NovelToon NovelToon
Whispers Of A Broken Heart

Whispers Of A Broken Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:748
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)

Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Tok. Tok.

Pintu kamar villa diketuk pelan.

Bram yang sedang membereskan piring sarapan menoleh.

Ia sempat menatap Rianti yang kini sedang duduk bersandar di sofa, memeluk bantal dengan posisi defensif.

“Dokternya sudah datang. Aku bukakan pintu, ya?” ucap Bram pelan, memastikan Rianti tidak kaget.

Rianti hanya mengangguk pelan tanpa menoleh.

Bram membuka pintu dan menyambut seorang wanita paruh baya berwajah teduh, berpenampilan sederhana namun elegan.

“Selamat pagi, saya Dr. Karin.”

“Terima kasih sudah datang, Dok.” jawab Bram, menunduk sopan.

Dr. Karin menatap Bram sebentar, lalu tersenyum sangat lembut, seolah tahu pria ini sedang berusaha keras.

“Bolehkah saya bicara dengan Rianti, sendirian dulu?”

Bram sempat ragu dan ia menoleh pada Rianti.

Rianti tampak menegang. Matanya bergerak panik seolah takut Bram akan pergi.

Bram segera maju dan berlutut di hadapannya.

“Aku ada di luar. Kalau kamu panggil… aku masuk. Sekejap pun aku nggak akan jauh.”

Rianti menggigit bibir. Perlahan, ia mengangguk.

Bram berdiri, menatap Dr. Karin penuh harap, lalu keluar dan menutup pintu dengan sangat pelan.

Dr. Karin tidak langsung duduk di hadapan Rianti. Ia mengambil kursi dan memposisikannya agak jauh, memberi ruang.

"Halo, Rianti. Aku Karin. Boleh aku duduk di sini?”

Rianti mengangguk pelan.

*Aku tidak akan tanya hal yang berat. Kita ngobrol ringan saja dulu, ya?”

Rianti diam. Jemarinya mencengkram erat bantal.

Dr. Karin lalu melihat ke luar jendela menuju laut biru yang tenang.

"Aku suka tempat ini, kamu juga suka laut?”

Rianti terkejut. Ia tidak menyangka pembicaraan akan dimulai dari hal sederhana itu.

“…suka.”

“Aku suka laut karena dia tenang, tapi dalam. Orang sering kira permukaannya yang indah itu segalanya, padahal di dalamnya ada banyak hal yang tidak terlihat.”

Rianti menatapnya perlahan dan Dr. Karin melanjutkan.

“Terkadang hati manusia juga begitu. Terlihat baik di luar, tapi ada badai di dalamnya. Aku tidak akan paksa kamu cerita tentang badaimu. Aku cuma mau bilang aku di sini kalau kamu siap untuk bicara.”

Rianti mulai terlihat sedikit rileks.

Namun senyumnya memudar saat tatapannya tak sadar beralih ke pintu ke arah Bram.

“Kamu belum benar-benar tenang di dekat suamimu ya?” tanya Dr. Karin lembut.

Rianti terdiam. Lama. Lalu mengangguk sangat pelan.

Suaranya bergetar saat ia akhirnya bicara.

“Aku sayang dia, tapi waktu dia peluk aku tadi malam tiba-tiba ingatan penculikan itu muncul. Aku takut kalau tubuhku bereaksi bukan karena dia tapi karena trauma…”

"Aku takut dia merasa aku menjauh, tapi aku belum siap…”

Dr. Karin mendengarkan tanpa menyela.

Setelah beberapa detik hening, ia bertanya lembut:

“Kalau kamu boleh minta sesuatu dari Bramantya, satu hal saja supaya kamu merasa aman kamu mau apa?”

Rianti berpikir lama.

Lalu ia mengusap air matanya.

“Tolong bilang ke dia, jangan peluk aku dari belakang dulu. Dan jangan sentuh tiba-tiba…”

Di luar ruangan Bram berdiri di balkon, gelisah. Ia berjalan mondar-mandir, mengepalkan tangan.

Tiba-tiba pintu terbuka.

Dr. Karin keluar.

Bram langsung menghampiri.

"Dok, bagaimana?”

Dr. Karin menatapnya dalam-dalam.

“Dia tidak membencimu. Dia justru mencintaimu sangat besar. Tapi tubuhnya, belum bisa membedakan pelukanmu dengan pelukan orang yang menculiknya.”

Bram menutup mata. Rahangnya mengeras menahan emosi.

“Apa yang harus saya lakukan?”

Dr. Karin tersenyum saat mendengar perkataan dari Bramantya.

“Belajar mencintai tanpa menyentuh. Untuk sementara, cintai dia dengan jarak.”

"Saya akan lakukan apa pun… asalkan dia bisa merasa aman lagi.”

Dokter Karin masuk dan disusul dengan

Bramantya.

Tok.

Bram mengetuk pintu perlahan, meski itu kamarnya sendiri.

“Boleh aku masuk?”

Rianti yang tadinya sedang berbicara pelan dengan Dr. Karin menoleh ke arah pintu. Ada sedikit keraguan tapi bibirnya melengkung tipis.

"Masuklah, Bram…”

Bram membuka pintu perlahan. Ia tidak mendekat tergesa-gesa, melainkan berdiri beberapa langkah dari sofa, menjaga jarak seperti yang disarankan. Dan di sana Rianti tersenyum kecil ke arahnya.

Bram langsung terpaku. Senyum itu bahkan hanya sekilas… terasa lebih mahal dari seluruh harta yang ia punya.

Ia menghela napas panjang. Dalam hati, ia berkata pada dirinya sendiri:

“Mulai dari awal lagi. Bahkan kalau perlu mulai dari perkenalan.”

Dengan nada pelan, Bram berbicara:

“Selamat pagi, Nona. Bolehkah saya duduk di sini?” ujarnya sambil menunjuk kursi di seberang Rianti bukan di sebelahnya.

Rianti sempat terkejut dengan perkataan dari suaminya, lalu tersenyum geli.

"Silakan, Tuan…”

Bram duduk pelan.

Tak ada pelukan. Tak ada sentuhan.

Hanya senyum dan udara yang hangat.

“Apa kamu tidur nyenyak?” tanya Bram.

Rianti mengangguk.

“Sedikit, tapi lebih nyenyak dari malam sebelumnya.”

Bram menatapnya penuh kelegaan.

“Bagus. Hari ini, apa kamu ingin jalan-jalan? Nggak usah jauh-jauh. Kita bisa mulai dari jalan kaki di deck luar villa. Kalau kamu mau.”

Rianti berpikir sejenak, lalu bertanya pelan:

“Kalau aku tiba-tiba takut… kamu akan apa?”

Bram menatapnya penuh ketulusan.

"Aku akan berhenti. Mundur. Dan nunggu kamu siap lagi.”

Rianti menunduk, menahan senyum dengan pipi yang sedikit merah.

"…baiklah. Tapi kamu harus janji.”

"Janji apa?”

"Kalau aku mundur sepuluh langkah… kamu jangan ikut-ikutan mundur juga.”

Bram sempat bingung—lalu tertawa kecil.

"Kenapa nggak boleh?”

"Nanti kita nggak maju-maju. Jalan mundur melulu.”

Bram menatap Rianti lama. Matanya bergetar. Ada tawa kecil, tapi juga ada haru yang dalam.

"Baik, Ratu Maldives. Aku janji. Kalau kamu mundur sepuluh langkah… aku akan tetap berdiri di tempat. Dan kalau kamu maju lagi…”

“…aku akan sambut kamu seolah kamu datang pertama kali.”

Rianti tertawa kecil mendengar perkataan dari suaminya.

“Bram…”

"Hm?”

"Sepertinya aku jatuh cinta lagi.”

Bram menghela napas lega dengan perkataan istrinya.

“Bagus. Karena aku juga lagi jatuh cinta… ke kamu yang baru.”

Dokter Karin yang melihat langsung pamit pulang.

Bramantya menjabat dokter Karin dan mengucapkan terima kasih.

Sementara itu, di kediaman Prabu di dapur dipenuhi aroma tumisan bawang dan ayam kecap.

Tryas sedang memasak sambil bersenandung pelan, sesekali mencicipi kuah masakannya.

Tok tok tok!

Tryas menoleh. Suaranya terlalu berat untuk sekadar tamu biasa.

Pintu depan diketuk sekali lagi, kali ini lebih keras.

Duk duk duk!

Tryas buru-buru mematikan kompor dan berjalan keluar dapur.

“Iya, sebentar!”

Saat pintu dibuka, tiga orang polisi berseragam berdiri di depan rumah.

Tryas langsung bingung.

"Maaf, ada apa ya, Pak?”

Polisi utama mengeluarkan lencana.

“Selamat pagi, Ibu. Kami dari kepolisian. Apakah ini rumah Bapak Prabu?”

Tryas mengangguk pelan.

“I-iya… betul. Suami saya. Tapi beliau sedang tidak ada di rumah. Ada apa ya?”

Polisi itu menatapnya dengan serius.

“Kami mendapat laporan bahwa saudara Prabu Adi Kusuma, bersama seorang wanita bernama Linda, terlibat dalam dugaan penculikan terhadap korban bernama Rianti Kusuma. Kami datang untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.”

Darah Tryas seakan berhenti mengalir.

“…a-apa?”

Polisi menunjukkan surat perintah penyelidikan.

"Apabila Ibu mengetahui keberadaan suami Anda, mohon segera informasikan kepada kami. Kami sarankan Anda bekerja sama agar tidak dianggap menghalangi proses hukum.”

Tryas memegang dinding, hampir limbung.

“N—nggak mungkin, Prabu. Prabu bukan orang seperti itu…!”

Polisi hanya menatap tanpa ekspresi.

“Kami hanya menjalankan tugas, Ibu. Tolong beri tahu bila suami Anda menghubungi Anda.”

Setelah itu polisi pergi, meninggalkan Tryas yang berdiri kaku di ambang pintu.

Tangannya bergetar hebat. Ia buru-buru menutup pintu, lalu jatuh duduk di lantai.

"Prabu, kamu di mana sekarang?”

Air matanya menetes tanpa disadari.

“Kamu bilang kemarin mau pulang ke rumah orang tuamu… tapi ternyata…”

Tangannya perlahan mengepal.

"Kalau ini benar…” gumamnya lirih.

Ia mengusap air matanya, wajahnya menegang.

“Prabu, kali ini aku nggak akan diam saja.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!