Kalau kamu butuh waktu, fine. Tapi jangan suruh aku pura-pura nggak peduli.”

Rianti menatapnya lemah dan masuk kedalam rumah.

“Tolong, Ma. Suruh dia pulang dulu.”

Bram terdiam sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke Mama Dewi.

Mama Dewi hanya menatapnya penuh arti, campuran antara kasihan dan teguran seorang ibu. Akhirnya Bram menghela napas panjang.

"Baik. Aku pulang.” ucap Bramantya pelan tapi jelas.

Ia berjalan melewati Rianti tanpa menatapnya lagi, tapi sebelum benar-benar keluar rumah.

“Aku nggak akan marah kalau kamu takut. Tapi aku nggak akan pernah tenang kalau kamu jauh dari aku.”

Bram keluar dari rumah, meninggalkan Rianti yang menatap pintu dengan air mata menggantung di pelupuk mata.

“Sudah, Nak. Istirahat dulu. Kadang cinta yang besar memang bisa bikin orang buta arah.”

Rianti menunduk, menahan tangis yang akhirnya pecah dalam diam.

Bramantya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Jalanan malam tampak kabur di matanya yang mulai memerah, bukan karena kantuk, tapi karena cemburu dan emosi yang tertahan.

Tangannya mengepal kuat di atas setir, rahangnya mengeras.

“Dokter itu bahkan manggil namanya tanpa embel-embel ‘Bu’,” gumamnya pelan tapi penuh tekanan.

“Dan Rianti dia malah senyum ke dia.”

Mobil berhenti di depan rumah. Bram turun dengan langkah berat, langsung melempar jasnya ke sofa dan menghantam meja dengan kepalan tangan.

BRAKK!

Gelombang marah yang ia tahan sedari tadi akhirnya pecah.

“Aku nggak bisa percaya dia pergi tanpa bilang apa-apa, lalu muncul dengan pria lain!”

Bramantya berjalan mondar-mandir di ruang tamu.

Di meja, ponsel Rianti yang tertinggal di hotel masih tergeletak diam, seolah menertawakan kekacauan hatinya. Ia meraihnya dan menatap layar itu lama.

Foto mereka berdua sebagai wallpaper terasa seperti ironi.

“Aku hampir gila waktu kehilangan kamu, Ri. Tapi kenapa harus dia yang nemuin kamu duluan?” katanya dengan suara bergetar.

Ia duduk di sofa, memejamkan mata. Nafasnya berat.

Bayangan Rianti tersenyum kepada dokter muda itu terus berputar di pikirannya.

“Aku harus temui dokter itu. Aku mau tahu sejauh apa dia dekat dengan istriku,” desisnya.

Bramantya menghentikan langkahnya dan ia mengurungkan niatnya.

Keesokan paginya di halaman rumah Mama Dewi, matahari baru saja menyinari taman kecil dengan lembut.

Rianti sedang menyiram tanaman, air dari selang memercik lembut ke bunga-bunga yang bermekaran.

Udara segar pagi itu terasa menenangkan, dan untuk sesaat, Rianti lupa sejenak tentang kekacauan beberapa hari terakhir.

Tiba-tiba, ia melihat sosok yang familiar mendekat dari gerbang rumah. Pratama, mengenakan jas putih rapi, membawa sebuket bunga dan nampan berisi bubur hangat.

“Pagi, Rianti. Aku bawakan kamu sarapan dan bunga, biar pagi ini lebih cerah,” ucap Pratama sambil tersenyum lembut.

Rianti menunduk, sedikit malu, tapi senyumnya muncul tipis.

“Ayo, kita masuk. Jangan cuma di halaman.”

Pratama mengangguk dan mereka berdua masuk ke teras rumah.

Rianti memandu Pratama ke ruang makan, sementara mereka bercanda ringan, tertawa kecil dengan kebiasaan lucu Pratama saat menyuapi bubur.

Tak lama kemudian, suara mobil di jalan menarik perhatian mereka.

Rianti menoleh dan terkejut melihat Bramantya baru saja turun dari mobilnya, wajahnya serius, tanpa senyum sedikit pun.

Bramantya menatap pemandangan dimana Rianti dan Pratama sedang tertawa terbahak-bahak, berbagi momen hangat.

Dadanya bergetar karena cemburu yang tersisa, tapi ia tetap menahan diri.

Ia melangkah masuk ke rumah tanpa bicara sepatah kata pun, matanya lurus ke depan, seolah tidak melihat Rianti sama sekali.

Rianti yang melihat suaminya masuk langsung terdiam, rasa bersalah dan canggung bercampur jadi satu.

Pratama pun menunduk hormat, menyadari ketegangan yang muncul di ruangan itu.

Bramantya duduk di sofa, tetap diam. Rianti menatap suaminya, bibirnya terbuka ingin bicara, tapi tak ada kata yang keluar.

Tawa dan canda kemarin pagi terasa jauh, digantikan oleh suasana hening yang menegangkan.

Pratama, dengan sopan, perlahan meletakkan bubur dan bunga di meja, kemudian menatap Bramantya sejenak.

“Selamat pagi, Pak Bramantya,” ucapnya ringan, tapi penuh rasa hormat.

Bram hanya mengangguk tipis, masih menahan amarah dan rasa cemburu.

Bramantya menatap Rianti yang baru saja menyelesaikan sarapan buburnya, napasnya masih berat karena perasaan campur aduk.

Ia berdiri perlahan, lalu duduk di samping Rianti di meja makan, menempatkan dirinya seakan ingin menunjukkan kedekatan tanpa kata-kata.

Rianti menunduk sebentar, menenangkan hatinya, tapi kemudian dengan sedikit senyum tipis ia bangkit dari kursi dan berjalan ke sisi Pratama.

Ia duduk di samping dokter muda itu, membuat jarak jelas dengan Bramantya.

“Lebih baik kamu duduk di samping Linda saja,” ucap Rianti dengan nada ringan, sambil melirik ke arah suaminya yang duduk diam, wajahnya masih serius tapi matanya mengikuti setiap gerakan Rianti.

Pratama menahan senyum, merasa canggung tapi tetap hormat, sedangkan Bramantya menatap tajam, menahan rasa cemburu yang mendidih di dadanya.

Ia menunduk sebentar, lalu menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum berbicara.

“Ri, bisa kita bicara sebentar setelah ini?” suaranya rendah, tapi jelas terdengar.

Rianti menatapnya sekilas, campuran rasa bersalah dan ketakutan muncul di matanya.

“Nanti dulu, Bram. Aku masih butuh waktu.”

Bram mengangguk, menahan sabar. Ia duduk tegap di kursinya, tetap di samping Rianti, memastikan kehadirannya terasa, tapi tidak memaksakan diri.

Di sisi lain, Pratama hanya menunduk sopan, meletakkan sendoknya, dan menatap Rianti dengan penuh perhatian, sementara Rianti sesekali mencuri pandang ke Bramantya yang sedang cemburu.

1
Nur Rsd
ceritanya bagus
my name is pho: terima kasih 🥰🥰
total 1 replies
kalea rizuky
tinggalin aja cwek uda jelek gendut bloon lagi
kalea rizuky
tolol kehilangan dua anak sekaligus males baca q oon kebangetan
my name is pho: kak, sabar.
🤭🙏
total 1 replies
kalea rizuky
rianty ttep aja bodoh
kalea rizuky
rianty ttep tolol
kalea rizuky
rianty Bram itu cinta mati ke lu jd lu sikap manis aja dia pasti bucin bodoh bgt ambil hati bram donk uda lupain itu rabuu bangsatt
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!