NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphina

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.


[Slow Burn]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35: Confession unofficial

Deru nafas mereka perlahan mulai mereda. Ruangan itu terasa sedikit lembab walaupun ber-AC. Selina memandang lampu yang mengantung di langit-langit—anehnya, dia sudah tidak memikirkan apa-apa. Perasaannya sedikit lega. Dia melirik ke depannya, Leonhard, sedang mengelap sisa cairan kenikmatan—Selina tersenyum kecil.

“Kenapa senyum?” tanya Leonhard tiba-tiba tanpa menoleh. Senyum di bibir Selina langsung turun.

“Hah? Nggak… siapa yang senyum?”

Leonhard terkekeh, suaranya masih berat. “I can see you smile.” Dia membuang tisu ke tong sampa kecil di sebelah sofa, lalu menoleh ke arah Selina yang masih terbaring di atas sofa. Selina menutup wajahnya dan meringkukkan badan—merasa malu.

“Gak perlu malu, aku sudah lihat seluuruh tubuhmu,” ujar Leonhard sambil membuka tangan gadis itu perlahan. Selina menatapnya, sorot mata yang sangat lembut, membuat Leonhard menahan dirinya lagi.

Leonhard mencolek ujung hidung Selina. “You’re so sweet, you know that?”

Selina tertawa kencang. Tidak pernah terpikirkan olehnya, Leonhard akan bersikap seperti itu.

“Kamu kerasukan?”

Leonhard sedikit menunduk sambil tertawa. “Maybe… kamu yang bikin aku kerasukan.”

Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu di balik tawa itu—semacam rasa kagum yang tidak terucap.

Selina menggeleng kecil, pipinya masih memanas. “Jangan bercanda kayak gitu.”

“Kenapa? Kamu pikir aku nggak serius?”

Selina sedikit tertegun dengan pengakuan Leonhard yang tiba-tiba. Tatapan matanya otomatis mencari kepastian, tapi yang dia temukan justru kejujuran yang jarang sekali muncul di wajah pria itu. Tidak ada senyum menggoda, tidak ada nada main-main—hanya ketulusan yang membuat dadanya berdebar lebih kencang dari tadi.

“Leonhard…” suaranya nyaris berbisik.

“Hmm?”

“Jangan ngomong kayak gitu kalau kamu nggak maksud.”

Leonhard mengangkat alis, tapi senyum tipis tetap di bibirnya. “Kamu pikir aku orang yang ngomong tanpa maksud?”

Selina tidak langsung menjawab. Dia menatap pria itu dalam diam, mencoba mencari sarkasme yang biasa jadi tameng Leonhard, tapi kali ini tidak ada.

Yang ada hanya tatapan yang terlalu hangat, terlalu intens untuk diabaikan.

Leonhard mengulurkan tangan, menyentuh pipinya perlahan. “Aku tahu kamu takut. Tapi kalau kamu mau, aku bisa bikin ini nggak cuma sekadar malam.”

Selina menahan napas, matanya membulat kecil. “Dan kalau aku nggak mau?”

Leonhard tersenyum pelan, meski senyumnya terdengar seperti usaha menahan kecewa. “Then I’ll pretend this never happened. Tapi jangan harap aku bisa ngelupain.”

Ruangan kembali hening. AC masih berdengung, tapi entah kenapa udara di antara mereka jadi terasa berat. Selina memalingkan wajah, mencoba berpikir jernih, tapi jantungnya justru makin tak karuan.

Leonhard diam sejenak, menatapnya lama, sampai Selina jadi salah tingkah. Tapi bukan tatapan menggoda—lebih seperti seseorang yang baru sadar betapa berharganya yang ada di depannya.

“Aku nggak bercanda sekarang,” katanya pelan.

Selina menatap balik, ragu-ragu. “Kamu yakin?”

Leonhard mengangguk. “Lebih yakin dari sebelumnya.”

“Leonhard,” panggil Selina. Dia langsung duduk dan menutupi tubuhnya dengan bantal sofa yang lumayan besar. “Do you… like me?”

Leonhard mengerjap cepat seperti otaknya dikagetkan degan informasi baru yang harus segera diproses. Dia belum menjawab, tapi tidak mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

“I mean… kenapa tiba-tiba—aku ngerasa barusan… kamu. Maksudku, was that part of your confession from your heart atau…” Selina berhenti di tengah kalimat. Dia sendiri bingung bagaimana membicarakannya. “… I don’t know, you tell me.”

Leonhard tidak langsung menjawab. Pandangannya masih tertuju pada Selina—wajah yang sekarang setengah tertutup bantal, mata yang berusaha terlihat berani padahal sorotnya penuh gugup.

Dia menarik napas pelan. Ada sesuatu di dadanya yang sulit dijelaskan. Dia tahu ini bukan sekadar ketertarikan. Bukan cuma godaan sesaat atau permainan ego. Tapi juga bukan cinta yang sudah matang—belum.

Yang dia tahu pasti, dia nyaman. Terlalu nyaman, sampai keberadaan Selina terasa seperti bagian dari hidupnya yang tidak boleh hilang.

Masalahnya, Leonhard bukan tipe yang percaya pada “perasaan tiba-tiba”. Dia selalu butuh waktu—untuk mengamati, memastikan, dan memvalidasi apa yang sebenarnya dia rasakan. Karena kalau sampai dia salah langkah… itu bukan cuma dia yang terluka. Selina juga.

Leonhard akhirnya membuka suara.

“Selina…” katanya pelan, nada suaranya hati-hati. “Aku nggak akan bohong. Aku… belum tahu apa jawabannya.”

Selina diam. Wajahnya sulit dibaca.

“Tapi aku tahu satu hal.” Leonhard mencondongkan tubuh sedikit, matanya tidak bergeser dari wajahnya. “Aku ngerasa tenang kalau kamu di sekitar. Dan itu bukan hal yang sering aku rasain.”

Selina mengernyit. “Tenang?”

Leonhard mengangguk. “Iya. Dan itu cukup buat aku untuk nggak pengen kamu pergi.”

Ada jeda panjang setelah kalimat itu. Selina menunduk, bibirnya sedikit terbuka tapi tidak tahu harus membalas apa. Sementara Leonhard, meskipun terlihat tenang di luar, pikirannya terus berputar—berusaha mencari arti pasti dari semua yang sedang terjadi.

“Come here. I’ll clean you up.”

Selina menoleh ke arah Leonhard, memandangi dari atas sampai bawah—dia sendiri belum selesai berpakaian.

“Pake baju dulu,” ujar Selina, lalu memalingkan pandangannya.

Leonhard terkekeh kecil dan berkata “Alright” sebelum dia mengambil celananya di lantai.

“Done. Sini… aku akan bertanggung jawab atas kekacauan malam ini,” ujarnya ringan.

Selina tidak menjawab, tapi memperhatikan pria itu mengambil sebuah handuk kecil dari loker dan membasahinya dengan air mineral yang botolnya masih tersegel. Pria itu melangkah mendekatinya dengan seyum tipis terpoles di wajahnya. Jangung Selina kembali berdetak. Baru kali ini dia diperlakukan seperti ratu setelah melakukan sesuatu yang intim.

Mungkin… ini adalah poin plus?

Leonhard mencoba mengambil bantal besar yang menutup Selina, tapi gadis itu memeluknya sangat erat seperti tidak ingin perlindungannya diambil.

“How can I clean you up, if you keep hugging that stupid cushion?”

Selina mengerucutkan bibirnya. Dia malu. Kesadarannya sudah kembali.

“Selina.”

Suaranya sangat tegas, seolah dia mau mengimeli gadis di depannya.

“Kamh mau bersihin sendiri?” tanya Leonhard dengan nada lembut. Jujur saja, Selina sedikit kecewa saat Leonhard menawarkan itu, dia sebenarnya mau dipaksa.

Leonhard menghela nafas ketika tidak mendengar jawaban dari Selina.

“In three. Kalau kamu gak jawab, aku akan maksa—”

Selina perlahan melepas pelukannya pada bantal sofa itu, menaruhnya di samping. Leonhard tersenyum.

“Good girl. Now, lay down.”

Perut Selina terasa aneh lagi mendengar kalimat itu keluar dari mulut Leonhard. Dia bisa gila karena kalimat itu seperti mantra yang membuat dia langsung melakukan apa yang telah disuruh.”

“So… you like it. Hmm?”

Mata Selina membelalak. “Suka apa?”

“To be told as good girl.”

Hening. Selina membiarkan Leonhard mengelap badannya, membersihkan sisa cairan kenikmatan di bawah sana.

“Kamu gak jawab, tapi… I can see you clenching,” ujar Leonhard sambil menyeringai. Selina buru-buru menutup pahanya dan menjepit tangan Leonhard. Dia menggunakan kesempatan itu untuk memukul dada Leonhard, tapi pria itu hanya tertawa.

“Jangan gila!” seru Selina sambil memutar kedua bola matanya.

“Hey! Itu kalimatku!”

“Ya makanya… jangan gila.”

“Tapi kamu suka.”

Selina memalingkan wajahnya, tapi senyumnya bocor juga di ujung bibir.

Leonhard menatapnya dengan tatapan setengah geli, setengah… kagum. “You’re impossible,” katanya pelan.

“Dan kamu menyebalkan,” balas Selina cepat, tapi nada suaranya terlalu lembut untuk disebut marah.

Leonhard tertawa kecil. “Mungkin. Tapi kamu tetap di sini.”

Selina menggigit bibir bawahnya, tidak menjawab. Dia tahu Leonhard benar.

“Kalau aku bilang ‘good girl’ lagi,” Leonhard mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya menurun jadi lebih rendah, “kamu bakal nurut lagi?”

Selina menatapnya lama. Ada tantangan di matanya, tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan.

“Coba aja,” katanya akhirnya.

Leonhard tersenyum miring, lalu bersandar ke belakang. “I will. Tapi kali ini, bukan karena aku pengen kamu nurut.”

Selina mengerutkan kening. “Terus kenapa?”

“Karena aku pengen kamu percaya.”

Kata-kata itu menempel di udara, membuat Selina terdiam. Kali ini, detak jantungnya berdetak bukan karena sentuhan—tapi karena sesuatu yang lebih dalam.

1
Nyong Nibaele
/Drool/
Nyong Nibaele
Leon,, apa lagi kalau bukan cinta.. jangan sok gengsi aarrggghhh.. sebel gak sih.. perempuan itu butuh kepastian.. 🤭
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!