(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Om Al menginginkan ku?
Alfred melangkah keluar dari restoran mewah itu dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celananya, wajahnya tetap datar tanpa sedikit pun menampakkan emosi. Suasana dingin yang terpancar dari raut wajahnya seolah hasil pertemuan panjang dengan klien luar negeri barusan. Di belakangnya, Vino, sang asisten, mengikuti dengan langkah yang sama mantap namun serius, tanpa ekspresi yang menandakan kelelahan.
Alfred berhenti di depan pintu keluar. Matanya terpaku ke samping gedung sanggar yang sudah sangat ia kenal—pemiliknya. Pandangannya tajam, alisnya berkerut, menandakan rasa penasaran. Di parkiran, berdiri sopir pribadinya dengan postur tegap, seolah sedang menunggu seseorang.
"Ada keperluan apa Pak Toni di sana?" tanya Alfred dengan suara penuh curiga.
Vino menjawab pelan, "Nona sebenarnya mengikuti sanggar lukis sejak kecil. Mungkin tempat itu adalah tempat belajar selama ini."
Alfred menatap Vino tajam, lalu berkata dengan nada tegas, "Aku akan menunggu gadis itu pulang. Suruh Pak Toni segera kembali."
Tanpa membantah, Vino mengangguk patuh. Dengan langkah besar dan berat, ia mendekati sopir tuannya. "Pak Toni, tuan memerintahkan Anda segera pergi. Ia akan menunggu nona,"
Pak Toni yang tampak bingung, hanya bisa mengangguk pelan dengan senyum yang nyaris terpatri datar. Ia melangkah masuk ke dalam mobil, meninggalkan Vino yang kembali melangkah ke samping mobil mewah sang tuan, menunggu istri tuannya keluar dari sanggar lukis.
Tatapannya mencampur aduk antara penasaran dan keanehan, menyaksikan perubahan sikap tuannya yang biasanya tak pernah sabar menunggu—kini rela terdiam dan menunggu seseorang.
Alfred tetap menatap pintu masuk dengan mata yang menusuk tajam. Sudut bibirnya naik membentuk senyum tipis saat melihat Michelle melompat-lompat kecil dengan bahagia, berputar-putar seperti anak kecil yang tak tahu lelah.
"Sejak kapan gadis itu bisa menggemaskan seperti ini?" gumamnya, matanya menyipit mengamati setiap gerak tubuh Michelle. Dia membuka jendela mobil perlahan, suaranya datar namun tegas, “Suruh masuk ke mobil, sekarang.”
Vino mengangguk patuh, kembali melangkah ke gedung dengan ekspresi tajam dan wajah datar seperti biasa. Michelle menghentikan langkahnya, matanya menyipit menatap asisten suaminya dengan perasaan kesal. Baru saja dia merasa bebas karena paman Toni tak menjemputnya, kini ruang kebebasannya seperti terkikis perlahan.
“Nona, tolong segera masuk ke mobil,” suara Vino sopan namun tak bisa ditawar.
Michelle mengangguk tanpa protes, melangkah maju dan berusaha duduk di bangku depan samping pengemudi. Namun, Vino dengan cepat mencegahnya, suaranya tetap tenang namun tegas, “Tempat Anda di belakang, di samping tuan. Tolong kerjasama.”
Michelle menatapnya, keraguan menggelayuti matanya. “Emangnya boleh?” tanyanya perlahan.
“Tentu."
Perlahan Michelle melangkah masuk ke bangku belakang setelah Vino membuka pintu untuknya. Tubuhnya membeku, menunduk canggung, berusaha menjaga jarak dari suaminya yang duduk dengan sikap santai—namun aura dingin yang memancar dari Alfred mampu menembus kulit, membuatnya merinding.
“Apakah tubuhku seburuk itu, sampai kau harus duduk jauh dariku?” suara Alfred menusuk, serak dan dingin.
“Tidak, Om... aku... hanya takut,” gumam Michelle, suaranya kecil, yang masih bisa di dengar oleh suaminya.
Alfred berdecak sinis. Tangan kasar itu tiba-tiba mencengkram dagu Michelle, memaksa wajahnya menatap mata suaminya yang membeku seperti es. Michelle hanya mampu menelan ludah kering dan membiarkan ketakutannya terbaca jelas di pelupuk matanya.
“Kau pikir bisa main drama di hadapanku?” suara Alfred pelan tapi tajam seperti pisau.
Michelle menggeleng pelan, tanpa bisa melepaskan dagunya dari genggaman yang mengekangnya. "Aku sungguh tak berani, om."
“Kau pura-pura takut padaku, tapi dengan yang lain kau begitu berani. Kenapa? Apa alasanmu, hah?” tanya Alfred dengan suara yang makin dalam, menuntut tanpa ampun. Di balik tatapan Alfred yang membeku dan nada yang menekan, dunia Michelle runtuh, ketakutan bukan main.
" Aku bisa melawan mereka, tapi tidak dengan Om. Prinsipku jelas: aku takkan pernah melawan orang yang pernah menyelamatkanku." Michelle bicara panjang lebar tanpa jeda. Namun, saat matanya tertumbuk pada Alfred, suaminya, ia segera terdiam, menundukkan kepala dan menghindari kontak mata.
Inilah Michelle—cepat sekali terbuka dan selalu jujur saat dipancing, tak mampu menahan luapan hatinya.
Alfred tersenyum sinis, menggenggam dagu Michelle semakin kuat. “Aku ingin tahu, seberapa lama kau bisa bertahan tanpa melawanku,” ucapnya dingin, sambil menyentak dagu istrinya dengan kasar.
Michelle meringis pelan, tangannya mengusap dagu itu, ia menggeser tubuhnya makin tersudut, terjepit pintu mobil. Dadanya sesak, matanya gelisah memilin tas di pangkuan secara tak beraturan. Di dalam hatinya, ia mengutuk diri sendiri, “Micky, apa yang kau katakan depan Om? Seberaninya kah kau?”
Mobil berhenti di depan mansion mewah itu, dan tanpa pikir panjang, Michelle segera menekan tombol buka. "Terima kasih, Om," suaranya keluar pelan, namun sebelum dia sempat melangkah keluar, sebuah kalimat dingin merayap masuk ke telinganya.
"Duduk kembali. Aku belum menyuruhmu turun," Alfred bersuara santai, namun tiap kata tajam bagaikan pisau yang menusuk hati. Matanya tak pernah menatap Michelle, seolah dirinya hanyalah boneka.
Michelle terdiam, napasnya tercekat. Dengan berat hati, dia menuruti perintah itu dan kembali duduk, tubuhnya tegap namun jiwa bergejolak.
"Ulurkan tanganmu?" suara Alfred mengubah suasana menjadi mencekam.
Tangan Michelle gemetar ketika perlahan membuka telapak tangannya. Tanpa aba-aba, Alfred mencengkeram tangan mungil itu dengan kasar, menariknya hingga Michelle terangkat dalam pangkuan dingin sang suami. Matanya melebar, jantungnya seakan berhenti berdetak, tak percaya dengan kedekatan yang tiba-tiba itu.
"Om..." suara Michelle menggumam, penuh kebingungan dan kegelisahan.
Senyum miring mengembang di bibir Alfred saat ia perlahan membuka kancing bajunya satu per satu, mempermainkan rasa takut yang menyelinap di tubuh Michelle.
Dengan tergesa, Michelle menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan, suara gemetar keluar, "Om... mau melakukan a... apa?"
"Buka matamu," perintah Alfred.
Michelle perlahan membuka kedua tangannya dari wajah, matanya membelalak ketika pandangannya jatuh pada dada Alfred. Tapi bukan dadanya yang membuat jantungnya berhenti berdetak—melainkan luka menganga yang terbalut perban, kini kembali mengeluarkan darah. “Obati lukaku dulu, baru kamu turun dari sini,” suara Alfred berat namun tegas, sambil menerima kotak obat dari tangan Vino yang masih duduk di kursi depan.
Asisten suaminya itu memang satu mobil dengannya, tapi setelah menyerahkan obat, Vino memilih keluar tanpa sepatah kata.
“Lakukan cepat, tubuhmu terasa berat,” kata Alfred dengan nada menggoda, menyindir berat badan Michelle yang jelas-jelas tak lebih dari seorang gadis kecil.
Michelle panik. “Om, aku ingin duduk di sini saja,” ujar Michelle lirih sambil mencoba bangkit untuk duduk di bangku kembali.
Namun tanpa diduga, tangan Alfred tiba-tiba mencengkeram pinggangnya dengan erat, menariknya lebih dekat. “Lakukan di sini,” Alfred memerintah dengan nada yang tak bisa ditolak.
Michelle mengangguk pelan, menggenggam perban itu dengan tangan yang gemetar hebat. Ini pertama kalinya dia menghadapi luka sehebat ini; sebelumnya, ia bahkan pernah mual hanya dengan melihat setetes darah. Tapi kali ini, dia menelan semua rasa jijik dan takut, berjuang keras menahan degup panik yang menggema di dadanya. Tangannya bergetar saat perlahan melepas perban berdarah itu.
Alfred menatap wajah Michelle yang berkerut di depannya, meringis kecil yang menurutnya justru mengundang tawa sinis. Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya, dingin dan menusuk. "Aku akan menceraikanmu setelah Elena ditemukan," ucap Alfred tanpa ampun.
Kata-katanya membuat gerakan tangan Michelle langsung terhenti. Dalam sekejap, kesedihan menyelimuti hatinya—ia hanya menjadi bayangan yang tak diinginkan di hidup suaminya, istri pengganti.
Michelle hanya mengangguk pelan. Alfred menatapnya tajam, lalu berkata dingin, "Lakukan apapun yang bisa membuatmu tetap bertahan di sisiku."
Kali ini, Michelle mengangkat kepala, hingga matanya bertubrukan dengan mata suaminya."Apa Om Al secara tidak langsung berkata menginginkan ku?"batinnya.