Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Hujan rintik turun di luar jendela rumah sakit besar di Seattle.
Bagas duduk di kursi samping tempat tidur, menatap layar ponselnya yang menampilkan berita pertunangan mewah Fino dan Alendra.
“Pewaris Aidar Group Resmi Bertunangan.”
Foto Fino tersenyum di panggung, tangan menggenggam Alendra.
Bagas mendengus keras, “Brengsek…” gumamnya.
“Dia bisa tersenyum sementara Anara masih di sini, nggak sadar sama sekali.”
Tangannya mengepal, tapi ketika ia menoleh dan melihat wajah Anara yang masih terbaring lemah di ranjang, kemarahan itu perlahan berubah jadi getir.
Sudah hampir tiga bulan sejak Anara dipindahkan ke Amerika untuk perawatan intensif. Dokter bilang kemungkinan sadar sangat kecil.
“Kamh tau, Nar? Dia tunangan sama orang lain. Katanya demi masa depan, tapi aku rasa dia cuma pengecut yang takut kehilangan warisan.”
Bagas memalingkan pandangan dari layar ponselnya dan menatap Anara.
“Tapi biar gimana pun, aku nggak akan biarin kamu nyerah,”
Bagas menggenggam tangan Anara yang dingin.
“Kamu harus bangun. Tunjukin kalau kamu bukan seseorang yang bisa dikorbanin gitu aja.”
Tiba-tiba, monitor jantung di samping tempat tidur berbunyi sedikit lebih cepat.
Bagas menegang. “Anara?”
Kelopak mata Anara bergetar. Pelan. Lalu terbuka.
“...Bagas?” suara itu serak, lemah.
“Anara?! Kamu… kamu sadar?!”
Anara mengerjap, menatap sekeliling dengan pandangan buram. “Ini… di mana?”
Bagas nyaris tak bisa menahan air mata.
“Kamu di Amerika. Rumah sakit Seattle Medical Center. Kamu udah… tiga bulan nggak bangun.”
Anara mencoba bicara, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Tiga… bulan?”
“Iya,” jawab Bagas pelan. “Tiga bulan sejak kecelakaan itu.”
Anara menatap langit-langit, mencoba memahami semuanya. “Fino… dia di mana?”
Pertanyaan itu menghantam Bagas. Ia terdiam sesaat.
“Nar, kamu baru sadar. Kamu nggak perlu mikirin—
“Jawab aku, Gas.”
Suaranya pelan tapi tegas.
Bagas menarik napas panjang. Ia tahu kebohongan hanya akan melukai lebih dalam nanti.
Bagas menatap layar ponselnya yang masih menampilkan berita pertunangan itu, lalu perlahan menunjukkan pada Anara.
Wajah Fino tersenyum, dengan cincin di jari Alendra.
Kalimat di bawah foto itu terbaca jelas:
“Fino Malik Aidar dan Alendra Putri Arasha Resmi Bertunangan di Jakarta.”
Anara menatap layar itu lama sekali, seolah matanya tak percaya dengan apa yang dilihat.
Dunia di sekelilingnya terasa hening, hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan.
“I-itu bohong kan?”
Air mata menetes dari sudut mata Anara.
"Fino nggak mungkin ninggalin aku. Dia udah janji nggak akan ninggalin aku… dia janji, Gas.”
Bagas menatapnya iba. Ia ingin bicara, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
“Aku juga pengin itu cuma gosip, Na,r” ucapnya akhirnya.
“Tapi ini beneran. Semua media di Jakarta ngeliput. Papahnya Fino juga hadir.”
Anara menatap lurus kedepan “Kenapa… dia nggak bilang apa-apa?”
"Aku nggak tahu. Waktu kamu dipindah ke sini, Fino yang minta aku jagain kamu. Dia yang ngatur semuanya, biayain semuanya. Tapi setelah itu… dia nggak pernah datang lagi.”
"Kenapa dia harus pergi kayak gitu… tanpa satu kata pun
Sementara ditempat lain, dari lantai tertinggi Aidar Tower, Fino berdiri di depan jendela kaca besar, menatap hamparan kota yang diselimuti kabut hujan tipis.
“Fino?” suara lembut Alendra memecah keheningan. “Rapat dengan tim keuangan mulai lima menit lagi.”
Fino menoleh, sekilas tersenyum. “Iya, bentar lagi aku nyusul.”
Alendra mengangguk pelan, menatap Fino sejenak sebelum keluar dari ruangan.
"Anara!!."
Nama itu masih berputar di pikirannya setiap malam.
Bayangan wajahnya, senyumnya, bahkan cara dia memanggil namanya — semua masih jelas.
Sudah tiga bulan sejak hari itu.
Tiga bulan sejak ia membuat keputusan terburuk dalam hidupnya: meninggalkan Anara tanpa penjelasan apa pun.
Semua demi satu kata: “masa depan.”
Fino menutup mata. Dia masih bisa mendengar suara Bagas yang marah waktu itu —
“Lo sadar nggak, Fin? Anara bakal sehancur apa! Lo mainin perasaan nya. Dan lo malah mikirin warisan?!”
Tapi apa Fino punya pilihan saat itu.Jika dia menolak pertunangan itu, seluruh biaya pengobatan Anara akan dihentikan.
Fino mengepal tangannya, menahan amarah yang ditujukan pada dirinya sendiri.
Andai Bagas tahu alasan sebenarnya…
Andai Anara tahu kenapa dia harus pergi begitu saja…
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja.
Sebuah notifikasi berita muncul di layar:
“Aidar Group Ekspansi ke Amerika Serikat"
Amerika.
Kata itu seolah menusuk dada Fino.
Fino menatap layar ponselnya lama, jemarinya bergerak membuka kontak, mencari satu nama yang sudah berbulan-bulan tidak ia hubungi — Bagas.
Tapi begitu jempolnya hampir menyentuh tombol panggil, dia berhenti.
Bayangan papahnya kembali melintas di kepalanya.
“Kalau kamu mau dia tetap aman, kamu harus belajar melepaskannya, Fino.”
Fino menarik napas panjang, lalu menutup ponselnya perlahan.
“Aku yakin Bagas pasti menjaganya dengan baik…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar.
“Masuk,” ucap Fino pelan.
Alendra melangkah masuk dengan berkas di tangan.
“Kamu baik-baik aja?” tanyanya pelan, memperhatikan ekspresi Fino yang tampak murung.
Aku cuma capek. Banyak yang harus diurus.”
“Kamu selalu bilang capek, tapi tetap kerja terus. Kadang aku heran, apa yang sebenarnya kamu pikirin?”
Fino menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke jendela.
“Ada hal-hal yang nggak bisa aku lupain, Alendra. Mungkin… nggak akan pernah bisa.”
Alendra menatapnya tanpa suara. Ia tahu siapa yang dimaksud Fino.
Fino merapikan jasnya, bersiap menuju ruang rapat.
Namun sebelum keluar, ia sempat menatap ke arah langit kelabu itu sekali lagi.
“Hujan ya…” gumamnya pelan. “Selalu turun di saat aku inget dia.”