Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 14.
Saat ini, Fio sedang menunggu kedatangan dari Ferdy. Menolak ajakan itu pun tidak akan membuat semuanya berubah, bagaikan buah simalakama yang harus Fio hadapi.
Dengan menggunakan gaun sederhana yang telah dikirimkan oleh sang dosen sebelumnya, membuat Fio sangat tidak nyaman. Apalagi, gaun itu terkesan begitu terbuka. Sedangkan dirinya, terbiasa hanya menggunakan pakaian kasual dan pantas untuk digunakan serta dilihat oleh mata.
...Kenapa mengirimkan gaun seperti ini, sih? Masuk angin deh, dasar dosen pemaksa. Fio....
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, sebuah mobil yang cukup elegan dan mewah berhenti didepan rumah sederhana itu. Seorang pria turun dari mobil tersebut, dengan penampilan yang cukup berwibawa dan elegan.
" Sudah siap?" Sapa Ferdy.
"Iya pak." Fio menghela nafas beratnya.
Dalam beberapa saat, Ferdy sempat terdiam dan menatap dalam kepada Fio. Dan itu, membuat Fio merasa sangat tidak nyaman.
"Bisa kita berangkat sekarang, pak?" Fio memecah lamunan sang dosen.
"Ah, iya. Maaf, ayo." Ferdy mengiringi langkah Fio dan ia segera membukakan pintu pada samping dari kemudi.
Tanpa berkata apapun, Fio langsung masuk dan duduk. Hal itu tidak membuat Ferdy merasa aneh, karena dirinya masih terkagetkan dengan penampilan dari Fio saat ini.
Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, selama perjalanan. Tidak ada percakapan apapun diantara keduanya, yang ada malah Fio membuang wajah dan pandangannya menatap ke arah samping dirinya.
Setibanya di tempat tersebut, Ferdy memperlakukan Fio dengan begitu anggun. Bagaikan pasangan yang berbahagia, ia menggenggam tangan Fio untuk berjalan beriringan masuk ke tempat dimana acara sedang berlangsung.
"Pak, lepaskan." Bisik Fio yang sangat tidak suka diperlakukan seperti itu.
"Ikuti saja apa yang aku lakukan, jika tidak mau semua hasil kerja kerasmu hancur." Kalimat bernadakan ancaman itu, membuat Fio menahan sesak di dadanya.
"Jika bukan karena anda adalah dosenku, sejak awal aku akan menolakmu." Balasan itu juga bernada tegas, namun Fio tidak sudi untuk melihat bahkan melirik ke arah lawan bicaranya itu.
Tidak ada jawaban, hanya seringai kecil yang Ferdy berikan. Dirinya mempunyai cara tersendiri untuk mendapatkan perhatian dari wanita yang ia sukai, dan wanita itu adalah Fio.
"Tetaplah bersikap baik malam ini, tunjukkan jika kamu adalah wanita yang berhak bersanding dan berdiri disisiku." Bisik Ferdy, ketika mereka sudah terlihat oleh para tamu yang lainnya.
"Apa?!" Benar-benar kaget, Fio tidak menyangka jika ucapan itu yang ia dengar.
Tanpa memperdulikan tanggapan dari Fio, Ferdy tetap berjalan dengan mengandeng tangannya menuju keramaian dari tamu undangan yang hadir. Suasana yang tidak di inginkan, ingin rasanya Fio menendang kaki dosennya itu.
Sedangkan dilain tempat, Max dengan berbagai jurusnya sedang membujuk Elio untuk hadir dalam undangan klien mereka. Sudah terlalu lama untuknya bersembunyi di balik kondisinya saat ini, sudah saatnya bagi Elio meninggalkan pemikirannya yang sangat-sangat kekanak-kanakan.
"Ayolah tuan, move on. Apa anda tegas dan rela, jika harus menyerahkan posisi ini pada sepupu anda yang sama-sama tidak warasnya dengan anda?" Dengan mudahnya, Max mengumpat bos nya.
"Apa kamu bilang, tidak waras? Mulutmu itu sudah terlalu lancang, Max." Tatapan tajam didapatkan Max.
"Ah, masa bodoh. Lancang kek, lancung kek apo itulah. Pokoknya, tuan harus hadir disana. Tunjukkan pada semuanya, kalau tuan itu waras dan pantas untuk menduduki posisi tuan saat ini. Masa bodoh sama kondisi tuan, kalau tuan bisa mengalahkan semua perasaan ke egoisan dari dalam diri tuan saat ini."
"Tuan dengan mudah, bisa mengalahkan mereka semuanya yang menganggap remeh pada tuan. Ayolah, tuan. Jika tuan terus bersembunyi, bisa-bisa saya yang tidak waras menghadapi tuan. Ayo, pilih mana?" Wajah ngeyel itu terus memaksa Elio berinteraksi pada pemiliknya.
Namun, dibalik ucapan ngeyel sang asisten. Elio nampak memikirkan dan mempertimbangkan semua dari ucapan itu. Sampai kapan dirinya harus seperti ini, dan orang lain dengan mudahnya menjatuhkan dirinya.
Bahkan, Max juga sudah uring-uringan menghadapi sikapnya yang sudah begitu masa bodoh dengan semuanya. Pekerjaan yang ada, selalu Max yang menghandle serta menghadapi setiap rintangan semenjak ia kecelakaan. Sungguh, posisi Max sangat membantu dirinya. Hanya saja, mulut dari asistennya itu tidak bisa ia kendalikan.
"Tuan, ayolah. Masih ada waktu untuk bersiap, apa anda mau saya mandikan biar cepat? Ayo kalau begitu." Max berdiri dan menghampiri Elio.
"Stop! Dasar asisten tidak waras, tunggu disini dan diam. Siapkan pakaianku." Elio bersama kursi rodanya menuju kamar mandi.
Menatap pria yang masuk ke dalam kamar mandi itu, membuat senyuman yang begitu ceria dari seorang Max. Pada akhirnya, pria dingin itu bisa membuka diri untuk bisa berkumpul dengan orang banyak.
"Huh, akhirnya."
Banyak sekali drama dalam berpakaian, mencari sepatu, bahkan untuk dasi pun kedua pria itu saling berdebat.
"Tuan, kita ini acara formal. Buka nonton bioskop, masa pakaiannya santai begini " Keluh Max yang dimana, Elio hanya ingin menggunakan kaos oblong dan celana jeans.
"Diam! Pergi atau tidak?" Elio bersikeras untuk tidak mau menukar pakaiannya.
"Ya ampun tuan, kita akan bertemu dengan orang-orang perusahaan, bukannya mau mejeng. Duh, muka ku ini tidak setebal tuan." Bibir itu mengerucut.
"Apa kau bilang, hah!"
"Yah! Terserah tuan, vertigo kepala saya. Ayo, berangkat." Malas untuk berdebat panjang dengan Elio, membuat Max geram.
Tanpa mempertimbangkan apapun lagi, Max langsung mendorong kursi roda tuannya menuju mobil. Namun, ketika sudah mendekati tempat acara. Pria itu kembali merubah semua keputusan sebelumnya, membuat Max kembali murka.
Mencari butik yang harus menyediakan pakaian seperti apa yang di inginkan oleh tuannya, dan itu benar-benar tidak bisa membuat Max memperpanjang ucapannya. Wajah masam dan juga sikap masa bodoh itu Max lakukan, karena Elio sudah membuatnya kesal.
"Kalau tahu endingnya seperti ini, saya lebih baik menyelesaikan berkas saja di kantor." Mulut itu mengomel sepanjang perjalanan menuju tempat acara, bahkan disaat tiba pun tetap mengomel.
"Diam!" Jawaban yang sangat keras.
"Habis, diam diam diam. Diam terus." Max semakin kesal.
Para tamu undangan sudah begitu banyak menempati ruangan tersebut, menghadiri acara perayaan ulang tahun perusahaan dari pihak keluarganya sendiri. Di tambah dengan ocehan dari mulut asistennya, membuat Elio menumpukkan semua perasaan yang ia rasakan di kepalanya.
Suasana yang cukup meriah, namun. Semuanya seketika berubah menjadi senyap dan dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dari setiap mulut para tamu undangan, mereka menyaksikan sosok Elio yang muncul pada acara tersebut.
"Eh, itu kan Elio? Dia masih hidup rupanya."
"Kok, masih berani ya menampakkan wajahnya disini?"
"Bukannya, dia tidak di undang?"
Semua ucapan itu terdengar oleh telinga Elio, bahkan Max sudah tidak bisa mengendalikan ekspresi wajah dari tuannya. Max terus mendorong kursi roda itu hingga kini, mereka berada tepat di depan podium dari sang pemberi undangan.
"Elio?"