Namanya Diandra Ayu Lestari, seorang perempuan yang begitu mencintai dan mempercayai suaminya sepenuh hati. Baginya, cinta adalah pondasi rumah tangga, dan persahabatan adalah keluarga kedua. Ia memiliki seorang sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, tempat berbagi rahasia, tawa, dan air mata. Namun, sebaik apa pun ia menjaga, kenyataannya tetap sama, orang lain bukanlah darah daging.
Hidupnya runtuh ketika ia dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai, suaminya, dan sahabat yang selama ini ia anggap saudara.
Di tengah keterpurukannya ia bertemu ayah tunggal yang mampu membuatnya bangkit perlahan-lahan.
Apakah Diandra siap membuka lembaran baru, atau masa lalunya akan terus menghantui langkahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merindukanmu
Usai sidang putusan dibacakan oleh hakim beberapa minggu lalu, Diandra hampir tidak pernah bertemu Gerald atau pun Abian. Wanita itu terlalu sibuk mengurus perusahaan. Bahkan untuk mengingat rasa sakitnya saja ia tidak punya waktu.
Kekacauaan yang diciptakan CEO sebelumnya benar-benar hampir meledakkan kepala Diandra akhir-akhir ini. Namun, saat di selidiki lebih dalam kekacauan itu tidak berasal dari Ramon seorang, melainkan sekretarisnya memanfaatkan kelengahan Ramon.
Diandra sesekali memejamkan matanya, rasa pusing tiba-tiba menghampiri di saat-saat genting seperti ini. Dia hanya punya waktu dua minggu untuk menstabilkan perusahaan.
"Sebaiknya bu Diandra istirahat dulu dan makan sesuatu," ujar sang asisten yang setia menemani Diandra di ruangan kebesarannya. Sejak rapat pemegang saham beberapa hari lalu, Diandra jarang pulang ke rumah.
"Saya baik-baik saja. Tolong tambahkan kopi untuk saya," sahut Diandra.
"Bu?"
"Sekarang!" perintah Diandra tidak terbantahkan.
"Baik Bu."
Sepeninggalan asistennya, Diandra kembali meninjau beberapa dokumen. Bukti yang ia kumpulkan sepertinya sudah cukup untuk melaporkan pelaku agar mendapatkan ganjarannya.
"Gelas ke berapa ini?" tanya seorang pria sembari membawa kopi. Tetapi Diandra masih fokus pada dokumen-dokumen di atas meja.
"Bu Diandra, sudah gelas keberapa yang saya bawa ini?" tanyanya sekali lagi.
"Jangan banyak tanya, letakkan saja dan kerjakan tugasmu!" sahut Diandra.
"Memangnya apa tugas saya?"
"Tugasmu membantu saya ...." ucapan Diandra menggantung ketika sadar bahwa yang sejak tadi mengajaknya bicara bukan asistennya, tetapi pria lain yang sudah lama tidak ia jumpai. "Pak Gerald?"
"Hm." Meletakkan kopi di atas meja Diandra.
"Ada hal penting apa pak Gerald datang tanpa membuat janji lebih dulu?"
"Merindukanmu."
"Huh?" Diandra membulatkan matanya, sedikit terkejut mendengar jawaban Gerald.
"Kamu ini selalu saja terkejut. Saya banya bercanda." Gerald tertawa. Padahal jika boleh jujur dia memang merindukan Diandra. Hampir 2 bulan tidak bertemu. Ia merasakan kekosongan dalam hari-harinya.
"Saya membawa kabar baik untukmu." Gerald menyerahkan map kepada Diandra.
Lantas wanita itu langsung membukanya. Awalnya biasa saja, namun beberapa menit kemudian wanita itu bersorak dan seolah melupakan keberadaannya.
"Sepertinya kamu memang menantikan surat itu."
"Eh maaf saya terlalu bahagia sampai melupakan keberadaan pak Gerald." Diandra berusaha tetap tenang. "Terimakasih sudah repot-repot untuk membawa akta cerainya ke kantor Pak."
"Sama-sama, sekalian saya mau memastikan apakah kamu baik-baik saja."
"Saya?"
"Boleh saya minum kopinya? Saya belum minum kopi sejak pagi."
"Boleh Pak."
Gerald lantas menghabiskan kopi itu hanya beberapa tegukan saja. Dia sebenarnya sudah minum kopi, tetapi mendengar beberapa orang membicarakan Diandra di luar ruangan, ia terpaksa menghabiskannya.
Para staf bergosip bahwa Diandra sepertinya kesurupan sehingga minum kopi tiada henti. Kopi yang Gerald bawa adalah gelas ke lima, padahal baru jam 2 siang.
"Mau sekalian makan siang bersama?"
"Maaf Pak, tapi masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Mungkin lain kali kita bisa makan bersama."
"Oh oke, semoga pekerjaanya selesai secepat mungkin."
Diandra mengangguk. Mengantar Gerald sampai di depan ruangannya.
"Kenapa aku merasa sikap pak Gerald aneh ya?" gumamnya terus menandangi punggung Gerald sampai menghilang di pintu lift.
Sedangkan yang terus di pandangi, jantungnya berdetak tidak menentu di dalam lift. Ia merasa lega usai melihat wajah Diandra.
"Kenapa aku jadi seperti ini? Melihat wajahnya membuat moodku membaik," gumamnya.
***
"Ayah!" teriak Abian ketika melihat ayahnya turun dari mobil. Anak kecil itu sudah menunggu sejak tadi sambil berpangku tangan.
"Kenapa menunggu ayah di luar hm?" Mengacak-acak rambut Abian.
"Katanya ayah mau jemput ibu, makanya Bian tunggu. Bian nggak sabal ketemu ibu."
"Yah ayah gagal bujuk ibu lagi. Ibu sangat-sangat sibuk."
"Lima menit juga nggak bisa ayah?" Senyuman Abian menghilang.
"Nggak bisa Nak," jawan Gerald. "Ayah saja hanya bisa memandang wajahnya kurang dari 10 menit," lanjutnya dalam hati.
"Nah makanya jangan gengsi. Aku yakin kalau kak Gerald ngomong yang sebenarnya pasti Diandra bakal ngeluangin waktu," celetuk Grace yang selalu muncul seperti kuntilanak.
"Buna, ayo ketemu ibu. Ayah nggak bisa dipercaya," pinta Abian.
"Ayo Sayang. Biarkan ayah berusaha sendiri." Grace yang baru pulang, kembali meninggalkan rumah kakaknya. Tapi kali ini ia membawa keponakan tersayang.
Sebenarnya bisa saja Grace membantu Abian untuk bertemu Diandra, hanya saja wanita itu ingin menjera kakaknya dan menurunkan sedikit gengsi.
"Kita bertemu ibu?"
"Iya dong, kita tunggu ibu Diandra di apartemennya," jawab Grace.
***
"Gerald!" panggil seorang wanita.
Gerald yang hampir menutup pintu pun mengurungkan niatnya.
"Abian baru saja pergi."
"Tapi aku mau bertemu denganmu, bukan Bian."
"Ada urusan apa?" Gerald memilih duduk di teras daripada mengajak Alice masuk. Sebenarnya tidak ada yang keberatan, hanya saja ia merasa tidak enak pada seseorang jika membiarkan masa lalunya masuk ke rumah dan berduaan saja.
"Aku mau membagi waktu kita untuk Abian."
"Untuk itu aku harus bicara dulu dengan Abian."
"Tapi kamu bisa membujuknya Gerald. Aku juga kesepian dan butuh teman."
"Kenapa nggak menikah jika merasa kesepian?"
"Lalu kamu?"
"Aku menunggu seseorang."
"Siapa? Klien kamu itu?"
"Aku memaafkanmu bukan berarti kamu bisa mencampuri kehidupanku!" Tatapan Gerald menajam. "Siapapun seseorang yang aku tunggu nggak ada urusannya denganmu."
"Susah banget jawab iya. Kenapa harus bertele-tele sih? Apasih istimewanya dia di mata kamu? Dia diselingkuhi sama suaminya karena nggak bisa memiliki anak, jelas dia punya kekurangan."
"Tutup mulutmu dan pergi sebelum kesabaranku habis."
"Aku ...."
"Kamu seorang perempuan Alice, apa pantas kamu merendahkan perempuan lain?"
"Ternyata benar kamu mencintainya." Alice berlalu dengan tangan mengepal. Rasa cemburu menggerogoti hatinya saat ini. Terlebih Gerald bicara dengan nada tinggi hanya karena membela Diandra.
"Aku ingin bertemu," ucap Alice pada seseorang di seberang telepon.
***
"Loh?"
Kelopak mata Diandra terbuka lebar, rasa lelahnya menguap begitu saja mendapati anak kecil bermain di depan Tv saat ia tiba di apartemen. Senyumnya mengembang, langsung berlutut untuk memeluk anak tersebut.
"Akhirnya bisa ketemu Bian lagi," gumam Diandra memeluk Abian erat.
"Yey ibu pulang!" seru Abian, berbalik untuk membalas pelukan Diandra tidak kalah eratnya.
"Bian kok nggak pernah telpon ibu?"
"Ih ibu bohong. Bian seling nyuluh ayah telpon ibu hampil tiap malam. Kata ayah ibu nggak bisa jawab telpon kalena sibuk."
"Masa sih? Ayah Gerald nggak pernah telepon ibu." Kening Diandra mengerut.
"Jadi ayah bohong?" Abian mengerjapkan mata beberapa kali, menunggu jawaban dari Diandra.
Sedangkan Grace yang maskeran di sofa mengulum senyum mendengar pembicaraan keduanya. Dia tahu siapa yang berbohong. Siapa lagi jika bukan kakaknya.
"Coba tanya Ayah, Bi. Siapa tau memang ayah bohong," celetuk Grace.
"Kalau ayah bohong, Bian nggak mau bicala sama ayah."
"Grace berhenti kompor. Mungkin pak Gerald punya alasan kenapa bohong sama Bian."
"Memang punya alasan. Alasannya yaitu gengsi setinggi gunung."
.
.
.
.
Kalau kata ibu bucin mah, gas lamar saja🙈
sabar pak Gerald mungkin Diandra masih butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sebelum dia jawab iya