Royal Veil Of Java (Selendang Cinta Dua Kerajaan)

London kembali berselimut kabut.

Menara-menara tua di sekitar Istana Windsor berdiri kaku, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak pernah berani diungkapkan. Di balik dinding-dinding batu itu, bisikan-bisikan politik mulai bergema — lirih, namun tajam seperti mata pisau.

Di ruang rapat pribadi keluarga kerajaan, hanya beberapa orang yang diizinkan masuk.

Duke of Kent, Baron Spencer, serta Lady Eleanor duduk berhadapan di meja panjang yang diterangi lampu kristal pucat.

Di ujung meja, berdiri seseorang dengan pakaian serba hitam, membawa map kulit bersegel lambang kerajaan.

“Pangeran William masih hidup,” ucap sang pembawa pesan datar, nyaris tanpa emosi.

Tiga pasang mata langsung menatap tajam.

Eleanor meletakkan cangkir tehnya dengan suara pelan namun tegas, sementara Duke of Kent menyipitkan mata tajam. “Apa kau yakin dengan informasi itu? Seluruh dunia percaya dia tewas dalam kecelakaan pesawat di Swiss.”

Sang pembawa pesan menunduk sopan. “Laporan intel menyebutkan, ia bersembunyi di wilayah Skandinavia. Tidak sendiri — bersama seorang perempuan dari Asia. Kami belum bisa memastikan identitasnya, namun beberapa dokumen dan foto satelit menunjukkan koneksi yang kuat dengan Princess Raras Yudhanegara dari Keraton Yogyakarta.”

Hening.

Kata itu — Keraton Yogyakarta — membuat atmosfer ruangan seketika berubah.

Lady Eleanor menegakkan punggung, matanya berkilat. “Seorang putri dari Nusantara? Tuhan, William benar-benar membawa aib internasional.”

“Lebih dari sekadar aib,” sela Baron Spencer dingin. “Jika berita itu benar, maka ini bisa menjadi ancaman diplomatik. Inggris tidak akan pernah mengizinkan pewaris takhta menikah dengan seseorang di luar lingkaran aristokrat Eropa — apalagi dari dunia Timur.”

“Apalagi,” Duke of Kent menimpali dengan nada licik, “jika perempuan itu tahu sesuatu tentang rahasia kelahiran William.”

Kalimat itu membuat Lady Eleanor menoleh tajam. “Rahasia itu seharusnya dikubur bersama ibunya.”

Duke tersenyum sinis. “Sayangnya, rahasia tidak pernah benar-benar mati, Eleanor. Selalu ada seseorang yang berusaha membangkitkannya — terutama jika menyangkut takhta.”

---

Rahasia yang Tidak Pernah Hilang

Sementara itu, di ruang kerja pribadi Ratu Margaret, sang penguasa Inggris duduk diam di kursi antik, mengenakan gaun biru tua dengan bros berbentuk singa di dadanya.

Tatapannya menembus jauh, menatap lukisan besar William kecil di dinding seberang — lukisan yang kini menjadi simbol kehilangan sekaligus luka politik yang belum sembuh.

“William…” bisiknya lirih.

Seorang pengawal pribadi mendekat, memberikan sepucuk surat dengan segel kerajaan.

“Your Majesty, pesan dari Konsulat Inggris di Stockholm. Mereka menemukan jejak yang cocok dengan profil Pangeran.”

Ratu Margaret menerima surat itu, matanya membaca cepat setiap baris tulisan yang menari di atas kertas.

Di akhir surat, ada satu kalimat yang membuat tangannya berhenti gemetar:

> ‘He is not alone, Your Majesty. The Javanese Princess might know the truth about his mother’s disappearance.’

Seketika wajah Ratu Margaret menegang.

Ia menatap surat itu lama, kemudian meletakkannya di atas meja, menutupinya dengan tangan.

“Panggil Lord Hamilton,” perintahnya pelan. “Dan siapkan Dewan Rahasia.”

---

Di Balik Dewan Rahasia

Malam harinya, tujuh orang bangsawan tertinggi Inggris berkumpul di ruang bawah tanah istana — tempat yang hanya digunakan untuk membahas isu yang tidak boleh diketahui publik.

Lord Hamilton memimpin pertemuan. Wajahnya tegas, suaranya berat dan berwibawa.

“Jika William benar-benar hidup, itu akan mengguncang keseimbangan kerajaan. Dewan sudah menyetujui bahwa Pangeran Arthur — adik tirinya — adalah pewaris resmi tahta.”

Duke of Kent mengangguk, wajahnya serius namun menyimpan senyum tipis.

“Masalahnya, rakyat masih mencintai William. Jika ia kembali, kekuasaan Arthur bisa goyah.”

“Apalagi,” lanjut Hamilton, “jika William membawa seseorang dari luar Inggris sebagai pendampingnya. Seorang putri asing bisa menjadi simbol perlawanan baru. Dunia akan berpihak padanya.”

Lady Eleanor membetulkan sarung tangannya, nadanya dingin.

“Kalau begitu, sebelum kabar ini bocor ke media, kita harus memastikan satu hal…”

Semua kepala menoleh padanya.

“Pastikan mereka berdua tidak pernah kembali ke tanah Inggris.”

Hening.

Ucapan itu bergema di antara dinding batu ruang bawah tanah — berat, dingin, dan berbahaya.

Mereka semua tahu arti dari kalimat itu: perintah tak langsung untuk menghapus William dan Raras, entah dengan cara apa pun.

---

Di Tempat Persembunyian

Sementara itu, di kabin kecil yang sama, Raras terbangun oleh bunyi ketukan keras di jendela.

Salju turun deras, namun sosok pria berjubah gelap terlihat samar di luar.

William segera bangkit, meraih pistol kecil dari bawah meja dan bergerak ke arah pintu.

Suara angin menggema saat ia membuka pintu.

Seorang pria tua masuk dengan napas tersengal, membawa koper hitam dan selembar amplop bersegel kerajaan.

“Your Highness,” katanya cepat, “mereka tahu Anda masih hidup. Dewan Rahasia telah bertindak.”

William membeku, menatap amplop di tangan utusan itu.

Ia mengambilnya perlahan, membuka segelnya, dan membaca isi surat dengan wajah tegang.

Tulisan di sana singkat, namun mematikan:

> ‘Return to England within seven days — or both your name and bloodline will be erased from the royal record.’

— On behalf of the Crown.

Raras mendekat, wajahnya pucat. “Apa maksudnya, William?”

William menatapnya lama, suaranya pelan tapi dalam.

“Mereka akan menghapusku. Dari sejarah, dari keluarga, dari dunia… jika aku tidak kembali.”

Raras menggenggam tangannya, menatap lurus ke arah matanya.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

William menatap api perapian yang mulai redup.

Di matanya, terpancar tekad sekaligus rasa kehilangan yang mendalam.

“Aku akan kembali ke London,” ucapnya akhirnya, suaranya mantap.

“Tapi kali ini, bukan untuk tunduk — melainkan untuk melawan.”