NovelToon NovelToon
Belenggu Madu Pilihan Istri Ku

Belenggu Madu Pilihan Istri Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Nikah Kontrak / Penyesalan Suami / Dokter / Menikah Karena Anak
Popularitas:16.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nuna Nellys

"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.

_______

Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.

Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.

Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35. Keputusan mutlak Langit

...0o0__0o0...

...Nesya menghadang Langit dan Jingga yang baru saja keluar dari mushola. Air matanya jatuh tanpa bisa di tahan....

...“Abi... bagaimana bisa kamu menjatuhkan talak begitu mudahnya ? Bukankah dia yang hadir di antara rumah tangga kita ?” Suaranya bergetar, antara marah dan sedih....

...Langit menatapnya tenang namun tegas. “Kamu sendiri yang menghadirkan madu dalam rumah tangga kita, Nesya. Ambisi mu, egomu... yang tidak pernah mau mendengar nasihat ku.”...

...Nesya terisak, memegangi dada yang terasa sesak. “Apakah kesalahan ku tak bisa di maafkan, Abi ? Aku masih ingin memperbaiki semuanya. Aku tidak mau berpisah dengan mu.”...

...Langit menarik napas dalam. Wajahnya menunduk, suaranya berat namun mantap. “Aku sudah sering mengingatkan mu, memberi kesempatan berkali-kali. Tapi kamu sendiri yang menyia-nyiakannya. Sekarang... sudah tidak ada lagi yang bisa di selamatkan, Nesya.”...

...“Jadi Abi memilih dia ?” ucap Nesya lirih, menahan getar suaranya. “Karena dia lebih cantik dariku ? Atau karena Abi sudah terlalu mencintainya ?”...

...Langit menatapnya lama sebelum menjawab pelan, “Aku mencintai-nya bukan karena kecantikan-nya. Tapi karena Allah. Aku mencintai seseorang bukan karena kesempurnaan, tapi karena imannya.”...

...Langit menatap mendongak, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Karena cinta yang sebenarnya, dalam Islam, adalah cinta yang di bangun atas dasar iman dan takwa. Bukan karena rupa atau harta semata.”...

...Jingga berdiri diam di sisi Langit, menunduk. Hatinya berkecamuk, namun bibirnya terkatup rapat. Ia tahu, kehadiran-nya adalah luka bagi seorang wanita lain, dan saat ini bukan tempatnya untuk membela diri....

...Tidak ada manusia yang menginginkan perceraian, dan keluarga Langit pun menentangnya. ...

...Namun ketika rumah tangga hanya menjadi medan luka dan dosa, melepaskan terkadang lebih baik dari pada memaksakan kebersamaan yang penuh duri....

...Langit melangkah pelan, menatap Nesya untuk terakhir kalinya....

...“Aku tidak mau kamu melakukan kesalahan yang lebih besar, Nesya. Aku hanya manusia biasa, yang mungkin tidak bisa selalu adil dalam segala hal. Karena itu aku memilih berpisah... bukan karena aku membenci mu, tapi karena aku sadar — aku bukan manusia sempurna.”...

...Langit hendak melangkah pergi, namun Nesya tiba-tiba meraih lengannya dengan kuat. Air matanya sudah membasahi pipi, tapi sorot matanya masih menyala — antara cinta dan amarah....

...“Tidak, Abi! Aku tidak mau! Aku tidak akan biarkan pernikahan ini berakhir begitu saja!” teriaknya dengan suara bergetar....

...Langit menatapnya dalam-dalam, namun tetap berusaha menahan diri. “Nesya, lepaskan. Ini bukan soal keinginan mu atau egomu lagi. Ini soal ketenangan jiwa kita bersama.”...

...Namun Nesya menggeleng keras. “Ketenangan apa yang kamu maksud, Abi ? Kamu pikir aku bisa tenang melihat kamu dengan perempuan lain setiap hari ? Kamu pikir aku tidak terluka ?”...

...Nesya menatap tajam ke arah Jingga yang masih berdiri menunduk. “Dia yang masuk di antara rumah tangga kita, Abi! Dia yang membuat mu berubah!”...

...Jingga terdiam, menahan napas. Tapi Langit segera menegaskan, “Cukup, Nesya. Jangan salahkan orang lain atas pilihan mu sendiri. Aku sudah berusaha menjaga rumah tangga ini, tapi kamu yang menutup pintu.”...

...“Tidak!” seru Nesya, suaranya parau namun penuh tekad. “Aku istrimu! Istri yang sah di hadapan Allah! Tidak akan aku biarkan siapa pun merenggut itu dari ku.”...

...Nesya memukul dadanya sendiri, “Aku masih cinta kamu, Abi! Aku masih ingin memperbaiki semuanya! Aku sanggup berubah!”...

...Langit memejamkan mata, menahan getaran di dadanya. “Cinta saja tidak cukup, Nesya... kalau hatimu tetap di kuasai ego.”...

...Nesya tersenyum getir, matanya basah. “Jadi begitu, Abi ? Setelah semua yang kita lalui, kamu tega menutup pintu begitu saja ? Kamu pikir aku akan menyerah ?”...

...Nesya mendekat selangkah, menatapnya dengan mata merah dan sembab. “Tidak, Abi. Aku tidak akan izinkan kamu menceraikan aku. Kalau perlu... aku akan datang ke hadapan orang tuamu, aku akan buktikan kalau aku masih pantas jadi istrimu!”...

...Langit terdiam, rahangnya mengeras. “Jangan mempermalukan dirimu, Nesya. Ini bukan lagi tentang siapa yang menang.”...

...Namun Nesya malah tertawa lirih — tawa getir yang menusuk. “Aku sudah kalah sejak dia datang dalam hidupmu, Abi. Tapi aku tidak akan menyerah semudah itu. Aku masih istrimu... sampai Allah benar-benar memisahkan kita.”...

...Langit menatapnya lama, namun tidak berkata apa-apa lagi. Hanya ada keheningan berat yang menggantung di udara. ...

...Jingga menunduk makin dalam, menahan air matanya....

...Dan malam itu, tiga hati yang sama-sama terluka berdiri dalam diam — di antara cinta, ego, dan takdir yang perlahan memisahkan mereka....

...Langit mengembuskan napas panjang, menatap Nesya yang masih menangis sambil menggenggam ujung bajunya. Hatinya sesak, tapi wajahnya tetap dingin dan tegas....

...“Nesya,” ucapnya pelan, tapi suaranya tajam menembus keheningan. “Aku sudah menjatuhkan talak satu. Dan keputusan itu tidak akan aku tarik kembali.”...

...Nesya mematung, menatapnya tak percaya. “Abi… kamu benar-benar tega melakukan ini pada ku ?”...

...Langit menggeleng perlahan. “Bukan soal tega atau tidak, Nesya. Ini soal tanggung jawab. Aku sudah berusaha sebaik mungkin menjadi imam untukmu. Tapi kalau setiap nasihat selalu kamu lawan dengan amarah dan kecurigaan, apa lagi yang bisa aku lakukan ?”...

...Air mata Nesya jatuh semakin deras. “Jadi ini akhir dari semuanya ?”...

...“Bukan akhir,” jawab Langit tenang. “Hanya jalan yang berbeda. Mungkin Allah ingin kita belajar lewat perpisahan ini.”...

...Langit melangkah sedikit menjauh, menatap ke arah figuran kecil di belakang mereka, seolah mencari kekuatan. “Malam ini… tolong kemasi barang-barang mu. Besok pagi, aku akan antarkan kamu kembali ke rumah orang tuamu.”...

...“Tidak, Abi! Aku tidak mau pulang!” teriak Nesya, suaranya serak, penuh keputusasaan. Ia memegangi lengan Langit erat-erat. “Aku tidak akan pergi dari rumah ini sebelum kamu sendiri yang mengusir ku dengan tangan mu!”...

...Langit menatap tangannya yang di genggam, lalu perlahan melepaskannya tanpa kekerasan. “Aku tidak akan mengusir mu, Nesya. Aku akan mengantar mu menjalankan keputusan yang sudah sah di hadapan Allah.”...

...Matanya tajam, namun suaranya tetap lembut. “Mulai hari ini, kamu bukan lagi tanggung jawabku. Tapi aku tetap akan menghormati kamu sebagai perempuan yang pernah menjadi istriku.”...

...Nesya menangis terisak, tubuhnya gemetar. “Abi... kenapa secepat ini ? Aku masih ingin memperbaiki segalanya...”...

...Langit memalingkan wajahnya, menahan gejolak di dadanya. “Kamu sudah punya banyak waktu, Nesya. Tapi waktu itu sudah lewat. Sekarang... biarkan aku menebus dosa-dosa karena lalai membimbing mu, bukan dengan mempertahankan yang salah.”...

...Suasana hening. ...

...Hanya isak tangis Nesya yang terdengar di antara angin malam. Jingga menunduk, menahan perih di hatinya sendiri, karena tahu — cinta yang datang dengan luka tidak akan pernah terasa utuh....

...Langit melangkah pergi pelan, sebelum sempat menatap kembali ke arah mereka....

...Suara langkahnya berat, tapi pasti....

...Dan dalam setiap langkah itu, ada cinta yang di kubur dalam-dalam bersama keputusan yang tak mungkin di ulang kembali....

...0o0__0o0...

...Malam semakin larut. Suara hujan di luar hanya terdengar samar, menetes perlahan di jendela kamar. Lampu redup menciptakan bayangan lembut di dinding — seolah ikut menjaga ketenangan hati dua insan di dalamnya....

...Langit duduk di tepi ranjang, masih mengenakan baju koko putihnya. Pandangannya kosong menatap lantai. Wajahnya tampak letih — bukan karena fisik, tapi karena beban batin yang baru saja ia lepaskan....

...Pintu kamar terbuka perlahan. Jingga melangkah masuk dengan hati-hati, membawa secangkir teh hangat di tangan....

...“Kak Langit belum tidur ?” suaranya pelan, lembut seperti biasa....

...Langit menggeleng tanpa menatap. “Belum. Aku masih… mencoba menenangkan hati, Dek.”...

...Jingga mendekat perlahan, meletakkan teh di atas meja kecil di sampingnya. Aroma melati samar tercium di udara....

...“Ini teh kesukaan Kakak,” katanya lirih. “Mungkin bisa sedikit menenangkan.”...

...Langit menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Jingga.” Ia mengambil cangkir itu, meniupnya perlahan, lalu menyesap sedikit....

...Keheningan menggantung lagi. Tapi kali ini bukan keheningan yang kaku — melainkan tenang, menenangkan....

...Jingga duduk di kursi di seberang tempat tidur. Ia menatap Langit dengan pandangan lembut, tanpa sepatah kata pun....

...“Kehadiran mu… selalu membuat rumah ini terasa hidup,” ucap Langit tiba-tiba, tanpa memandang-nya....

...Ia menghela napas panjang. “Aku tidak tahu bagaimana Allah menulis takdir ini, Jingga. Tapi setiap kali aku berbicara dengan mu, hati ini terasa tenang… tidak terburu-buru, tidak gelisah.”...

...Jingga menunduk, matanya berkaca. “Aku tidak ingin menggantikan siapa pun, Kak. Aku hanya ingin menjadi tempat kamu bisa pulang… dengan hati yang tenang.”...

...Langit menatapnya lama — tatapan yang penuh rasa syukur sekaligus kehati-hatian. “Aku tahu,” katanya pelan. “Dan mungkin itu yang paling aku butuhkan sekarang. Ketulusan.”...

...Suasana hening kembali. ...

...Hujan di luar makin deras, tapi di dalam kamar itu, hangat terasa. ...

...Jingga tidak banyak bicara. Ia hanya duduk diam, mendengarkan Langit bercerita perlahan tentang kegagalannya, tentang beratnya melepaskan, dan tentang rasa takutnya kehilangan arah....

...Jingga hanya mendengarkan. Tanpa menghakimi, tanpa memotong. Sampai akhirnya Langit berkata pelan, “Terima kasih, Jingga. Karena selalu ada… tanpa menuntut menghakimi.”...

...Jingga tersenyum lembut, matanya menatap penuh doa. “Aku hanya ingin menjadi alasan kamu untuk tetap kuat, bukan luka baru dalam hidup Kak Langit.”...

...Langit memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. “Kamu sudah jadi penenang di tengah badai, Jingga.”...

...Malam itu, mereka tak banyak bicara lagi. ...

...Tapi keheningan di antara mereka terasa damai seolah Allah sedang menenangkan dua hati yang sama-sama belajar mencintai dengan cara yang lebih matang dan sabar....

...Saat Jingga bangkit, Langit mengangkat wajahnya....

...“Sekali lagi terima kasih, Jingga.” Suaranya tenang, matanya lembut menatap sosok istri kecilnya itu yang selalu datang dengan ketulusan....

...Jingga tersenyum, sambil mengangguk singkat. “Kak Langit sebaiknya istirahat sebentar, nanti pusing kalau terus terjaga.”...

...Langit tersenyum kecil. “Kamu yang harusnya istirahat. Sejak pagi belum istirahat dengan tenang.”...

...Jingga menunduk malu, lalu hendak membetulkan letak hijabnya yang sedikit miring. Tapi saat ia mengangkat tangannya, punggung tangannya yang memerah terlihat dari balik lengan bajunya....

...Gerakannya terhenti sejenak, seperti sadar telah membuka sesuatu yang ingin Jingga sembunyikan....

...Langit yang memperhatikan dari tadi langsung mengernyit. “Dek… tangan mu itu kenapa ?”...

...Jingga cepat menurunkan tangannya, berusaha tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, Kak. Hanya terluka sedikit waktu di dapur.”...

...Langit menatapnya lama. “Kamu bohong.” Nada suaranya datar, tapi tegas dan menusuk....

...Jingga menunduk makin dalam. “Kak, sungguh… ini tidak apa-apa.”...

...Langit bangkit dari kursinya, berjalan mendekat dengan langkah pelan. “Ulurkan kedua tangan mu, Jingga.”...

...“Kak, tidak perlu—”...

...“Jingga.” Nada itu berubah — tegas tak bisa di tolak....

...Dengan ragu, Jingga mengulur-kan perlahan ke dua tangannya. Tampak bekas merah kecokelatan di kulitnya yang seputih susu, masih terlihat jelas meski sebagian mulai mengering....

...Langit menarik napas panjang. Wajahnya menegang, tapi suaranya tetap terkendali. “Ini yang kamu bilang luka sedikit, Dek ? Ini luka karena siraman teh panas, Nesya kan ?”...

...Jingga terdiam. Ia tahu Langit sudah tahu....

...Air mata perlahan menetes, meski ia berusaha menahan. ...

...“Kak… aku tidak ingin memperburuk keadaan. Kalau aku bicara, itu hanya akan menambah dosa dan luka. Aku ikhlas. Mungkin ini cara Allah menguji kesabaran ku.”...

...Langit memejamkan mata sejenak, mencoba menahan amarah dan sedih sekaligus. “Aku sudah bilang, Jingga… jangan sembunyikan luka di hadapan ku.”...

...Langit menarik napas dalam, menatapnya dengan pandangan tajam tapi lembut. ...

...“Kesabaran mu memang indah, tapi aku juga punya tanggung jawab untuk melindungi mu. Luka sekecil apa pun yang kamu dapat karena aku diam, akan jadi dosa di pundak ku.”...

...Langit mengambil salep dari laci dan duduk di hadapan Jingga. Ia membersihkan bekas luka itu perlahan, dengan gerakan hati-hati agar tidak membuat perih....

...Setiap sentuhan Langit penuh makna — bukan karena kelembutan semata, tapi karena ada rasa sayang yang lahir dari cinta yang benar....

...“Kak Langit marah ?” tanya Jingga lirih, suaranya nyaris tak terdengar....

...Langit menatapnya dengan mata teduh. “Aku tidak marah padamu. Aku marah karena kamu memilih diam ketika di sakiti.” Ia menarik napas lagi, suaranya menurun. “Aku tidak ingin kamu terbiasa menanggung sakit sendirian. Aku ingin kamu percaya… bahwa mulai sekarang, kamu tidak sendirian lagi.”...

...Air mata Jingga menetes lagi, tapi kali ini bukan karena perih — melainkan karena lega....

...“Baiklah,kak. Terima kasih atas kepedulian mu” bisiknya pelan....

...Langit tersenyum tipis, menutup kembali perban di tangannya. “Sudah cukup. Jangan banyak bergerak malam ini. Kita istirahat sekarang.”...

...Jingga tertawa kecil, mengangguk, menurut tanpa bantahan....

...Dan di tengah malam itu, keheningan hangat menyelimuti mereka berdua....

...Tidak ada janji manis, tidak ada kata cinta — hanya perhatian tulus yang berbicara dalam diam....

...0o0__0o0...

1
Meimei Meongst
akhirnya cerai juga 🤭🤭🤭🤭
Meimei Meongst
lanjutkan💪
Meimei Meongst
jingga spek bidadari dibandingkan dengan Nesya spek lampir. 🤣🤣🤣
Meimei Meongst
sabar jingga💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪
jigong Majong
nyahok lo nesya. lagian udah dapat suami bonus mertua baik...masih aja bertingkah lo. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Sunaryati
Itu akibat sikap keras kepala kamu yang memaksa Langit beristri lagi padahal sudah menolak. Setelah Langit dan Jingga melaksanakan kewajiban sebagai suami istri kamu jadi sakit hati dan bertindak anarkhis, pada Jingga Sebenarnya disayangkan kamu tersingkir. Mungkin jodohmu dengan Langit hanya sampai segitu Nesy.
Lana Ngaceng
pada akhirnya Nesya yang terdepak dari rumah tangganya sendiri dan Sekarang hidup jingga aman damai sentosa 😄😄😄😄
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
nyimak🤭🤭🤭🤭
Meimei Meongst
lanjutkan thor💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
lanjutkan💪💪💪
Meimei Meongst
💪💪💪💪
Meimei Meongst
lanjutkan💪💪💪
Meimei Meongst
semangat💪💪💪
Meimei Meongst
lanjutkan💪💪💪
Meimei Meongst
,lanjutkan💪💪💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!