Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 35
Senyum Lusi melebar, matanya berkilat puas. “Bagus. Aku ingin dia hidup dalam ketakutan setiap jam, setiap detik. Semakin lama ia resah, semakin indah rasanya melihat kehancurannya nanti Hahaha.” Lusi rasanya begitu bahagia, sampai dirinya tertawa terbahak-bahak sembari menikmati minuman yang semakin terasa begitu nikmat mengalir ditenggerokannya.
“Apakah kita akan melanjutkan rencana yang berikutnya?” tanya anak buahnya.
“Mmmm, tunggu dulu.” jawab Lusi cepat, suaranya dingin. “Aku ingin Zean merasa dia cukup kuat untuk melindungi gadis sialan itu. Saat mereka berdua mulai percaya keadaan mulai aman… saat itulah kita hantam. Sekali serang, tidak ada jalan kembali bagi Nara.”
Tawa dinginnya mengisi ruangan, bergema bersama bayangan dendam yang belum terpuaskan.
Malam semakin larut. Di kamar mereka, Nara akhirnya tertidur dalam kegelisahan, sementara Zean duduk di sampingnya, masih terjaga. Tatapannya lurus menembus kegelapan malam. pikirannya penuh dengan satu hal, siapa pun yang berada di balik teror ini, tidak akan dibiarkannya lolos.
Untuk pertama kalinya, ada alasan yang membuatnya rela berjaga sepanjang malam begini. Bukan hanya karena tanggung jawab,melainkan karena ia benar-benar tak ingin melihat Nara ketakutan lagi.
Dan di sanalah, perlahan, sesuatu rasa yang berbeda mulai tumbuh, bukan rasa cinta, Tapi lebih ke sebuah ikatan halus yang mengikat mereka tanpa mereka sadari.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Kemilau cahaya matahari pagi menembus tirai jendela kamar utama, menyapu wajah Nara yang masih pucat. Ia membuka mata dengan berat, kelopak matanya sembab, sisa tangis semalam masih terasa begitu menusuk. Suara detak jam di dinding terdengar terlalu keras, seakan setiap detik hanya menambah kecemasan yang menempel di dadanya.
Pelan-pelan Nara bangun, menoleh ke sisi lain ruangan. Zean masih duduk di kursi dekat jendela, laptop terbuka di pangkuannya. Lelaki itu tampak belum berganti pakaian sejak kemarin, lengan kemeja tergulung, rambutnya sedikit berantakan. Namun sorot matanya tetap fokus, seperti menolak menyerah pada rasa lelah.
“Kau tidak tidur?” suara Nara nyaris hanya berupa bisikan.
Zean menutup laptop perlahan, lalu mengangkat wajah. “Aku tidak bisa tidur, aku harus mencari tahu siapa sebenarnya orang dibalik semua kejadian ini, ak-aku tidak bisa membiarkan mereka terus menyakitimu.”
Nara tercekat. Zean berbicara panjang lebar, dan Kata-kata sederhana yang terlontar itu rasanya masih terasa asing di telinganya. Ada ketegasan, tapi bukan dingin seperti biasanya. Ia hanya bisa menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba berdesir di dadanya.
Hari itu, suasana rumah terasa berbeda. Udara dipenuhi ketegangan yang sulit dijelaskan. Melisa beberapa kali mencoba menenangkan Nara dengan obrolan ringan, tapi tatapannya yang selalu cemas justru menambah rasa tidak nyaman.
Zean, di sisi lain, menghabiskan waktunya menelpon orang-orang kepercayaan. Ia meminta data dari jasa kurir resmi yang semalam mengirim paket. Semua informasi tampak rapi. alamat jelas, nama pengirim ada, tanda terima pun sah. Tidak ada yang bisa langsung dijadikan bukti.
“Ini semua sangat sempurna.” gumam Zean dengan nada rendah, matanya menatap tanda terima yang dipegangnya. “Mereka bukan orang bayaran biasa. Terlalu pandai caranya untuk bersembunyi.”
Menjelang sore, Nara akhirnya memberanikan diri keluar ke taman kecil di belakang rumah. Rasanya ia nyaris sesak karena terus mengurung diri di kamar. Udara sore menyentuh kulitnya, membawa aroma dedaunan basah yang baru saja selesai disiram. Ia duduk di bangku putih, menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya.
Burung-burung kecil beterbangan di ranting pohon flamboyan. Gemericik air kolam terdengar lembut. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, semuanya akan baik-baik saja.
Namun ketenangan itu buyar seketika ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Dengan ragu, Nara membuka layar. Begitu membaca isinya, tubuhnya langsung membeku.