Rumah tangga Luna yang sangat hangat secara tiba-tiba hancur tanpa aba-aba. Luna mendapati suaminya, Ares, berkhianat dengan sahabatnya sendiri, Celine. Luka yang sangat menyakitkan itu membuat Luna mencari penyebab suaminya berselingkuh. Namun semakin Luna mencari kebenaran, semakin banyak tanda tanya menghantuinya hingga akhirnya Luna memutuskan mengakhiri pernikahan mereka.
Benarkah Ares sudah tidak lagi mencintai Luna?
Ataukah ada suatu kenyataan yang lebih menyakitkan menunggu untuk terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Far, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SISA API DALAM DIRI CELINE
Pagi itu bagi Celine, terasa seperti kesempatan terakhir untuk menegakkan harga dirinya yang sudah tercabik.
Ia duduk di depan meja rias dengan laptop terbuka, menatap foto yang tersimpan di folder lama.
Foto hitam putih ayah Luna sedang berbicara dengan seseorang, di meja yang dipenuhi amplop dan dokumen.
Itu foto yang sama yang sempat jatuh di lantai waktu ia dan Luna bertengkar. Rupanya, saat ia memindahkan file dari ponsel lama, foto itu ikut tersalin ke laptopnya.
“Jadi, kau pikir sudah menang, Luna?” gumamnya pelan dengan nada getir. “Kita lihat, siapa yang tertawa terakhir.”
Ia membuka daftar kontak dan menghubungi salah satu wartawan gosip yang dulu sering bekerja dengannya.
Suara di seberang terdengar riang, “Halo, Celine! Sudah lama tidak…”
“Aku punya berita besar,” potong Celine cepat. “Datang ke apartemen Luna. Aku kirim alamatnya. Siapkan kamera dan pastikan headline-nya menyinggung tentang ayahnya.”
Wartawan itu sempat ragu. “Celine, ini akan berat kalau tanpa izin.”
“Lakukan saja. Percayalah, ini akan viral. Kau tidak akan menyesal.”
Nada suaranya dingin, tapi penuh keyakinan.
“Celine, aku minta maaf sebelumnya. Aku tidak ingin menyakiti orang yang tidak bersalah…”
“Kamu ingat siapa yang sudah membuat prestasimu baik dalam pekerjaanmu selama ini? Jika tidak karena aku, kamu hanya wartawan biasa!” Celine membentak penuh amarah.
“Baiklah,” jawab dari seberang telepon dengan suara lemah.
***
Beberapa jam kemudian, berita itu benar-benar pecah.
Portal gosip menulis judul mencolok:
“Terungkap! Ayah Luna Terlibat Kasus Korupsi Lama. Benarkah Ini Alasan Ia Dipecat?”
Media sosial kembali geger. Komentar bermunculan bak badai.
“Wah, pantas saja kariernya mulus!”
“Ternyata keluarga koruptor semua!”
“Citra perempuan kuat-nya hancur sudah!”
Namun, di saat semua orang menunggu Luna bereaksi, Luna justru muncul dalam siaran langsung sederhana di akun pribadinya.
Tanpa make up tebal, tanpa latar yang glamor. Hanya wajah tenang dan suara lembut.
“Saya tahu berita itu menyakitkan,” katanya pelan. “Tapi itu adalah masa lalu ayah saya. Saya tidak bisa menghapusnya. Namun saya bisa menebusnya… dengan hidup yang jujur.”
Kata-katanya begitu tenang, tapi menggetarkan.
Bukan pembelaan, melainkan penerimaan.
Ia tersenyum tipis di akhir siaran, “Saya tidak ingin menutupi kebenaran, karena kebohongan hanya akan memperpanjang luka.”
Dan seperti sihir, publik berubah.
Komentar yang semula sinis kini berubah menjadi empati.
“Aku menangis lihat cara Luna jawab, tenang sekali.”
“Dia kuat sekali, tidak menyalahkan siapa-siapa.”
“#BangkitBersamaLuna.”
Tagar itu melesat jadi trending nomor satu di media sosial.
Luna bukan jatuh, dia justru tumbuh di tengah kenyataan pahit.
***
Sementara itu, di rumahnya, Celine menatap layar ponselnya dengan wajah pucat.
“Kenapa…” gumamnya. “Kenapa orang-orang justru membela dia?”
Ia mengetuk layar berkali-kali, membaca komentar yang membanjiri akun gosip.
Bukan pujian padanya, semuanya dukungan untuk Luna.
Beberapa akun bahkan mulai mengungkap bahwa foto-foto itu terlihat seperti diambil dari file pribadi.
Celine menelan ludah. Dadanya mulai sesak.
Dan benar saja, keesokan harinya berita lain muncul:
“Polisi Selidiki Penyebaran Data Pribadi Milik Keluarga Luna.”
Celine membeku.
Tangannya refleks meraih ponsel. Belum sempat ia berpikir, ponsel itu sudah berdering tanpa henti.
Nomor manajer. Nomor pengacara. Bahkan beberapa rekan kerja lama yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Celine! Kamu sadar tidak, apa yang kamu lakukan?!” suara Vero terdengar panik di seberang.
“Itu pelanggaran privasi berat! Polisi bisa tangkap kamu!”
“Aku tidak… aku tidak sengaja,” jawab Celine terbata, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Tapi semuanya terlambat.
Sore itu, dua orang polisi datang ke rumahnya membawa surat resmi.
“Saudari Celine Aurelia?”
“Iya… ada apa ini?”
“Kami memiliki surat penangkapan atas dugaan penyebaran data pribadi secara ilegal. Mohon ikut ke kantor.”
Celine sempat menolak, namun polisi tetap membawanya dengan sopan namun tegas.
Lampu kamera wartawan sudah menunggu di bawah apartemen.
Klik! Klik! Klik!
Kilatan cahaya menyilaukan wajahnya.
***
Di ruang pemeriksaan, Celine duduk dengan wajah tanpa warna.
Kepalanya menunduk. Jemarinya menggenggam ujung rok panjangnya erat.
Hidupnya terasa runtuh satu demi satu.
Pintu terbuka. Dua orang masuk: Luna dan Noval.
Celine menegakkan kepala, matanya membulat. “Kalian… apa yang kalian lakukan di sini?”
Suara itu serak, tapi masih menyimpan ego lama.
Luna melangkah mendekat. Matanya berkaca-kaca.
“Aku ke sini bukan untuk mempermalukan kamu, Cel. Aku hanya… mau bertemu kamu.”
Air mata Luna menetes tanpa bisa ditahan.
“Dulu kita sahabat. Bahkan saling simpan rahasia. Aku tidak tahu kapan kamu berubah sejauh ini.”
Celine membuang pandangan, menggigit bibir. “Aku nggak butuh kasihanmu.”
Luna menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Aku tidak kasihan. Aku sedih.”
Ia menandatangani sebuah berkas di meja penyidik.
“Saya ingin mencabut laporan saya.”
Semua orang di ruangan itu menoleh. Polisi sempat memastikan,
“Apakah Anda yakin, Bu Luna?”
Luna mengangguk. “Iya. Saya tidak mau memperpanjang kebencian.”
Beberapa jam kemudian, Celine dibebaskan.
Ia keluar tanpa sepatah kata. Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada tatapan menyesal.
Begitu melihat Luna di luar ruangan, ia justru berlari keluar melewati kerumunan wartawan.
Noval refleks mengejarnya.
“Celine!” panggilnya. “Tunggu dulu!”
Celine berhenti di depan parkiran, tapi tidak menoleh.
“Pergi, Val. Aku tidak mau mendengar nasihatmu.”
Noval melangkah lebih dekat. “Aku bukan mau menasihati. Aku hanya mau bilang… kamu tidak perlu takut menghadapi semuanya sendirian.”
Celine terdiam.
Noval melanjutkan, “Kalau kamu merasa tidak sanggup, aku dan Luna siap memaafkan. Kita cuma mau kamu berhenti menyakiti dirimu.”
Celine tertawa pendek, getir. “Kamu pikir aku butuh maaf kalian?Tidak, Val. Aku tidak mau jadi orang lemah kayak kalian.”
Ia melangkah ke jalan, menghentikan taksi online.
Sebelum pintu tertutup, ia menatap Noval tajam. “Kamu dan Luna bakal nyesel karena sudah melawan aku.”
Pintu tertutup. Taksi melaju pergi meninggalkan Noval berdiri sendiri di bawah langit sore.
***
Keesokan paginya, Nuri dan Noval datang ke rumah Celine.
Mereka berdiri lama di depan pintu, membawa kantong plastik berisi makanan dan buku catatan.
“Semoga dia mau buka pintu,” gumam Nuri.
Suara langkah mendekat terdengar dari dalam.
Pintu terbuka sedikit, menampakkan wajah Celine yang kusut, mata sembab, rambut berantakan.
“Mau apa kalian ke sini?” suaranya serak.
“Kami hanya ingin membantu,” kata Nuri pelan. “Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik aja. Aku psikolog, Cel. Aku bisa bantu kamu pelan-pelan keluar dari ini semua.”
Celine menatap mereka tajam, matanya memerah.
“Bantu? Hah. Kalian cuma mau lihat aku jatuh, kan?”
“Tidak,” jawab Noval cepat. “Kami cuma mau kamu baik-baik aja.”
Tapi Celine tak mau dengar. Ia mendorong pintu keras-keras hingga mereka berdua mundur ke belakang.
“Pergi! Aku tidak butuh kalian! Aku tidak butuh siapa pun!”
Pintu ditutup dengan benturan keras.
Suara di dalam rumah hening.
Hanya isakan tertahan yang samar-samar terdengar dari balik pintu.
Di luar, Nuri menarik napas dalam.
“Dari matanya terlihat… dia sedang tidak stabil.”
Noval menatap pintu yang tertutup rapat. “Aku tahu. Tapi dia harus mau buka hati dulu, Nur. Kalau tidak, kita tidak bisa membantu.”
Keduanya berjalan meninggalkan rumah itu dengan langkah berat.
Di antara angin sore yang berembus pelan, rasa iba memenuhi dada mereka.
Celine mungkin sudah kehilangan segalanya. reputasi, teman, bahkan jati diri.
Namun yang paling menakutkan bukan kehilangan itu sendiri,
melainkan ketika seseorang mulai kehilangan kesadaran bahwa ia sedang tersesat.
***
Dan di dalam rumah yang sunyi, Celine duduk di lantai dengan ponsel di tangan.
Ia menatap foto-foto lama dirinya bersama Luna dan Noval saat SMA.
Tertawa, makan es krim, bersandar di pohon depan sekolah.
Senyumnya perlahan hilang.
Matanya kembali dingin.
“Kalau dunia sudah memilih Luna…” gumamnya lirih, “aku akan buat dunia itu menyesal.”
aku baru Nemu cerita yg sudah eps sejauh ini pemeran utama nya masih saja tersiksa